30 Oktober 2008

UNTUK DUNIA?

Situasinya kacau balau. Ibu muda itu dengan histeris berteriak kepada beberapa jururawat yang sedang berkumpul di lorong sebuah rumah sakit swasta. Anaknya, seorang putra yang berusia sekitar 8 tahun dan sedang berada di atas ranjang dorong, nampak tersengal-sengal dengan muntahan membasahi baju piyama indah yang dikenakannya. Seorang gadis berpakaian pengasuh anak – masih amat belia – mengikutinya dari belakang dengan bengong dan wajahnya pucat ketakutan. Anaknya sedang dibawa masuk ke unit gawat darurat rumah sakit itu. Udara siang hari itu demikian panas dan menyengat. Segera dua orang dokter muda, mungkin co-ass, memasang selang infus dan menyuntikkan obat ke tangan anak laki-laki itu yang tak mampu lagi untuk bersuara. Aku melihat situasi itu dengan perasaan prihatin. Sakit apakah anak itu?

Beberapa hari kemudian, aku kembali bertemu dengan ibu muda tadi, yang kali ini ditemani suaminya, saat menunggu di depan apotik rumah sakit swasta itu. Aku menghampirinya dan menanyakan kondisi putranya. "Syukur", katanya, "anakku sudah mulai pulih". Lalu dia menceritakan sebab anaknya harus diopname. Ternyata putranya itu keracunan makanan. Keluarga itu tinggal di sebuah perumahan elit. Hari-hari mereka diisi dengan kesibukan menjaga toko dan anak mereka hanya dijaga oleh pengasuh anak, mungkin yang kulihat beberapa hari lalu. Mereka selalu menyediakan kue-kue dan snack di sebuah meja kecil di rumah mereka. Tetapi karena kesibukannya, berangkat ke toko setiap pagi jam enam dan baru balik ke rumah menjelang jam sepuluh malam, mereka tak pernah memperhatikan masa kadaluarsa makanan yang ada di atas meja kecil itu. Ternyata, ada kue kering yang sudah kadaluarsa hampir setahun lalu. Kue itulah yang kemudian dimakan oleh putranya, yang membuat dia mendadak muntah-muntah dan keracunan. Dengan takjub aku mendengar kisah mereka. Dan dengan takjub pula aku merenungkan kehidupan sekian banyak di antara kita yang sedang berjuang untuk hidup dan mengejar kekayaan.

"Aku berusaha agar bisa hidup layak" kata ibu muda tadi. Tetapi, sampai batas manakah hidup yang layak itu? Pantaskah kita mengejar kekayaan dan kemakmuran dengan mengurbankan kehidupan keluarga kita? Apakah kekayaan kita pergunakan untuk hidup, ataukah kita hidup demi mengejar kekayaan? Betapa banyaknya dari antara kita, yang saat ini hidup dengan rumah yang amat mewah, dengan kendaraan lebih dari cukup untuk dipergunakan, dengan kekayaan yang takkan habis dipakai untuk hidup secara layak sebagai manusia, tetap berusaha mengejar lebih dan jauh lebih banyak lagi. "Toko kami ramai, amat ramai sehingga kami bahkan sering tak sempat makan siang lagi. Hari libur pun sering kami terpaksa harus buka karena para pelanggan terus memesan barang dari kami...." tutur ibu tadi. Dengan heran aku menatap mereka. Terpaksa? Siapakah yang memaksa mereka? Para pelanggan itu ataukah uang yang dibawa oleh pelanggan itu? Dan jika untuk menjadi kaya, kita harus merasa terpaksa, lalu apakah arti kebebasan yang dimiliki oleh kekayaan itu? Karena kata orang, hanya orang-orang yang mampu yang bebas melakukan apa saja. Tetapi nyatanya?

"Dunia ini cukup untuk memenuhi semua kebutuhan manusia, tetapi takkan pernah cukup untuk semua kerakusan manusia", demikian kalimat Gandhi yang terkenal itu. Dan memang demikianlah adanya. Seringkali kita tak mampu lagi untuk tahu dan sadar batas antara yang layak dan lebih. Batas antara kebutuhan dan ambisi kita. Maka kita melupakan semua hal yang menyangkut seputar kita. Kita hidup untuk diri kita sendiri. Kita hidup demi ambisi kita saja. Kita tak puas. Kita tak pernah merasa puas. Kita selalu menginginkan yang lebih dan lebih lagi. Sering tanpa batas. Dan saat kita sadar bahwa, dengan berbuat demikian, ada banyak kehidupan di luar diri kita yang telah kita kurbankan, seringkali sudah terlambat untuk mengubah cara hidup kita. Seringkali sudah terlambat.....

Ibu muda tadi, sambil memegang tangan suaminya, berkata padaku dengan lembut: " Kami sadar kini, bahwa apa yang saat ini kami miliki, sudah jauh lebih dari cukup untuk hidup layak. Kami tak mau lagi anak kami terpaksa harus mengurbankan hidupnya demi apa yang kami anggap hidup yang layak. Karena yang layak itu, harus punya batas. Jika tidak, itu bukan hidup yang layak lagi..." Dan tiba-tiba aku teringat pada keluarga-keluarga yang tinggal di perkampungan kumuh. Yang tetap tersenyum, walau hidup yang mereka jalani sehari-hari, dalam pandangan keluarga muda itu, tidak layak sama sekali. Tetapi toh, mereka menikmatinya. Mereka tetap menikmatinya, mungkin dengan banyak keluhan. Karena kesadaran bagi seorang manusia tentang layak atau tidaknya hidup mereka, hanya berarti bahwa kita hidup untuk dunia ini saja. Padahal, ada yang jauh lebih layak lagi untuk dijalani, saling berbagi, saling memperhatikan dan saling mengucap syukur atas keberadaan kehidupan ini.

Suami-istri muda itu kemudian nampak membimbing putranya yang masih tertatih-tatih, melangkah di selasar rumah sakit swasta itu. Aku menatap mereka dari kejauhan, sambil berharap, agar semoga dengan peristiwa itu, mereka sadar bahwa sungguh ada yang jauh lebih layak untuk dijalani daripada sekedar hanya mengejar apa yang mereka anggap hidup yang layak. Perhatian. Cinta kasih. Rasa syukur atas apa yang telah dimiliki. Bertiga, mereka nampak ceria. Bertiga mereka saling bertutur, mungkin tak ada artinya sama sekali, tetapi toh mereka tahu bahwa saat itu mereka memiliki kekayaan yang jauh, jauh lebih berharga daripada apapun di dunia ini. Mereka memilki kehidupan itu sendiri.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...