15 Juni 2012

MENJADI MANUSIA


Hidup ini bukan hanya prosa. Tetapi juga puisi. Tidak pula seragam. Tetapi beragam. Sebab itu, mengetahui tidaklah cukup. Perlu pula memahami. Menjadi manusia, kita semua tidak hanya dikaruniai akal tetapi juga perasaan. Sama seperti ada siang dan ada malam, kita membutuhkan kesenyapan, bukan hanya keriuhan. Bersamanya, kita bertindak dan juga merenungi setiap tindakan itu. Demikianlah, hidup berlangsung tidak pernah hitam putih namun berwarna-warni. Justru karena itulah, kita menerima hidup dengan penuh rasa syukur sebagai suatu anugerah yang sangat indah dari Sang Pencipta.

Maka siapapun yang berpikir bahwa dia memiliki kebenaran dengan K besar, sesungguhnya telah gagal memaknai hidup ini. Gagal memahami keindahan perbedaan. Bahkan gagal untuk mengerti diri sendiri. Sebab, siapakah kita yang hanya melintas sesaat di perjalanan waktu yang tak terbatas ini? Siapakah kita yang bersikap demikian pasti menghadapi pikiran manusia lain, sementara kita sendiri tak bisa memastikan pikiran kita? Dapatkah kita berkata dengan jujur bahwa kita tak pernah sesekali merasa ragu akan akal kita? Dapatkah kita dengan jujur memastikan pengetahuan yang kita terima saat ini adalah sebuah kebenaran mutlak?

Menjadi manusia sesungguhnya adalah sebuah proses untuk belajar tanpa akhir. Dan mencoba untuk memahami bahwa pembelajaran itu takkan pernah sempurna. Sebab, bahkan dengan gelar secanggih apapun yang kita miliki, hanya terbatas pada secarik kertas dan tambahan di belakang nama, yang tak pernah berarti bahwa kita telah memiliki kebenaran dengan K besar sehingga saat itu kita dapat berhenti untuk memahami serta mulai memaksakan pengetahuan kita kepada dunia luas. Tidak. Hidup adalah proses untuk mendidik diri sendiri, mengolah kehendak kita dan berupaya untuk mengerti setiap tindakan yang kita lakukan beserta dampaknya terhadap semesta. Sang Pencipta tidak hanya memiliki diri kita, tidak hanya berada dalam pemahaman kita, dan anugerah-Nya tidak hanya dibagikan untuk kita saja. Kita bukanlah manusia yang istimewa, walau setiap pribadi bisa menganggap dirinya demikian.

Hidup bukan hanya prosa, tetapi juga puisi. Dan tidak seperti prosa yang penuh dengan penjelasan yang dapat disatu-artikan, puisi mengandung banyak makna yang memiliki kebenarannya sendiri-sendiri. Karena itu, setiap hidup sesungguhnya dijalani secara berbeda, walau di dalam situasi yang serupa. Kita tak pernah sama, walau terkadang bisa mirip. Apa yang kita rasakan, apa yang kita pikirkan, apa yang kita ketahui, hanya berarti suatu kebenaran bagi kita, bukan bagi sesama. Sedekat apapun kita dengan dirinya. Pada akhirnya, kita semua hanya debu yang akan lenyap tertiup angin. Pada akhirnya, kita akan menyerah dan lenyap dari kehidupan ini. Pada saat itu, haruslah kita bertanya, dimanakah kegarangan kita? Dimanakah keangkuhan kita? Dimanakah kekuatan-kekuasaan-kekayaan kita yang pernah demikian jaya kita punyai ? Dimanakah kita? Dapatkah kita memastikan bahwa apa yang kita anggap kebenaran akan memiliki kita selamanya? Dapatkah?

Sesungguhnya, jika Yang Maha Kuasa ingin menciptakan kita seragam, tidaklah mungkin IA menciptakan kita beragam. Jika IA ingin membuat kita sama, tidaklah mungkin IA menciptakan kita berbeda. Tidak! Keberagaman adalah suatu keindahan, bukannya suatu dosa atau kesalahan yang harus dilenyapkan. Keberagaman adalah suatu anugerah yang harus disyukuri karena DIA, bukannya disalahkan dan harus dilenyapkan. Bukan kita, tetapi DIA-lah Sang Pencipta. Kita hanya manusia, karena itu kita harus belajar menjadi manusia. Bukan menjadi Sang Pencipta. Hidup itu indah, jika kita mampu memahaminya. Hidup itu puisi, bukan hanya prosa. Hidup itu dijalani dengan kebenaran-kebenaran kecil yang kita miliki tanpa perlu memaksakan kebenaran kita kepada dunia. Hidup itu adalah ketidak-sempurnaan di mata masing-masing orang, walau masing-masing juga bisa menganggap dirinya sempurna. Sebab yang sempurna hanya satu. Hanya satu.

Kenanglah kami, jika sempat, bukan sebagai jiwa-jiwa garang, tetapi sekedar sebagai orang-orang kosong” (The Hollow Man-TS Eliot)

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...