16 Maret 2011

JALAN

Banyak jalan ke Roma. Demikian bunyi sebuah pepatah tua. Dan memang demikian adanya. Ada banyak jalan menuju tujuan yang satu. Ada banyak cara menuju kepada kebenaran yang tunggal. Bisa berliku, lurus, mendaki dan menurun. Bahkan pada satu jalan pun masih terdapat kemungkinan jalur: kiri, kanan atau tengah. Dan sama seperti jalan, kepercayaan dan keyakinan kita pun demikian adanya. Pengharapan kita terhadap Tuhan yang satu semestinya membuat kita percaya bahwa kita semua sesungguhnya adalah ciptaan semata. Tak ada yang lebih. Tak ada yang kurang.

Maka sungguh ganjil jika kita, yang percaya kepada Sang Maha Pencipta, sambil menundukkan kepala dengan dalam kepada kemaha-besaran-NYA dapat dengan mudah pula menghancurkan dan membasmi sesama kita yang juga ciptaan-Nya yang menurut kita tak sejalan dengan cara yang Dia inginkan. Pertanyaannya adalah, apakah itu sungguh keinginan-Nya ataukah hanya sekedar keinginan kita saja? Bagaimana kita bisa membuktikannya? Bagaimana kita mampu memastikannya? Tidakkah jika kita meyakini bahwa hanya ada satu Pencipta, itu berarti bahwa seluruhnya adalah ciptaan-Nya? Dan jika memang seluruh semesta ini adalah ciptaan Dia semata, bagaimana kita dapat memandang bahkan memutuskan bahwa mereka yang lain adalah salah dan karena itu pantas dimusnahkan? Bukankah yang lain pun adalah ciptaan yang sama dan setara dengan kita sendiri? Dan tidakkah kita percaya bahwa sebagai ciptaan, kita semua punya kemungkinan-kemungkinan untuk benar dan juga salah? Dengan kata lain, kita sendiri toh pada akhirnya bisa salah. Bisa salah.

Banyak jalan ke Roma. Memang. Tetapi kita sering lupa akan hal itu. Kita sering merasa dan berpikir bahwa jalan kita adalah jalan yang paling benar. Jalan yang paling sesuai dengan kehendak-Nya. Jalan yang takkan salah. Jalan yang mutlak harus diikuti. Pada saat itulah, menurut kita, tidak lagi banyak jalan tetapi hanya ada satu jalan: lurus dan langsung kepada-Nya. Tetapi, ah, bagaimana jika kita salah? Atau bahkan bagaimana jika kita memang benar tetapi mereka pun benar? Haruskah kebenaran itu dijadikan mutlak? Satu dan tunggal? Jika itu yang kita inginkan, betapa membosankannya dunia ini. Betapa menyepelekan kehendak-Nya sendiri, yang menciptakan kita dengan kehendak bebas. Bebas untuk tumbuh dan berkembang. Bebas untuk mencari. Bebas untuk menemukan. Bebas untuk hidup. Bebas untuk memuliakan nama-Nya. Dengan caranya masing-masing.

Manusia diciptakan dengan segala keunikannya. Manusia hidup dengan pemikiran dan perasaannya sendiri. Kita bahkan takkan paham dengan suatu kepastian mutlak tentang apa yang sedang dipikirkan ataupun dirasakan oleh seseorang yang paling dekat dengan kita sekalipun, walau saat ini kita sedang berhadap-hadapan dan berbincang dengannya tentang banyak hal. Tidak. Kita harus menyadari keterbatasan kita dalam mengenal seseorang. Apalagi untuk memaksakan kehendak, keinginan dan cara kita agar dapat diikuti dengan pasti. Setiap orang memiliki pengalaman, cara dan lingkungan kehidupan yang berbeda. Setiap orang mempunyai cara pikir yang tak pernah akan sama. Setiap orang mempunyai perasaan yang berbeda satu sama lain, bahkan dalam peristiwa yang sama sekali pun. Kita telah diciptakan oleh Pencipta yang sama, tetapi kita pasti memiliki panggilan yang berlain-lainan terhadap Sang Pencipta sesuai dengan bahasa kehidupan yang kita kuasai dan kita hidupi ekarang. Toh, tak ada yang aneh dengan hal itu. Tak ada yang aneh, sesuai dengan kebebasan yang telah diberikan kepada kita oleh-Nya sendiri.

Banyak jalan ke Roma. Dan kita masing-masing dapat memilih jalan yang mana yang terbaik bagi kita untuk mencari dan menemukan kedamaian dan kebahagiaan kita masing-masing. Untuk apakah kita merasa terpaksa atau memaksa diri menjadikan semua orang sama seperti yang kita ingini? Untuk apakah kita kehilangan kebahagiaan kita dalam hidup ini, kehilangan kesempatan untuk memuliakan nama-Nya dengan membagikan kebaikan kepada semua orang hanya karena kita hasratkan semua orang harus sama dengan kita? Apakah kita lalu merasa bahagia jika kita kemudian terbunuh atau membunuh demi apa yang kita pikirkan semua ini adalah kehendak-Nya? Apakah kita sungguh merasa bahagia? Tidakkah keragu-raguan selalu muncul dalam hati kecil kita? Tidakkah suatu kekhawatiran akan perasaan yang bersalah, suatu kebimbangan terhadap kebenaran kita, suatu ketakutan jika kita ternyata salah dapat mengusik sanubari kita? Tidakkah itu benar?

Marilah kita kembali ke dalam hati nurani kita. Mari kita menyadari keragu-raguan, kekhawatiran dan ketakutan kita terhadap kemungkinan untuk berbuat salah. Mari kita melihat manusia sebagai ciptaan yang sama dan setara. Kebenaran yang tidak pernah mutlak dalam kehidupan ini. Dan kita, ya kita semua, hanyalah manusia-manusia rapuh dan lemah yang tidak sempurna dan takkan pernah menjadi sempurna walaupun sekeras apapun kita hasratkan. Kebenaran yang kita miliki sesungguhnya hanyalah kebenaran kita semata, kebenaran pribadi yang sesuai dengan pendapat kita, tetapi takkan mungkin dipaksakan untuk harus sesuai dengan kebenaran orang lain. Sejenak, kita mungkin dapat melakukan hal itu, namun percayalah, siapa yang mampu menyelami hati seorang manusia? Siapa?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...