“Pikullah
kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan
rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” (Mat 11:29)
“Aku letih”
bisikmu lirih. “Aku letih. Betapa semua hal tergantung padaku.
Sementara aku tak tahu harus bergantung pada siapa. Semua
mengandalkan diriku sementara aku tak tahu harus mengandalkan siapa.
Aku harus menanggung beban tanpa bisa berbagi. Aku dipaksa tegar.
Sendirian. Sementara aku sendiri merasa tak berdaya. Begitu tak
berdaya. Aku tak tahu harus berbuat apa, sementara aku harus berbuat
sesuatu. Sering hal yang bertentangan dengan kehendakku sendiri.
Mengapakah orang-orang demikian lemahnya sehingga tak menyadari
kelemahan diriku sendiri? Mengapa hidup ini demikian tidak adil?
Mengapa aku harus ada? Dimanakah Tuhan pada saat aku demikian
membutuhkan sandaran? Dimanakah orang-orang lain yang dapat
kuandalkan? Mengapa aku sering merasa sendiri? Seorang diri?”
Kau terpekur. Dengan
perasaan yang pedih dan putus asa. Hidup bagimu adalah sebuah beban
yang harus kau panggul bahkan di saat-saat kau merasa amat lemah
sekali pun. Dan aku melihat betapa seringnya hidup memang tidak adil.
Manusia harus menerimanya, suka atau tidak, dengan ketabahan. Manusia
harus menjalaninya, suka atau tidak, dengan kerelaan. Sebab bukan
kewajiban yang harus disesali, tetapi tanggung jawab yang harus
dipenuhi. Setiap hidup berjalan dari keputusan yang telah dibuat. Dan
dari setiap keputusan itulah, keberadaan kita menjadi utuh. Kita
lemah tetapi sekaligus kuat. Kita mungkin hidup dengan hati pedih
namun tetap harus bersama pikiran yang jernih. Sebab itulah anugerah
terbesar yang diberikan pada kita. Anugerah terbesar yang wajib kita
gunakan. Kita tidak saja layak untuk menerima semuanya, kita pun
harus mau memberikan segalanya. Bagi kehidupan ini. Bagi dunia ini.
Fajar tiba. Setiap
hari baru terbit bersama dengan kelahiran dan kematian. Pertemuan dan
perpisahan. Berangkat dari keberadaan kita di dunia ini, kita mulai
belajar dari mengikuti, menerima apa saja yang kita saksikan dan kita
alami, yang pada mulanya tidak perlu kita pikirkan. Kita hanya
meniru. Tetapi dalam perjalanan waktu, kita harus berkembang.
Perlahan kita mulai dapat memberi. Kita harus berbagi. Dan jika
kemudian kita ternyata harus memberikan semuanya, bukankah pada
awalnya kita juga telah menerima semuanya? Jadi mengapa harus
disesali? Toh, ada saatnya semuanya akan berakhir? Hidup ini
sementara saja dan suatu waktu kita akan pergi. Jadi saat malam
datang, tibalah saatnya kita memejamkan mata ini. Mengistirahatkan
jiwa dan raga kita. Memasuki keabadian. Setelah sepanjang hari
melakukan sesuatu dimana semakin banyak pemberian kita sepanjang hari
akan meninggalkan jejak yang kian bermakna pula dalam kenangan sang
waktu.
“Aku letih”
bisikmu lirih. Hidup memang tidak mudah. Terutama saat perasaan kita
sedemikian menggoda sehingga kita tidak mampu lagi untuk
mempergunakan pikiran kita. Terutama saat kita merasa pahit, kecewa,
iri dan sakit hati karena ternyata semua yang kita inginkan tak mampu
kita raih. Sementara kita menyaksikan betapa orang-orang di
sekeliling kita seakan dengan mudahnya mendapatkan apa yang kita
sendiri harapkan. Tetapi sungguhkah itu yang diharapkan oleh
orang-orang itu? Pastikah kita bahwa apa yang mereka inginkan adalah
sama dengan apa yang kita inginkan? Tidak! Seberapa banyakkah
diantara kita yang dapat meraih semua yang diharapkannya? Jika kita
semua mau jujur pada diri sendiri, kita akan sadar, betapa
mustahilnya kita untuk memperoleh semua yang kita harapkan. Tetapi
hidup berjalan terus. Dan kita harus menerimanya. Tenggelam dalam
kekecewaan hanya membuat hidup kita jadi sia-sia. Membuat kita gagal
untuk melihat keindahan dunia ini. Sebab hidup ini untuk dinikmati
apa adanya, bukan untuk disesali.
Setiap manusia
memiliki bebannya sendiri-sendiri. Setiap manusia pasti akan
merasakan kekecewaannya masing-masing. Tak ada yang lepas dari
perasaannya sebagai sosok yang hidup dan unik. Dan memang, kita
masing-masing sering merasakan bahwa derita kitalah yang terdalam.
Kegagalan kitalah yang terpahit. Kesalahan kitalah yang terbesar.
Setiap manusia hidup dalam dan bersama alam pikirannnya sendiri.
Namun percayalah, kita tidak sendirian. Tidak seorang diri. Setiap
saat, pandanglah wajah-wajah di sekeliling kita. Jangan hanya
bersembunyi di sudut kamar kita yang kecil dan gelap. Lihat dan
dalamilah perasaan yang disembunyikan di balik raut wajah sesama
kita. Dapatkah kita memahami apa yang tersembunyi dibalik tawa ria,
senyum hangat atau bahkan kemurungan mereka? Dapatkah kita memastikan
bahwa seandainya kita yang memanggul beban mereka, kita dapat lebih
berbahagia? Dapatkah?
“Aku letih”
bisikmu lirih. Ya, hidup memang meletihkan jika kita hanya terpenjara
dalam ruang hidup kita sendiri dan tak mampu melihat keluar. Hidup
akan sangat melelahkan jika kita tak mampu menerima keterbatasan kita
masing-masing. Dan percayalah, Tuhan ada di samping kita, menemani
kita, tetapi sering kita gagal melihat-Nya karena kita enggan untuk
mensyukuri dan menikmati apa yang kita miliki sekarang. Tuhan ada
dalam segelas air yang kita minum. Tuhan ada dalam makanan yang kita
santap. Tuhan ada dalam ruang yang membuat kita terhindar dari
sengatan terik siang dan dingin malam. Tuhan bahkan ada dalam derita
yang kita alami sendirian. Sebab DIA sendiri telah menderita di atas
salib-NYA. Jika demikian, mengapa kita lari dari salib kita? Mengapa?
Tonny Sutedja