11 Maret 2011

DEBU

Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?” (Roma 9:21)

Pada akhirnya kita hanya debu. Kita hanyalah debu yang tak berarti. Saat angin berhembus, kita pun melayang terbang. Sebagai debu, kita bisa dibentuk menjadi bejana yang indah. Bejana yang indah untuk dipajang sebagai penghias ruang. Namun betapa rapuhnya kita. Betapa rapuhnya. Walau kadang kita menganggap diri kita memiliki kekuatan yang tak terbatas untuk mengejar semua hasrat, ambisi dan keinginan kita. Tetapi ah, kita hanyalah debu. Debu yang ternyata tak punya apa-apa selain dari pikiran, hasrat dan perasaan semata.

Hidup. Hidup memiliki banyak warna. Variasi tak terhitung oleh daya pikir kita. Namun betapa terbatasnya daya ungkap kita dalam melihat dan merasakan aneka peristiwa di muka bumi ini. Aneka kemungkinan dan ketak-terbatasan yang sering jauh dari daya jangkau perasaan kita. Dapatkah kita memastikan suatu hal sebagai suatu kebenaran mutlak? Bukankah dapat terjadi, saat kita dengan penuh puas hati merasa bangga atas diri sendiri, angin berhembus lalu kita dibawa pergi? Pergi, melayang jauh dan terlupakan dalam waktu.

Detik ke menit. Menit ke jam. Jam ke hari. Hari ke minggu. Minggu ke bulan. Bulan ke tahun. Tahun ke Abad. Waktu lewat dan dimanakah kita kelak? Kita, yang saat ini sedang merasa puas ataupun pilu atas apa yang sedang kita alami, hanya sekedar tanah liat yang dibentuk menjadi bejana – indah atau tidak – hanya dan untuk sekejap waktu. Tetapi toh, dalam waktu yang sesingkat itu Sang Pemilik ingin menikmati kegunaan ciptaan-Nya. Jadi, bukan semata kekhawatiran serta kebanggaan yang terus memenuhi ambisi dan hasrat kita, tetapi apa dan bagaimana kita dapat dibutuhkan oleh Sang Pencipta.

Sebab memang, kita diciptakan dari debu demi untuk suatu tujuan yang sering tak terpikirkan oleh kita. Sebab tak terpikirkan, maka kita harus belajar untuk mencari dan terus mencari. Bukan dengan melambungkan perasaan kebanggaan dan kepentingan kita semata, tetapi terutama dalam berjuang untuk kemanusiaan kita. Kemanusiaan yang rapuh tetapi tetap sangat punya makna. Demi untuk mengenal dan mengetahui apa yang sesungguhnya menjadi tujuan keberadaan kita di dunia ini. Keberadaan kita saat ini. Kita punya warna. Satu warna dari aneka warna yang tak terbatas. Kita punya waktu. Satu jangka waktu singkat dari sebuah masa yang sangat teramat panjang.

Pada akhirnya kita memang hanya debu. Kita hanya debu. Tetapi debu yang berguna karena dibentuk dan membentuk diri kita untuk menjadi sesuatu yang dibutuhkan dunia ini. Mulia atau tidak, kita semua telah ada dan hidup. Sekarang. Maka bukan pada apa peristiwa yang saat ini sedang kita alami, tetapi pada apa hal apa yang akan dan sedang kita lakukan saat inilah tergantung kemungkinan kebenaran keberadaan kita. Kadang, kita memang membutuhkan pegangan. Kadang, kita mengharapkan topangan. Tetapi lebih dari itu, untuk hidup yang punya arti, kita harus berbuat agar dibutuhkan. Untuk membuktikan keberadaan kita. Untuk kelegaan kita. Untuk Sang Pencipta yang telah membuat diri kita hadir di sini. Karena untuk itulah, kita ada dan dilimpahi kekuatan sebagai harta yang tak berkesudahan.

Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. (II Korintus  4:7)

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...