02 Agustus 2009

DRAMA KEHIDUPAN

Senin. Hari menjelang malam. Jalanan cukup ramai. Aku sedang melintas di jalan pengayoman. Di tepi jalan, berhadapan dengan Mal Panakukang, aku melihat sepasang remaja sedang bertengkar. Tiba-tiba sang pria menempeleng sang wanita yang kemudian jatuh terjerembab. Wanita itu masih dalam posisi terduduk, sang pria menendang wajah wanita itu sambil mengucapkan kata-kata yang tak kudengar jelas. Wanita itu menangis. Aku memelankan kendaraanku. Demikian pula beberapa kendaraan lain yang saat itu melintas. Kami semua terpana. Beberapa orang yang sedang berjalan melintas kulihat berhenti sejenak menonton lalu buru-buru menyingkir. Wanita itu terus menangis, sementara sang pria kemudian berlenggang pergi meninggalkannya. Suara klakson yang memekakkan telinga menyadarkan keterpanaanku, membuatku melajukan kendaraanku dan melewati wanita yang terduduk sendirian itu. Sambil terus menangis. Kami melihatnya tetapi tak seorang pun berani menghampiri wanita itu. Kami lewat begitu saja, menjauh dan menghilang di antara lautan kendaraan yang merambat pelan. Dan malam hampir tiba.

Kekerasan. Apa yang terjadi dengan kita di waktu-waktu ini? Apakah kita telah kehilangan kepekaan perasaan kita? Setiap hari, setiap saat, kita menonton lewat televisi, kita membaca di lemaran koran dan majalah, kita mendengarkan lewat radio, kita bahkan mungkin mengalaminya sendiri, kekerasan telah menjadi hidangan sehari-hari yang terasa membosankan. Terkadang kita muak. Terkadang kita menikmatinya dan menjadi topik pembicaraan yang hangat. Namun, jelas bahwa, seperti hidangan yang teramat sering kita nikmati, jarang bahkan tak ada lagi yang merasa heran ataupun tersentuh dengan peristiwa kekerasan yang terjadi setiap saat. Hidup mengalir bersamanya, menjadi bagian yang tak terpisahkan dan bahkan semacam tradisi yang bisa kita maklumi. Mengapa ini harus terjadi? Mengapa kita bahkan kadang menjadi bagian dari padanya? Mengapa kita semakin mudah marah dan melampiaskan kemarahan, kekecewaan dan kekalutan kita sendiri kepada orang lain? Kepada orang-orang yang justru mungkin sama sekali tak bersalah? Mengapa? Sakitkah kita? Ataukah memang kita semakin kehilangan perasaan halus kita? Dimanakah kasih sayang, cinta terhadap sesama, saling perhatian dan berbagi yang telah diajarkan kepada kita semua? Mau kemanakah kita semua ini?

"Kehalusan budi kita telah mati dibunuh oleh kenikmatan tontonan" demikian ungkap seorang temanku, suatu saat yang lalu. "Jadi buku-buku puisi tidak pernah laku" lanjutnya lagi. "Bahkan prosa pun semakin banyak yang hanya menjadi pajangan semata. Lihatlah di toko-toko buku, yang laku hanya buku-buku yang mau mengajarkan kita tindakan-tindakan cepat, jalan pintas yang mudah, bagaimana – how to – mencapai apa yang kita hasratkan dalam beberapa langkah..." Kita semakin senang menyaksikan tontonan di televisi dalam bentuk sinetron yang menjual mimpi, film ala cinderella yang bersepatu kaca. Atau tentang perselingkuhan yang dibayangi dengan kehidupan mewah dan nikmat sehingga kita tanpa sadar mengamini sebagai sesuatu yang logis dan tak perlu ditolak. Berjalan-jalan di Mal, dan akan kita temukan lautan manusia yang sedang melihat-lihat aneka macam benda dan asesoris yang menarik dan indah, menjajakan dirinya bukan dalam kegunaan tetapi dalam daya pukau dan kesenangan untuk dinikmati. Siapakah kita ini semua? Hanya penikmat benda materikah? Maka uang, harta dan kemewahan semakin mengejar kita dan membuat hidup kita terus menerus dalam tekanan untuk mau dan mau dan mau memilikinya. Maka tak heran, kita lalu menjadi keras, sensitip dan mudah meledak saat harapan-harapan, ambisi-ambisi dan nafsu serta hasrat kita tak bisa kita penuhi. Sayang....

Senin. Hari mulai malam. Berada di kepadatan lalu lintas, aku menyaksikan manusia-manusia yang tak lagi saling menyapa. Bunyi klakson bertalu-talu seakan ingin mengusir semua pengendara lain dan menjadikan jalanan ini miliknya sendiri. Saling serobot, bahkan saat lampu pengatur lalu lintas sudah menyala merah pun sering kendaraan yang tak sabaran terus melaju maju, sehingga terjadi antrian panjang di sisi jalan lain yang bertanda hijau. Hidup kian tak mudah ditata. Dan saat-saat dimana orang-orang merasa dirugikan, terjadilah saling umpat yang tak jarang dilanjutkan dengan pertengkaran keras. Dan di sisi lain dari kehidupan, saat kita berada di dalam cafe yang dingin dan bersejuk diri, kita saling bercanda dengan teman-teman maya kita di dunia yang jauh dan tak pernah kita temukan dalam kehidupan nyata kita. Maka teman-teman kita adalah teman-teman yang maya, sedang di kehidupan nyata kita, yang ada hanya lawan, saingan dan orang-orang yang tak saling kenal dan tak saling menyapa lagi. Ah, siapakah kita? Inikah dunia modern kita? Aku melajukan kendaraanku, menuju pulang, buru-buru meninggalkan wanita yang tadi mengalami kekerasan itu, meninggalkan kesemerawutan lalu lintas, meninggalkan jejak-jejak kesombongan manusia. Pulang, untuk bersembunyi di rumahku yang tenang dan mulai menulis untuk kalian, teman-temanku di dunia maya. Teman-teman yang bahkan mungkin takkan pernah bersua secara muka dengan muka. Siapakah kita, teman?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...