Setiap
kali melihat seorang bayi yang sedang tidur nyenyak, saya selalu terpesona. Ya,
melihat wajah mungil yang sedang lelap adalah pemandangan yang demikian
menggetarkan hati. Bahwa betapa indahnya kehidupan yang kita terima. Maka
setiap kali melihat, membaca atau mendengarkan seorang dewasa yang demikian keras,
yang demikian menakutkan, yang siap menyingkirkan siapa saja yang dirasanya
berbeda dengan dia, saya selalu membayangkan dirinya saat masih kecil, saat
masih seorang bayi. Mengapa kemolekan wajah mungil itu dapat menjadi sosok yang
begitu menakutkan di saat dewasa? Apakah karena memang pribadinya demikian?
Ataukah karena pengaruh lingkungan atau karena pengalaman hidupnya sendiri yang
penuh dengan kebencian pada sesuatu yang berbeda dari prinsip kehidupannya?
Setiap
kali saya melihat wajah seorang bayi. Setiap kali pula saya membayangkan masa
depan yang akan dilaluinya. Tak seorang pun dapat meramalkan bagaimana dia akan
berpikir, bersikap dan berbuat ketika dewasa nanti. Masa depan adalah sebuah
tanda tanya besar dan setiap pengalaman yang kita lewati perlahan tetapi pasti
akan mengubah sikap kita dalam memandang makna kehidupan itu sendiri. Saya
pikir, tak seorang pun ditakdirkan untuk menjadi teroris, menjadi monster yang
siap melakukan apa saja demi kebenaran yang diyakininya. Tidak. Hidup adalah
rangkaian peristiwa yang perlahan tetapi pasti akan mengubah prilaku kita, dan
dari titik itu, semua tergantung pada bagaimana pikiran kita menyerap semua
pengalaman yang kita alami dalam kesadaran kita sendiri. Dalam hal pengalaman
itu, semua tergantung pada perasaan dan pemikiran kita dalam memaknai setiap
kejadian yang terjadi, dan tak seorang pun lepas dari bagaimana dia memandang
dan memaknai pengalamannya sendiri.
Jelas,
kita ini bukan hanya wajah tak mengenal satu sama lain. Kita bukan wajah yang
asing dalam kebersamaan di dunia ini. Kita masing-masing mempunyai kesadaran
dan pemikiran sendiri dan bagaimana kelak arah kehidupan kita, semua ditentukan
oleh bagaimana kita memandang setiap kejadian yang kita alami setiap hari.
Setiap saat. Tetapi ada baiknya jika kita sedang merasa marah, merasa dendam
dan sakit hati, sesekali kita melihat wajah mungil dan polos dari seorang bayi
yang sedang tertidur lelap. Dan membayangkan diri kita sendiri saat masih bayi.
Membayangkan diri kita yang tak berdaya dan demikian menggemaskan hati. Seorang
bayi yang bisa menangis sekaligus tertawa tanpa dibebani oleh perasaan
tertentu. Yang demikian mengganggu kita di saat dewasa sekarang ini.
Mengapakah
kita berubah sekarang? Kemanakah kepolosan kita dulu? Tidak dapatkah kita hidup
tanpa dibebani keinginan untuk selalu menang? Hasrat untuk selalu unggul? Dan harus
tak terkalahkan? Siapakah kita ini selain dari sosok yang sesungguhnya tak berdaya,
hanya senoktah debu di keluasan alam raya, tetapi selalu menginginkan menjadi
pusat semesta? Bukankah pada akhirnya, ketika saatnya tiba, kita toh akan
berlalu dan takkan meninggalkan jejak apa pun di masa depan yang tak
teramalkan? Bahkan demi apapun sikap dan perbuatan kita, sekalipun kita
berharap untuk kehidupan surgawi yang demikian bermakna menurut kita, kita
semua berawal dari sosok mungil seorang bayi yang polos dan tak berdaya tetapi
mampu memberikan keterpesonaan kepada siapa pun yang memandang kita. Kepada siapapun. Dulu.
Maka
setiap kali saya melihat wajah polos seorang bayi, yang menangis dan tertawa
tanpa dibebani oleh keinginan untuk menguasai, tanpa ambisi untuk selalu
menang, bermain dan hanya bermain saja sebelum pada akhirnya terlelap dalam
mimpinya yang tak terduga, saya selalu merasa betapa kita sebagai manusia
dewasa telah berubah banyak karena melupakan betapa manisnya kita dulu ketika
masih menjadi seorang bayi yang mungil. Dan seorang anak yang bermain hanya
demi permainan itu tanpa mengharapkan kemenangan sebagai sesuatu yang harus
sehingga saat kalah kita menjadi sakit hati, dendam dan bahkan sampai membenci
lawan yang telah mengalahkan kita. Kemanakah perginya sang bayi dalam diri
kita?
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar