Kita seringkali hidup bersama bayang-bayang kita sendiri. Ketakutan dan kegagapan menghadapi hari esok. Ketidak-tahuan yang sering membuat kita gentar karena merasa tak berdaya untuk menjalani hari ini membuat kita tenggelam dalam kegelapan. Merasa kecewa, putus asa bahkan sering terdorong dengan mencari jalan pintas untuk mengakhirinya dengan cepat. Kita kehilangan cahaya. Kita bahkan memasuki kegelapan itu sendiri, yang sesungguhnya ingin kita hindari. Kita menyerah kalah. Kita merasa tak mampu berbuat apa-apa. Kelam.
Kemanakah cahaya pergi? Dimanakah dia kini? Mengapa yang kita rasakan hanya perasaan hampa, ditinggalkan sendirian, sepi dan tak berdaya sama sekali? Mengapa kita merasa telah kehilangan semua hal yang dapat membuat kita hidup? Semangat kita? Harapan kita? Apakah memang dunia ini sudah demikian gelapnya sehingga kita tak bisa lagi merasakan lembutnya elusan angin? Kita tak mampu lagi menikmati indahnya cahaya fajar? Kita enggan untuk melangkah keluar dari sudut keterpencilan kita yang perih, dan lebih memilih untuk tetap di dalam bahkan menikmatinya sambil menghancurkan diri kita sendiri hingga akhir tiba? Mengapa?
Kita seringkali hidup bersama bayang-bayang kita sendiri. Memikirkan sesuatu yang tak pasti sebagai suatu kepastian. Membenarkan sesuatu yang belum tentu benar. Menyedihkan sekaligus ironis. Kita ingin keluar dari bayang-bayang gelap ini namun enggan untuk meninggalkan tempat kita yang sekarang karena kita merasa demikianlah kita harus menetap di sini. Kita menolak perubahan. Kita takut berubah dan menerobos kebekuan karena khawatir akan merusak semua hal yang ada. Kita takut karena menganggap bahwa perubahan itu juga dapat berupa suatu ketidak-pastian yang baru. Dan memang demikianlah. Memang demikian.
Tetapi, bukankah jika kita kehilangan cahaya, kita tidak harus menanti datangnya cahaya itu dengan sendirinya? Bukankah justru karena kegelapan itu kita harus menyalakan lilin agar cahaya itu datang? Bahkan mungkin sebatang lilin sedang siap menanti kita sekarang untuk menyalakannya. Cahaya sedang siap untuk datang tetapi terang tak mungkin ada jika kita tidak mengupayakan untuk menyalakannya dengan daya kemampuan kita sendiri. Cahaya menanti dan selalu menanti. Tergantung apakah kita mau dan mampu untuk bangkit berdiri menyalakannya. Tergantung apakah kita mau berupaya untuk meninggalkan sudut gelap kita untuk mencari dan menemukannya. Cahaya sedang menanti maka akan sia-sia jika kita juga menanti dia. Jika demikian, kita takkan pernah menemukan cahaya. Kita pun gagal menerangi hidup kita.
Kita seringkali hidup bersama bayang-bayang kita sendiri. Kita hidup bersama ketakutan dan kekhawatiran kita sendiri. Terkadang kita bahkan menikmati kegelapan kita karena dengan demikian, kita tak perlu bersusah payah untuk bergerak dan bekerja keras untuk menemukan sebatang sebatang korek api agar kita bisa menyalakan lilin kehidupan kita. Hidup adalah sebuah proses. Karena itu, keindahan kehidupan itu terletak pada proses dan bukan tujuan yang – entah baik entah buruk – akan kita temui kelak. Kita sama sekali tak bisa dan takkan mampu untuk menebak masa depan. Jadi mengapa takut? Mengapa kita khawatir, ragu-ragu dan menghindari masa depan itu? Mengapa?
Carilah lilin kehidupan ini. Temukanlah dia. Dan nyalakanlah. Dengan demikian, cahaya akan terang benderang menerangi hidup ini. Memang dibutuhkan banyak pengorbanan untuk itu. Memang diperlukan banyak perasaan kecewa, pedih dan duka dalam perjalanan pencarian kita. Tetapi bukankah Yesus sendiri bahkan sampai harus mengurbankan dirinya hingga mati disalib demi menjadi cahaya bagi kita semua? Dan bukankah kita semua dapat mengikuti teladan yang telah diberikan Tuhan sendiri kepada kita? Jadilah terang. Nyalakanlah lilin. Jangan menanti hingga cahaya itu dapat bersinar sendiri. Jangan menanti sebab waktu tak pernah menanti kita. Maka sebelum terlambat, sebelum waktu kita usai, mari kita menyinari dunia ini dengan cahaya yang kita buat. Kita buat sendiri.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar