17 Juni 2012

IMAJI


Kita harus membayangkan Sisifus berbahagia
(Mite Sisifus – Albert Camus)

Manusia hidup dalam waktu yang relatip. Sejarah memang telah berjalan dengan panjang yang tak terukur, namun setiap riwayat yang dialami dalam waktu tertentu pun tak terukur. Pengalaman hidup adalah suatu aksi yang mengandung unsur keabadian. Setiap kelahiran memulai langkah-langkahnya dengan suatu kepastian: apa yang akan dan dapat dilakukan dalam perjalanannya menuju akhir. Tak satu kelahiranpun yang tak mengandung kematian, namun setiap kelahiran akan berarti bahwa akan ada pilihan-pilihan yang menentukan baik bagi kehidupan itu sendiri, maupun dan terutama bagi kehidupan alam semesta.

Sebab itu, tujuan sesungguhnya bukanlah akhir yang menentukan bagi setiap kelahiran namun dan terutama langkah-langkah yang akan dan dapat diambil dalam perjalanan meraih tujuan itu. Hidup adalah proses berjalan menuju akhir. Hidup bukanlah akhir itu sendiri. Kita lahir dan ada untuk berbuat. Kita lahir dan ada untuk melakukan sesuatu, bukan hanya untuk menuju ke titik tujuan kita, tetapi untuk menikmati bagaimana cara kita menuju kesana. Sebab itu, mereka yang menghasratkan untuk segera mencapai tujuan yang diinginkannya, sesungguhnya tidak pernah akan dapat mencapai apa yang diinginkannya. Baginya, hidup akan terasa membosankan dan sungguh tak bermakna.

Kita harus membayangkan Sisifus berbahagia” tulis Albert Camus, filsuf autodidak dari Perancis dalam penutup bukunya Mite Sisifus. Sisifus, sang manusia yang dihukum oleh para dewa, karena mencuri api bagi manusia lain, untuk membawa sebongkah batu besar ke puncak sebuah gunung namun saat tiba di puncak, batu itu berguling kembali ke dasar sehingga dia harus membawa kembali batu itu naik ke atas. Perjalanan bolak balik, hukuman yang tak terbatas, dan membosankan namun tetap harus dijalani. Dan kita sadar betapa hidup sering terasa demikian. Hari-hari datang dan pergi. Setiap saat kita melakukan dan mengalami peristiwa yang sama yang terasa monoton. Namun hidup tetap harus dijalani, terutama bukan karena kita harus hidup tetapi jauh lebih penting karena kita memiliki tanggung jawab untuk hidup.

Setiap kelahiran bukan hanya memiliki hak tetapi juga tanggung jawab untuk mengisi karunia itu dengan talenta-talenta yang tersimpan dalam kemampuan seseorang secara unik. Setiap langkah dalam hidup, setiap peristiwa yang dialami, setiap kondisi yang dihadapi – baik atau buruk – selalu menyembunyikan sesuatu yang harus kita temukan dan pecahkan dengan daya dan kemampuan kita sendiri. Kita bisa memiliki tujuan, tetapi jika tujuan itu tercapai, apakah itu bisa berarti bahwa kita lantas diam karena merasa berhasil sehingga tak mau lagi mendaki tujuan yang lain? Tidak. Kitalah Sang Sisifus yang selalu harus membawa beban kita naik ke puncak untuk seterusnya, setelah mencapainya, akan menggelinding turun sehingga harus kembali memulai sebuah perjalanan baru untuk meraih puncak lagi. Dan sesungguhnya bukan puncak itu yang utama, tetapi proses menjalani hidup menuju puncak itulah yang harus kita nikmati. Beban kehidupan selalu berat, namun pandangan kita janganlah untuk hanya tertuju ke puncak yang kita sasarkan, tetapi seandainya kita dapat melihat lebih luas ke arah ngarai dan lembah, ke arah keluasan isi alam, kita dapat menemukan keindahan yang menakjubkan. Dan kita harus membayangkah bahwa Sisifus berbahagia, bahkan dalam tujuan yang sia-sia sekali pun.

Hidup sering memang berat. Keadaan sering memang tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Dan kita mungkin berjalan dengan tertatih-tatih, dengan raga dan jiwa yang terkoyak-koyak oleh siksa kelemahan akal dan rasa. Namun bukankah keberadaan kita sekarang sesungguhnya, bagi dunia, sama sekali tidak berarti. Kita, ada atau tidak, dunia tetap berjalan dan waktu tetap melaju. Jadi, nyata bahwa keberadaan kita harus kita maknai sendiri. Kita harus membawa beban kita sendiri. Kita harus menerima apa yang ada dan menghadapi hidup ini sebagaimana yang kita inginkan. Tanpa keraguan, dunia memang tidak peduli, tetapi kita harus peduli. Dan kebebasan kita tidak terletak pada apa yang kita alami atau terima, namun pada apa yang kita pikirkan dan bayangkan sendiri. Sebab, kitalah yang punya hidup. Kita.

Kita harus menikmati hidup kita sendiri. Atau kita akan berakhir dengan sia-sia. Tetapi berakhir sia-sia bukanlah nasib manusia. Berakhir sia-sia merupakan tindakan menyia-nyiakan talenta keberadaan kita, menyia-nyiakan kebebasan yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada kita. Dan intinya, menyia-nyiakan keberadaan kita berarti menyia-nyiakan anugerah Tuhan kepada hidup kita. Sesedih, sepahit atau bahkan setak-berarti apapun kita dalam menghadapi beban hidup ini, semua tergantung dari bagaimana cara kita menerima dan menghadapinya. Bukan tergantung pada dunia. Bahkan tidak tergantung pada Sang Pencipta. Karena sama seperti Sisifus, kita sendirilah yang harus membawa beban kita. Bukan orang lain. Bukan para dewa-dewa. Kita sendiri.

Dan jika mata kita terus menerus hanya tertuju pada puncak yang ingin kita raih, kita takkan pernah akan merasa bahagia. Karena kita tak mampu melihat keindahan lembah dan keluasan alam semesta ini. Perjalanan hidup ini sesungguhnya menyembunyikan banyak keindahan yang harus kita cari dan temukan sendiri. Itu jika kita ingin menikmati hidup ini. Itu jika kita tak mau larut dalam keputus-asaan atas perasaan ketak-mampuan kita. Kita menghadapi hidup ini dengan memandang secara luas sekuat kemampuan kita untuk menikmatinya sambil memusatkan daya menuju tujuan yang ingin kita capai. Sebab hidup, sekali lagi, bukan apa yang ingin kita raih menjadi utama, namun perjalanan menuju kesanalah yang menjadi kenikmatan perjalanan kita dalam waktu keberadaan kita disini. Sekarang. Saat ini. Kita harus merasa berbahagia. Kita harus berbahagia. Maka segala sesuatu akan berubah. Segalanya akan berubah.

Tonny Sutedja 

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...