That we are ruined by
the thing we kill
(Judith
Wright)
Peristiwa seringkali
serupa memasang sperei. Dirapikan di ujung sini, kusut di ujung sana.
Dan segala sesuatu yang dikurbankan pada akhirnya akan mengurbankan
juga. Ada banyak tanya yang tak berjawab. Sementara waktu gagal
mengobati apa yang pada mulanya kita anggap akan lenyap bersamanya.
Hidup memang semacam ketak-terdugaan. Apa yang kita rencanakan tak
terujud, sementara apa yang kita hindari justru terlaksana. Tetapi
dapatkah kita menyalahkan dia? Sebab sesungguhnya kita sama sekali
tak punya kekuasaan untuk mengubah kemungkinan menjadi kepastian.
Tetapi bagaimana pun
juga, ada yang harus dilakukan. Karena hidup seperti permainan
puzzle. Kita harus menyusun potongan-potongan kecilnya menjadi sebuah
lukisan besar. Sementara kita sendiri tak tahu pasti, bagaimana
sesungguhnya gambaran lukisan itu. Yang ada hanya
kemungkinan-kemungkinan yang, walau kita dapat menganggapnya sebagai
suatu kepastian, tetap tidak menentukan bahwa kebenaran kita adalah
mutlak. Sebab semua kisah punya latar belakang. Dan semua latar
belakang menyusun cara kita sendiri untuk melukiskannya secara unik.
Dan tidak akan pernah serupa satu sama lain. Biarpun kita mengalami
situasi yang sama. Dan identik.
Usia. Yang
memanjang. Akan memajangkan segala peristiwa. Yang tak mungkin
ditarik kembali. Tetapi masa depan masih menyimpan misteri. Dan kita
tahu. Dan sadar. Bahwa, ada yang tak bisa kita pastikan. Sebelum kita
melangkah melewatinya. Bersama sang waktu. Bersama keputusan kita.
Sendiri. Hingga di ujung, kita dapat merenungkan apa yang telah
terjadi. Dan, walau tak mungkin kita mengulangnya. Tetap kita dapat
mengubah peristiwa itu. Menjadi lain dari hasil sekarang.
Demikianlah, hidup tak pernah sempurna. Seperti yang kita inginkan.
Kenyataan tak pernah sesuai. Seperti yang kita harapkan.
Namun, siapakah
kita? Manusia yang sering merasa diri demikian kuat. Angkuh. Tetapi
bebal. Hingga di titik akhir. Akan menyadari, betapa sesungguhnya,
kita tidaklah kekal. Sebagaimana angin berhembus. Kita hanya mampir
sejenak. Lalu pergi menghilang. Menyisakan sepetak kenangan. Betapa
sesungguhnya kita hanyalah sosok tanpa daya. Untuk mengubah waktu.
Untuk mengubah peristiwa yang telah terjadi. Menjadi sesuatu yang
kita anggap sebagai kebenaran. Yang hanya ada di pikiran kita. Dan
terlupakan setelah ketiadaan tiba. Kosong.
Senyatanya, kita
bebas untuk memilih. Kita bebas untuk menentukan. Tetapi tidak
mungkin dapat memastikan kebenaran. Selain dari apa yang ada di
pikiran kita. Dan karena setiap orang memiliki kebenarannya
sendiri-sendiri. Atau yang dianggapnya sebagai kebenaran. Maka ada
sedemikian banyak kebenaran di dunia ini. Dan jika kebenaran ternyata
sedemikian banyak. Apakah kebenaran itu? Setiap pengorbanan yang kita
berikan. Dan setiap korban yang kita buat. Ternyata pada akhirnya
terbukti tak berarti apa-apa. Kecuali bagi pikiran kita saja. Kecuali
menurut anggapan kita belaka.
Lihatlah betapa
peristiwa yang setiap kali ingin kita rapikan, di sisi kita, hanya
akan membuat kekusutan di sisi yang lain. Sebab apa yang kita anggap
sempurna bagi kita, ternyata cacat bagi yang lain. Apa yang berusaha
kita sembuhkan, ternyata akan melukai. Sehingga pada akhirnya,
kehidupan kita dapat menjadi kematian sesama. Sehingga pada
akhirnya, kita menjadi beban, bukannya penyelamat. Walaupun
kelembutan akan melahirkan kekalahan, namun pasti kekerasan akan
melahirkan kekerasan. Terus menerus. Dan walau kita unggul dalam
kekerasan, siapa yang dapat memastikan bahwa kita unggul pula dalam
kebenaran? Siapa?
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar