Kita harus membayangkan
Sisifus berbahagia
(Mite
Sisifus – Albert Camus)
Manusia hidup dalam waktu
yang relatip. Sejarah memang telah berjalan dengan panjang yang tak
terukur, namun setiap riwayat yang dialami dalam waktu tertentu pun
tak terukur. Pengalaman hidup adalah suatu aksi yang mengandung unsur
keabadian. Setiap kelahiran memulai langkah-langkahnya dengan suatu
kepastian: apa yang akan dan dapat dilakukan dalam perjalanannya
menuju akhir. Tak satu kelahiranpun yang tak mengandung kematian,
namun setiap kelahiran akan berarti bahwa akan ada pilihan-pilihan
yang menentukan baik bagi kehidupan itu sendiri, maupun dan terutama
bagi kehidupan alam semesta.
Sebab itu, tujuan
sesungguhnya bukanlah akhir yang menentukan bagi setiap kelahiran
namun dan terutama langkah-langkah yang akan dan dapat diambil dalam
perjalanan meraih tujuan itu. Hidup adalah proses berjalan menuju
akhir. Hidup bukanlah akhir itu sendiri. Kita lahir dan ada untuk
berbuat. Kita lahir dan ada untuk melakukan sesuatu, bukan hanya
untuk menuju ke titik tujuan kita, tetapi untuk menikmati bagaimana
cara kita menuju kesana. Sebab itu, mereka yang menghasratkan untuk
segera mencapai tujuan yang diinginkannya, sesungguhnya tidak pernah
akan dapat mencapai apa yang diinginkannya. Baginya, hidup akan
terasa membosankan dan sungguh tak bermakna.
“Kita harus
membayangkan Sisifus berbahagia”
tulis Albert Camus,
filsuf autodidak dari Perancis dalam penutup bukunya Mite
Sisifus. Sisifus, sang manusia yang
dihukum oleh para dewa, karena mencuri api bagi manusia lain, untuk
membawa sebongkah batu besar ke puncak sebuah gunung namun saat tiba
di puncak, batu itu berguling kembali ke dasar sehingga dia harus
membawa kembali batu itu naik ke atas. Perjalanan bolak balik,
hukuman yang tak terbatas, dan membosankan namun tetap harus
dijalani. Dan kita sadar betapa hidup sering terasa demikian.
Hari-hari datang dan pergi. Setiap saat kita melakukan dan mengalami
peristiwa yang sama yang terasa monoton. Namun hidup tetap harus
dijalani, terutama bukan karena kita harus hidup tetapi jauh lebih
penting karena kita memiliki tanggung jawab untuk hidup.
Setiap kelahiran
bukan hanya memiliki hak tetapi juga tanggung jawab untuk mengisi
karunia itu dengan talenta-talenta yang tersimpan dalam kemampuan
seseorang secara unik. Setiap langkah dalam hidup, setiap peristiwa
yang dialami, setiap kondisi yang dihadapi – baik atau buruk –
selalu menyembunyikan sesuatu yang harus kita temukan dan pecahkan
dengan daya dan kemampuan kita sendiri. Kita bisa memiliki tujuan,
tetapi jika tujuan itu tercapai, apakah itu bisa berarti bahwa kita
lantas diam karena merasa berhasil sehingga tak mau lagi mendaki
tujuan yang lain? Tidak. Kitalah Sang Sisifus yang selalu harus
membawa beban kita naik ke puncak untuk seterusnya, setelah
mencapainya, akan menggelinding turun sehingga harus kembali memulai
sebuah perjalanan baru untuk meraih puncak lagi. Dan sesungguhnya
bukan puncak itu yang utama, tetapi proses menjalani hidup menuju
puncak itulah yang harus kita nikmati. Beban kehidupan selalu berat,
namun pandangan kita janganlah untuk hanya tertuju ke puncak yang
kita sasarkan, tetapi seandainya kita dapat melihat lebih luas ke
arah ngarai dan lembah, ke arah keluasan isi alam, kita dapat
menemukan keindahan yang menakjubkan. Dan kita harus membayangkah
bahwa Sisifus berbahagia, bahkan dalam tujuan yang sia-sia sekali
pun.
Hidup sering memang
berat. Keadaan sering memang tak sesuai dengan apa yang kita
harapkan. Dan kita mungkin berjalan dengan tertatih-tatih, dengan
raga dan jiwa yang terkoyak-koyak oleh siksa kelemahan akal dan rasa.
Namun bukankah keberadaan kita sekarang sesungguhnya, bagi dunia,
sama sekali tidak berarti. Kita, ada atau tidak, dunia tetap berjalan
dan waktu tetap melaju. Jadi, nyata bahwa keberadaan kita harus kita
maknai sendiri. Kita harus membawa beban kita sendiri. Kita harus
menerima apa yang ada dan menghadapi hidup ini sebagaimana yang kita
inginkan. Tanpa keraguan, dunia memang tidak peduli, tetapi kita
harus peduli. Dan kebebasan kita tidak terletak pada apa yang kita
alami atau terima, namun pada apa yang kita pikirkan dan bayangkan
sendiri. Sebab, kitalah yang punya hidup. Kita.
Kita harus menikmati
hidup kita sendiri. Atau kita akan berakhir dengan sia-sia. Tetapi
berakhir sia-sia bukanlah nasib manusia. Berakhir sia-sia merupakan
tindakan menyia-nyiakan talenta keberadaan kita, menyia-nyiakan
kebebasan yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada kita. Dan intinya,
menyia-nyiakan keberadaan kita berarti menyia-nyiakan anugerah Tuhan
kepada hidup kita. Sesedih, sepahit atau bahkan setak-berarti apapun
kita dalam menghadapi beban hidup ini, semua tergantung dari
bagaimana cara kita menerima dan menghadapinya. Bukan tergantung pada
dunia. Bahkan tidak tergantung pada Sang Pencipta. Karena sama
seperti Sisifus, kita sendirilah yang harus membawa beban kita. Bukan
orang lain. Bukan para dewa-dewa. Kita sendiri.
Dan jika mata kita
terus menerus hanya tertuju pada puncak yang ingin kita raih, kita
takkan pernah akan merasa bahagia. Karena kita tak mampu melihat
keindahan lembah dan keluasan alam semesta ini. Perjalanan hidup ini
sesungguhnya menyembunyikan banyak keindahan yang harus kita cari dan
temukan sendiri. Itu jika kita ingin menikmati hidup ini. Itu jika
kita tak mau larut dalam keputus-asaan atas perasaan ketak-mampuan
kita. Kita menghadapi hidup ini dengan memandang secara luas sekuat
kemampuan kita untuk menikmatinya sambil memusatkan daya menuju
tujuan yang ingin kita capai. Sebab hidup, sekali lagi, bukan apa
yang ingin kita raih menjadi utama, namun perjalanan menuju kesanalah
yang menjadi kenikmatan perjalanan kita dalam waktu keberadaan kita
disini. Sekarang. Saat ini. Kita harus merasa berbahagia. Kita harus
berbahagia. Maka segala sesuatu akan berubah. Segalanya akan berubah.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar