26 Juni 2012

BEBAN


Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” (Mat 11:29)

Aku letih” bisikmu lirih. “Aku letih. Betapa semua hal tergantung padaku. Sementara aku tak tahu harus bergantung pada siapa. Semua mengandalkan diriku sementara aku tak tahu harus mengandalkan siapa. Aku harus menanggung beban tanpa bisa berbagi. Aku dipaksa tegar. Sendirian. Sementara aku sendiri merasa tak berdaya. Begitu tak berdaya. Aku tak tahu harus berbuat apa, sementara aku harus berbuat sesuatu. Sering hal yang bertentangan dengan kehendakku sendiri. Mengapakah orang-orang demikian lemahnya sehingga tak menyadari kelemahan diriku sendiri? Mengapa hidup ini demikian tidak adil? Mengapa aku harus ada? Dimanakah Tuhan pada saat aku demikian membutuhkan sandaran? Dimanakah orang-orang lain yang dapat kuandalkan? Mengapa aku sering merasa sendiri? Seorang diri?”

Kau terpekur. Dengan perasaan yang pedih dan putus asa. Hidup bagimu adalah sebuah beban yang harus kau panggul bahkan di saat-saat kau merasa amat lemah sekali pun. Dan aku melihat betapa seringnya hidup memang tidak adil. Manusia harus menerimanya, suka atau tidak, dengan ketabahan. Manusia harus menjalaninya, suka atau tidak, dengan kerelaan. Sebab bukan kewajiban yang harus disesali, tetapi tanggung jawab yang harus dipenuhi. Setiap hidup berjalan dari keputusan yang telah dibuat. Dan dari setiap keputusan itulah, keberadaan kita menjadi utuh. Kita lemah tetapi sekaligus kuat. Kita mungkin hidup dengan hati pedih namun tetap harus bersama pikiran yang jernih. Sebab itulah anugerah terbesar yang diberikan pada kita. Anugerah terbesar yang wajib kita gunakan. Kita tidak saja layak untuk menerima semuanya, kita pun harus mau memberikan segalanya. Bagi kehidupan ini. Bagi dunia ini.

Fajar tiba. Setiap hari baru terbit bersama dengan kelahiran dan kematian. Pertemuan dan perpisahan. Berangkat dari keberadaan kita di dunia ini, kita mulai belajar dari mengikuti, menerima apa saja yang kita saksikan dan kita alami, yang pada mulanya tidak perlu kita pikirkan. Kita hanya meniru. Tetapi dalam perjalanan waktu, kita harus berkembang. Perlahan kita mulai dapat memberi. Kita harus berbagi. Dan jika kemudian kita ternyata harus memberikan semuanya, bukankah pada awalnya kita juga telah menerima semuanya? Jadi mengapa harus disesali? Toh, ada saatnya semuanya akan berakhir? Hidup ini sementara saja dan suatu waktu kita akan pergi. Jadi saat malam datang, tibalah saatnya kita memejamkan mata ini. Mengistirahatkan jiwa dan raga kita. Memasuki keabadian. Setelah sepanjang hari melakukan sesuatu dimana semakin banyak pemberian kita sepanjang hari akan meninggalkan jejak yang kian bermakna pula dalam kenangan sang waktu.

Aku letih” bisikmu lirih. Hidup memang tidak mudah. Terutama saat perasaan kita sedemikian menggoda sehingga kita tidak mampu lagi untuk mempergunakan pikiran kita. Terutama saat kita merasa pahit, kecewa, iri dan sakit hati karena ternyata semua yang kita inginkan tak mampu kita raih. Sementara kita menyaksikan betapa orang-orang di sekeliling kita seakan dengan mudahnya mendapatkan apa yang kita sendiri harapkan. Tetapi sungguhkah itu yang diharapkan oleh orang-orang itu? Pastikah kita bahwa apa yang mereka inginkan adalah sama dengan apa yang kita inginkan? Tidak! Seberapa banyakkah diantara kita yang dapat meraih semua yang diharapkannya? Jika kita semua mau jujur pada diri sendiri, kita akan sadar, betapa mustahilnya kita untuk memperoleh semua yang kita harapkan. Tetapi hidup berjalan terus. Dan kita harus menerimanya. Tenggelam dalam kekecewaan hanya membuat hidup kita jadi sia-sia. Membuat kita gagal untuk melihat keindahan dunia ini. Sebab hidup ini untuk dinikmati apa adanya, bukan untuk disesali.

Setiap manusia memiliki bebannya sendiri-sendiri. Setiap manusia pasti akan merasakan kekecewaannya masing-masing. Tak ada yang lepas dari perasaannya sebagai sosok yang hidup dan unik. Dan memang, kita masing-masing sering merasakan bahwa derita kitalah yang terdalam. Kegagalan kitalah yang terpahit. Kesalahan kitalah yang terbesar. Setiap manusia hidup dalam dan bersama alam pikirannnya sendiri. Namun percayalah, kita tidak sendirian. Tidak seorang diri. Setiap saat, pandanglah wajah-wajah di sekeliling kita. Jangan hanya bersembunyi di sudut kamar kita yang kecil dan gelap. Lihat dan dalamilah perasaan yang disembunyikan di balik raut wajah sesama kita. Dapatkah kita memahami apa yang tersembunyi dibalik tawa ria, senyum hangat atau bahkan kemurungan mereka? Dapatkah kita memastikan bahwa seandainya kita yang memanggul beban mereka, kita dapat lebih berbahagia? Dapatkah?

Aku letih” bisikmu lirih. Ya, hidup memang meletihkan jika kita hanya terpenjara dalam ruang hidup kita sendiri dan tak mampu melihat keluar. Hidup akan sangat melelahkan jika kita tak mampu menerima keterbatasan kita masing-masing. Dan percayalah, Tuhan ada di samping kita, menemani kita, tetapi sering kita gagal melihat-Nya karena kita enggan untuk mensyukuri dan menikmati apa yang kita miliki sekarang. Tuhan ada dalam segelas air yang kita minum. Tuhan ada dalam makanan yang kita santap. Tuhan ada dalam ruang yang membuat kita terhindar dari sengatan terik siang dan dingin malam. Tuhan bahkan ada dalam derita yang kita alami sendirian. Sebab DIA sendiri telah menderita di atas salib-NYA. Jika demikian, mengapa kita lari dari salib kita? Mengapa?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...