“Di sini kami
hidup apa adanya. Barangkali terasa berat, tetapi tetap akan kami
jalani. Kami percaya bahwa semua hal ada yang baik. Bahkan dalam
suasana sejelek apapun juga. Bukankah selalu ada tawa bahkan biar
kita susah bagaimana juga? Kami hanya perlu merasakannya. Dan
menikmatinya....” Demikian kata-kata bijak seorang petani tua yang
menetap jauh di pedalaman. Jauh dari keramaian kota. Dan jalan menuju
ke lokasinya yang tidak beraspal. Berlumpur di musim hujan. Berdebu
di musim panas.
Tiba-tiba aku
mengingat kalimat-kalimat itu, saat membaca atau mendengarkan
berbagai keluhan atau protes mengenai hidup ini. Barangkali memang,
kian banyak keinginan kian banyak pula keluhan kita. Seberapa
banyakkah dari kita yang sadar betapa hidup yang kita bayangkan
sesungguhnya sulit atau mustahil sama dengan hidup yang kita jalani.
Dan saat kita merasa gusar terhadap apa yang dilakukan orang terhadap
kita, karena kita merasa tak sesuai dengan apa yang kita inginkan,
sadarkah kita bahwa kita sungguh meninginkannya? Jangan-jangan
keinginan itu timbul justru saat kita menerima atau merasakan apa
yang telah dilakukan orang lain. Sementara jika orang itu tak
melakukan sesuatu apapun justru kita juga tidak memiliki keinginan
yang berbeda.
Hidup itu sulit jika
kita tak mampu menyederhanakannya. Hidup menjadi pelik jika kita
hanya mau menerima tanpa mampu memberi, sedang saat menerima kita
merasa tak pernah puas dengan apa yang kita dapatkan. Padahal kita
sendiri sesungguhnya tak tahu apa yang kita inginkan. Sebab kita tak
mengetahui sebelum seseorang melakukan sesuatu yang ternyata kemudian
tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Dan itulah soalnya. Kita
tidak membutuhkan sesuatu yang belum ada. Tetapi saat dia menjadi
ada, kita ternyata tak merasa puas.
Tetapi dapatkah kita
hidup dengan seadanya disaat kita dilingkupi dengan aneka macam
keberadaan benda-benda yang tak mampu kita miliki? Dan disaat yang
sama pula tak mampu kita ciptakan sendiri? Tidakkah pada akhirnya,
semuanya itu membuat hidup kita menjadi lebih rumit. Dengan beban
keinginan, hasrat dan ambisi yang tidak berkesudahan. Kesemuanya
membuat kita terperangkap dalam obsesi untuk mencari solusi namun
bila ternyata kita gagal, dapat membuat hidup kita menjadi pahit.
Atau malah putus asa.
“Di sini kami
hidup apa adanya”, kata petani tua itu. Dengan kata lain, di sini
hidup, bagi mereka, adalah suatu kesederhanaan. Sebab, “selalu ada
tawa dalam kondisi susah bagaimana pun”. Jauh di lokasi yang
terpencil, dimana kesunyian menjadi sahabat sehari-hari, hidup
ternyata menjadi lebih ringan. Daripada di kota-kota yang mengagumkan
dengan cahaya kelap-kelip dan tak pernah tertidur, namun ternyata
sering kita merasakan kesusahan yang bersembunyi di antara tawa ria
yang bergemuruh. Kesepian di tengah keramaian. Kesengsaraan di tengah
kemewahan.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar