15 Maret 2011

SESAT

“Dia sesat. Dan berjalan ke arah yang salah”. Demikian kerap kita mendengar perkataan itu kepada mereka yang kita rasa tidak sejalan dengan iman dan keyakinan yang kita anggap benar. Apakah sesat itu? Apakah jalan yang salah itu? Benarkah jalan yang kita tempuh saat ini? Bisakah kita memastikan bahwa jalan yang kita ambil sekarang adalah sungguh-sungguh kebenaran yang mutlak? Dapatkah kita memastikan bahwa kita sungguh-sungguh mengetahui apa yang diinginkan oleh Sang Pencipta? Bukankah dengan memastikan kebenaran yang diinginkan-NYA berarti kita menganggap diri kita sendiri seakan-akan menjadi Tuhan atas kehidupan ini? Tidakkah dengan sikap menjadi Tuhan sendiri merupakan suatu kesesatan yang bahkan mungkin lebih salah lagi?

“Ada tertulis.......” demikian jawaban yang mungkin kita terima saat bertanya-tanya tentang apa sesungguhnya yang diinginkan oleh Sang Pencipta. Tetapi sungguh dan pastikah kita akan makna yang telah tertulis itu? Dan tanpa keraguan sedikit pun menyisihkan makna lain yang mungkin saja bisa berbeda dengan yang terkandung dalam tulisan yang sama? Bahkan, bagaimana kita bisa memastikan jalan yang kita tempuh ini sebagai suatu kebenaran muutlak sementara kita sendiri belum mencapai garis akhir tujuan kita? Tidakkah kita sesungguhnya selalu dalam proses untuk mencari. Dan mungkin kita sendiri bisa merasa bahwa ternyata saat ini kita sedang berjalan di jalan yang kelam, tetapi toh, kita tak mungkin memastikan jalan orang lain – bahkan yang terdekat dengan kita sekali pun – sementara berjalan di jalan yang gelap itu pula?

Aku merenungkan semua ini ketika menyaksikan gelombang bencana yang melanda dunia. Sungguh, betapa kita semua ini hanya insan-insan yang rapuh. Dan saat bencana tiba, entah yang merasa diri benar entah yang dianggap sesat, akan tersapu habis. Dan saat itu, suatu kepastian tiba. Kepastian yang sungguh tak mampu kita ingkari. Kebenaran hanya milik Dia semata. Dan ketika waktunya tiba, kita pun akan menyadari apakah kebenaran itu sesungguhnya. Sebelum itu, kita hanya dapat mencari, mengetuk dan meminta dengan kesadaran manusiawi kita tanpa mampu memastikan kehendak-Nya. Sebab kita bukanlah Dia. Kita hanya debu yang sekejap dapat sirna tertiup angin lewat....

 Manusia hidup dengan jalan pikiran dan perasaannya masing-masing. Kita adalah insan yang unik, insan yang selalu berproses dalam mencari untuk menemukan kebenaran yang tak dapat dipastikan sebelum tiba saatnya. Sebab itu, kebenaran tak dapat dan tak mungkin dapat kita pastikan saat kita masih mengembara di dunia ini. Justru dalam proses pencarian itulah kita hidup. Justru dalam proses untuk berusaha mengenal dan menemukan apa yang diinginkan oleh Sang Pencipta itulah kita hadir. Kita telah diberi dan memiliki kebebasan untuk mencari, dengan upaya – pemikiran – perasaan kita sendiri, bukannya dengan memaksa dan menggiring orang lain untuk mengikuti apa yang kita anggap benar, dan berlaku seakan-akan kitalah yang maha tahu dan maha benar. Dengan bertindak seakan-akan kitalah Sang Pencipta karena merasa bahwa kita dapat memastikan jalan pikiran-Nya.

Sungguh, alam semesta ini luas. Luas dan tak terbatas dan tak terselami. Makna keberadaan kita. Keinginan dan hasrat kita. Kebenaran kita. Kekhawatiran kita. Semua kegundahan dan ketak-pahaman kita terhadap kehidupan ini. Bencana dan musibah. Semua tanda tanya, keheranan dan ketakjuban kita. Bukankah semua itu mengandung arti bahwa kita ternyata memang belum dan takkan mampu untuk memahami kehidupan apalagi untuk memastikan kebenaran hidup ini. Jika demikian, mengapa kita bisa dan hendak memastikan apakah jalan yang dilalui orang lain itu sesat dan salah? Mengapa? Jangan-jangan, ya siapa tahu, justru jalan yang kita tempuh saat ini dengan merasa dan mengakui diri kita sungguh-sungguh merasa pasti atas kebenaran kehendak Sang Pencipta sesungguhnya merupakan jalan yang salah dan tak direstui oleh-Nya. Ya, siapa tahu? Kebenaran mutlak adalah milik-Nya, bukan milik kita. Kita hanya dapat berupaya untuk mencari. Dan terus mencari. Tanpa pernah mampu memastikan. Sebelum waktunya tiba. Sebelum saatnya tiba.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...