28 Oktober 2008

MENEMBUS KABUT

Berempat kami menembus kegelapan malam. Gerimis yang turun membasahi mantel kami. Kabut mengambang seakan asap yang lembut membungkus tubuh kami. Jarak pandang hanya setengah meter ke depan. Dan tanpa membawa senter atau penerang lain, kami melangkah diam-diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing, meniti di atas pematang sawah yang berlumpur dan licin. Hawa cukup dingin walau tak sampai menggigilkan dan beruntung pula bahwa hujan tidak sampai menderas. Kami sedang menuju ke sebuah desa di Bone untuk menjenguk orang tua teman kami yang sedang sakit tetapi tak menyangka bahwa desa tersebut demikian sulit dan tak terjangkau oleh kendaraan yang tumpangi sehingga terpaksa harus menitipkan kendaraan kami di sebuah rumah makan di tepi jalan raya lalu berjalan kaki menembus kabut malam.

Suara percikan air. Gesekan sepatu yang sesekali terpeleset karena licinnya tanah. Dan tak ada cahaya sama sekali. Yang nampak di depan kami hanya kabut putih dan sesekali nampak merahnya langit karena tertutup mendung tebal. Selain itu, tak nampak apa-apa. Aku berdoa semoga hujan tidak menderas, bahkan semoga berhenti sama sekali. Masih berapa panjangkah perjalanan ini harus kami tempuh? Dengan tertatih-tatih, kami terus melangkah, maju ke depan, menuju ke tujuan. Berempat kami tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Diam. Tak seorang pun bersuara. Canda dan tawa yang tadinya memenuhi perjalanan kami di atas kendaraan yang kami tumpangi seakan sirna, tenggelam dalam masa lalu yang terasa jauh. Jauh sekali.

Sehari sebelumnya, saat kami putuskan untuk berangkat menemani teman kami yang ingin menjenguk ayahnya, yang katanya sedang sakit keras, tak pernah kami bayangkan akan menemui situasi ini. Tetapi hidup memang demikian. Kita tak pernah tahu apa yang akan kita alami nanti. Keputusan dibuat, lalu kita harus jalani secara tuntas. Tak perlu ada keluhan. Dan juga tak berguna. Sebab, saat kita berada dalam situasi yang sulit sekarang, kita tahu bahwa waktu tak mungkin dibalik ke belakang. Yang ada harus kita terima sebagai resiko dari keputusan kita. Dan dengan rasa tanggung jawab atas keputusan itu, kami tahu bahwa kami harus berjalan terus ke tujuan yang kami inginkan. Kami tak mungkin kembali dan tak akan berbalik.

Demikianlah, di malam yang kelabu itu, berempat kami menembus kabut, melaksanakan apa yang telah kami rencanakan. Hampir sejam kami berjalan pelan bagai siput, tertatih-tatih dalam jarak pandang yang hanya sejengkal, saat mendadak di depan kami muncul beberapa kilasan cahaya di kejauhan. Cahaya yang berpendar-pendar dari beberapa rumah panggung yang berdiri berjauhan. Sayup-sayup terdengar suara deburan ombak menerpa pantai. Kampung ini ternyata terletak di tepi pantai Teluk Bone. Lalu muncul beberapa sosok tubuh menjemput kami. Salah seorang yang aku kenal, adalah kakak perempuan teman kami. Ternyata, kami telah tiba di tujuan.

Kami lalu diantar ke rumah mereka. Dengan segera kami melepaskan mantel yang kami kenakan. Mantel yang telah menjadi amat basah. Tetesan air menetes ke atas beranda rumah panggung itu. Kami lalu diantar menaiki deretan anak tangga kayu lalu masuk ke sebuah ruang tamu kecil. Udara tidak cukup hangat untuk mengusir dingin yang menerpa kami namun cukup menyenangkan karena kami merasa terbebas dari terpaan gerimis. Dengan hidangan secangkir kopi hitam yang hangat dan sekaleng biskuit, kami tahu bahwa pada akhirnya kami telah tiba di tujuan. Sungguh menyenangkan dapat duduk santai di tengah ruang yang kering setelah sebuah perjalanan yang basah. Aku melonjorkan kakiku, tersenyum pada teman-teman dan mereka yang menyambut kami lalu mulai ngobrol mengenang saat-saat perjalanan tadi. Apalagi saat kami diberitahu bahwa kondisi ayah teman kami ternyata saat ini sudah membaik. Syukurlah, pikirku.

Setelah beristirahat sejenak, kami lalu memasuki ruang tidur, tempat ayah teman kami terbaring. Nampak orang tua itu sedang tidur lelap. Disini, jauh dari keramaian kota, jauh dari pengobatan kedokteran yang modern, sakit menjadi suatu proses alamiah dari tubuh. Tak ada selang infus. Tak ada peralatan canggih untuk mendeteksi kehidupan. Jauh terpencil dari hiruk pikuk apa yang dinamakan dunia modern dimana aku berasal, tiba-tiba aku merasakan suatu keakraban dengan sakit dan maut. Tak ada yang perlu ditakutkan. Tak ada yang harus dikhawatirkan. Semuanya adalah proses normal dari alam. Dan semuanya harus kita jalani, ya pada akhirnya semuanya harus kita alami. Sama seperti sebuah perjalanan panjang menembus kabut dan menjadi satu siksaan bagi kami sebelum tiba di tempat ini, hidup harus dan akan berjalan sesuai alurnya ke tujuan kita yang satu. Dan jika itu memang akan terjadi, haruskah kita menjalani hidup ini dengan kekhawatiran dan ketakutan terus menerus? Bukankah segala rasa takut dan khawatir kita akan sia-sia saja?

Perjalanan kami saat itu telah usai. Namun besoknya, kami semua akan kembali menempuh perjalanan pulang. Kembali ke kota asal kami. Dan kukira, inilah siklus kehidupan itu. Berjalan menembus kabut. Berjalan menerima kehidupan. Berjalan dalam duka dan suka. Berjalan terus selama tujuan belum tercapai. Berjalan dan tetap berjalan. Karena akan ada saatnya, kelak, kita semua akan tiba di tujuan kita. Disuguhi secangkir kopi hangat dan sekaleng biskuit. Kita berjalan bersama cinta dan harapan demi untuk membagikan kehangatan bagi orang yang membutuhkannya. Dan kehangatan bagi semangat dan rasa sayang kita sendiri. Hiduplah dengan tetap menjalani kehidupanmu. Apapun itu. Kabut. Gelap. Basah. Dingin. Lumpur. Letih. Apakah artinya semua itu saat kita telah tiba di tujuan hidup kita, teman?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...