10 Juni 2012

PERISTIWA


That we are ruined by the thing we kill
(Judith Wright)

Peristiwa seringkali serupa memasang sperei. Dirapikan di ujung sini, kusut di ujung sana. Dan segala sesuatu yang dikurbankan pada akhirnya akan mengurbankan juga. Ada banyak tanya yang tak berjawab. Sementara waktu gagal mengobati apa yang pada mulanya kita anggap akan lenyap bersamanya. Hidup memang semacam ketak-terdugaan. Apa yang kita rencanakan tak terujud, sementara apa yang kita hindari justru terlaksana. Tetapi dapatkah kita menyalahkan dia? Sebab sesungguhnya kita sama sekali tak punya kekuasaan untuk mengubah kemungkinan menjadi kepastian.

Tetapi bagaimana pun juga, ada yang harus dilakukan. Karena hidup seperti permainan puzzle. Kita harus menyusun potongan-potongan kecilnya menjadi sebuah lukisan besar. Sementara kita sendiri tak tahu pasti, bagaimana sesungguhnya gambaran lukisan itu. Yang ada hanya kemungkinan-kemungkinan yang, walau kita dapat menganggapnya sebagai suatu kepastian, tetap tidak menentukan bahwa kebenaran kita adalah mutlak. Sebab semua kisah punya latar belakang. Dan semua latar belakang menyusun cara kita sendiri untuk melukiskannya secara unik. Dan tidak akan pernah serupa satu sama lain. Biarpun kita mengalami situasi yang sama. Dan identik.

Usia. Yang memanjang. Akan memajangkan segala peristiwa. Yang tak mungkin ditarik kembali. Tetapi masa depan masih menyimpan misteri. Dan kita tahu. Dan sadar. Bahwa, ada yang tak bisa kita pastikan. Sebelum kita melangkah melewatinya. Bersama sang waktu. Bersama keputusan kita. Sendiri. Hingga di ujung, kita dapat merenungkan apa yang telah terjadi. Dan, walau tak mungkin kita mengulangnya. Tetap kita dapat mengubah peristiwa itu. Menjadi lain dari hasil sekarang. Demikianlah, hidup tak pernah sempurna. Seperti yang kita inginkan. Kenyataan tak pernah sesuai. Seperti yang kita harapkan.

Namun, siapakah kita? Manusia yang sering merasa diri demikian kuat. Angkuh. Tetapi bebal. Hingga di titik akhir. Akan menyadari, betapa sesungguhnya, kita tidaklah kekal. Sebagaimana angin berhembus. Kita hanya mampir sejenak. Lalu pergi menghilang. Menyisakan sepetak kenangan. Betapa sesungguhnya kita hanyalah sosok tanpa daya. Untuk mengubah waktu. Untuk mengubah peristiwa yang telah terjadi. Menjadi sesuatu yang kita anggap sebagai kebenaran. Yang hanya ada di pikiran kita. Dan terlupakan setelah ketiadaan tiba. Kosong.

Senyatanya, kita bebas untuk memilih. Kita bebas untuk menentukan. Tetapi tidak mungkin dapat memastikan kebenaran. Selain dari apa yang ada di pikiran kita. Dan karena setiap orang memiliki kebenarannya sendiri-sendiri. Atau yang dianggapnya sebagai kebenaran. Maka ada sedemikian banyak kebenaran di dunia ini. Dan jika kebenaran ternyata sedemikian banyak. Apakah kebenaran itu? Setiap pengorbanan yang kita berikan. Dan setiap korban yang kita buat. Ternyata pada akhirnya terbukti tak berarti apa-apa. Kecuali bagi pikiran kita saja. Kecuali menurut anggapan kita belaka.

Lihatlah betapa peristiwa yang setiap kali ingin kita rapikan, di sisi kita, hanya akan membuat kekusutan di sisi yang lain. Sebab apa yang kita anggap sempurna bagi kita, ternyata cacat bagi yang lain. Apa yang berusaha kita sembuhkan, ternyata akan melukai. Sehingga pada akhirnya, kehidupan kita dapat menjadi kematian sesama. Sehingga pada akhirnya, kita menjadi beban, bukannya penyelamat. Walaupun kelembutan akan melahirkan kekalahan, namun pasti kekerasan akan melahirkan kekerasan. Terus menerus. Dan walau kita unggul dalam kekerasan, siapa yang dapat memastikan bahwa kita unggul pula dalam kebenaran? Siapa?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...