13 Agustus 2009

BEN

Matanya memandangku. Tetapi tak menatapku. Pandangannya kosong. Wajahnya hampa. Ah, siapakah dia sekarang? Dimanakah dia yang dulu? Mengapa pikiran bisa sedemikian penuh misteri? Perubahan apakah yang terjadi dalam jutaan sel-sel otaknya, sehingga dia yang pernah kukenal dulu, nampak berbeda sekarang? Kemanakah perginya dia? Tak adakah secuil kenangan yang masih tersisa dalam hatinya? Pengalaman apakah yang telah dilaluinya sehingga segala apa yang pernah dihadapinya di masa yang lampau musnah tanpa sisa? Adakah dia masih sosok yang mampu berpikir dan merasakan, ataukah saat ini hanya sisa tubuh yang hidup tetapi bukan siapa-siapa lagi?

Aku memandang ke wajahnya yang saat itu nampak tenang tetapi tanpa perasaan. Dia tak mengenaliku. Tidak mengenali kami semua. Bahkan saudaranya pun menjadi bukan siap-siapa baginya. Dari tuturan yang kudengar, sering dia tiba-tiba mengamuk, bangkit dari kungkungan kediamannya dan melontarkan dirinya ke segala arah tanpa terkontrol. Hanya tenaga tiga bahkan empat orang yang saat itu mampu menguasai kekuatan tak terduga yang tiba-tiba meloncat dari tubuhnya yang nampak ringkih dan kecil itu. Di saat-saat lain, saat-saat yang tenang, dia hanya duduk termenung dan tak peduli dengan lalu lalang orang yang ada di sekelilingnya. Dia seakan tak hadir sama sekali.

Mengapakah manusia bisa berubah menjadi demikian drastis? Dia, yang dulu kutahu cukup pandai dan tampan, sehingga menjadi favorit gadis-gadis sahabat kami kini nampak bagaikan sesosok robot tanpa pemikiran dan perasaan. Ada banyak hal dalam hidup ini yang menjadi misteri. Ada banyak penjelasan yang mungkin bisa kita dapatkan, mulai dari buku-buku kedokteran mengenai pengetahuan sel-sel otak hingga buku-buku psikologi tentang perubahan kepribadian, namun selalu menyimpan banyak pertanyaan bagi kita pribadi. Terutama saat menyaksikan langsung perubahan yang terjadi terhadap orang-orang yang pernah kita kenali dengan akrab. Inikah dia? Mengapakah dia bisa berubah sedemikian drastisnya? Mengapa? Apakah ini sungguh bagian dari kehidupan kita? Apakah kita ini memang hanya bagian-bagian sel yang tumbuh dan hidup dengan pemikiran yang tergantung pada sel-sel mikro pada otak kita? Bahkan saat aku menulis catatan ini, aku masih berpikir, akukah yang menulis ini, atau hanya akibat koordinasi dari sel-sel dalam otakku sendiri yang mungkin suatu saat dapat berubah dan mengubah diriku? Bagaimana menjawabnya?

Matahari di luar nampak amat terik. Dunia seakan bergerak sendiri. Dan pemikiranku juga bergerak sendiri. Tak ada saling persentuhan. Tak ada saling ketergantungan. Dia, tiba-tiba dengan tangkas memutar kedua lengannya dan menggerakkannya di udara seakan sedang melukis sesuatu yang tak jelas ujudnya. Lalu mendadak dia tertawa keras. Tanpa peduli pada kami. Tanpa peduli pada orang-orang yang ada di sekelilingnya. Seseorang teman, yang ikut dalam rombongan kami berkata, 'lihat, dia mulai kesurukan...' Kesurukan? Dimanakah ruang buat ilmu pengetahuan? Bisakah dibuat suatu jalinan antara dunia keilmuan dengan dunia tanpa ujud ini? Dan, jika demikian, bagaimanakah kita memandang dan memikirkan kehidupan kita ini?

Demikianlah, saat kami meninggalkan rumah sakit jiwa itu, aku diganggu oleh pertanyaan mengenai makna pemikiranku sendiri. Segala hal menjadi ganjil adanya. Sadarkah aku akan keberadaanku saat ini? Sadarkah aku saat mulai memikirkan dan merenungkan sesuatu? Adakah aku hidup di dunia yang nyata atau sebenarnya mengawang di dunia maya, sama seperti yang lainnya, dan untuk pada akhirnya nanti semua tergantung pada apa-apa yang terjadi dalam sel-sel tubuhku sendiri? Ataukah ada sesuatu yang kasat mata yang mampu mengubah kekuatan pemikiranku, masuk dan menguasainya, sehingga aku menjadi tak ada sama sekali? Dan aku hanya bisa pasrah dan tertunduk takluk padanya? Pengalaman hidup yang saat ini kujalani, pemikiran dan perenungan yang saat ini kulakukan, perbuatan-perbuatan yang saat ini kuperbuat, apakah semua itu ada maknanya? Ataukah sekedar kontribusi dari jutaan sel-sel yang kebetulan kumiliki saja? Jika demikian siapakah aku sebenarnya?

"Cogito, ergo sum" (Aku berpikir, maka aku ada) adalah kalimat menakjubkan yang ditulis oleh filsuf Rene Descrates (1596 – 1650). Bagaimana jika kita tidak lagi mampu berpikir apa-apa, sama seperti sahabatku itu, tetapi masih bernafas dan hidup? Apakah itu artinya kita sesungguhnya tidak ada lagi di sini, saat ini? Apakah itu tandanya bahwa kita tidak lagi hidup? Tetapi bukankah dia masih tetap ada, hadir dan hidup bersama kita? Ada banyak misteri dalam hidup dan pemikiran kita, memang. Ada banyak hal-hal yang kita pertanyakan tanpa satu jawaban yang pasti. Dengan perlahan, aku berjalan di lorong-lorong sempit rumah sakit jiwa ini, sambil sesekali melempar pandang ke arah ruang-ruang yang gelap, muram dan sepi untuk kemudian keluar dari gerbangnya dan dengan perasaan tergetar menyambut cahaya yang menyilaukan dari matahari yang bersinar amat teriknya. Udara panas tiba-tiba menyergap tubuhku. Udara panas dan jalanan yang lengang. Aku memandang semuanya, menghirup nafas dalam-dalam sambil mencoba untuk merasakan aroma dunia ini. Aku, ternyata, ada. Dan apapun yang terjadi, aku tetap ada. Siang terasa panjang. Amat panjang.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...