23 Februari 2008

TAKLUKKAN DENGAN CINTA

Katakan padaku, bagaimana rasanya sunyi itu. Katakan padaku, bagaimana rasanya sepi itu. Malam, dengan dingin dan kabut. Malam dengan desiran angin dan bunyi rintik hujan. Ada lagu di dalam hati. Ada lagu tak berjudul. Dan siapakah diriku ini? Siapakah aku? Apakah artinya aku di tengah deru kehidupan yang meluncur dalam waktu? Mengapa aku harus menangis? Mengapa aku harus menjerit dengan jiwa yang terluka? Merasa disia-siakan, dihina, disepelekan dan tak punya arti lagi? Mengapa hidup mesti sesunyi ini? Dimanakah harus kucari cara untuk menghadapi hidupku? Dimanakah harus kucari setetes embun yang dapat memuasi dahaga kehidupanku? Segala hal telah kucoba. Segala kemungkinan telah kulalui. Tetapi mengapa dingin masih menggigit kalbu? Mengapa luka masih menganga di dalam jiwa? Tuhan. Tuhan, sungguhkah Engkau ada? Dimanakah Engkau saat ini? Dimana?

Rasa pesimis dan putus asa seringkali menyelimuti kehidupan kita. Rasa tak mampu dan tak sanggup untuk menghadapi hari esok seringkali melumpuhkan jiwa kita. Tertunduk pasrah menghadapi waktu tanpa daya untuk bangkit dan mendobrak segala kebekuan yang kita alami saat sekarang. Rasa takut, tak berdaya, mematikan segala inisiatip kita untuk menghadapi apa yang ada. Kita hidup namun telah mati. Kita ada namun sungguh tak jelas keberadaan kita. Kita merasa tak memiliki daya apapun untuk berbuat. Malam telah larut dan kita terbenam di dalamnya. Bersama angin dan gerimis. Dimanakah kita saat ini? Dimana?

Hidup selalu membawa banyak pertanyaan. Persoalan-persoalan yang tak bisa terjawab hanya dengan kata. Karena hidup bukan sekedar kata. Bukan sekedar kalimat-kalimat indah dengan nasehat-nasehat panjang dan Firman indah yang merasa bisa meringankan beban kita. Tidak, temanku. Hidup bukan hanya kata tetapi perbuatan. Perjuangan untuk mengatasi diri sendiri. Pertarungan melawan hati dan diri kita sendiri. Kita, yang terkurung dalam pemikiran, takkan melihat setitik cahaya di depan kita. Karena kita hanya berpaling ke relung jiwa kita yang kelam. Jiwa kita yang kelam takkan mampu untuk melangkah selama kita tak menginginkannya. Sesungguhnya kita sendiri adalah daya. Daya yang mampu untuk melakukan apa saja jika kita mau. Mampu untuk bangkit atau runtuh. Mampu untuk berbuat atau tidak berbuat. Maka apalah artinya segala kondisi lingkungan jika kita sadar bahwa, yang menentukan bukanlah lingkungan, tetapi diri kita sendiri? Ya, kita berjuang bukan untuk apapun selain untuk diri kita. Hanya untuk kita sendiri.

Malam dengan kelam sering menutup segala penglihatan kita. Dan kita pun takut melangkah maju. Kita khawatir terantuk. Kita takut terjerumus ke jurang kelam. Kita tak tahu apa-apa di depan. Tetapi apakah memang ada apa-apa di depan? Bagaimana kita tahu jika kita tidak mencobanya? Bagaimana kita memastikan sesuatu jika kita tidak melihatnya sendiri? Jika kita tidak merasakannya sendiri? Jangan takut, temanku. Jangan takut. Hidup bukan mimpi namun suatu kenyataan. Kenyataan yang harus kita hadapi dan bukan untuk dihindari. Kita bukan penonton tetapi pelakon. Sebab Tuhan membuat dunia ini bukan untuk dinikmati sesuai dengan kesenangan kita namun untuk ditaklukan dan dikuasai dengan akal nurani. Kita ada untuk hidup dan bukan untuk mati. Maka mengapa kita lalu merasa takluk padanya? Mengapa?

Apakah artinya kehidupan? Apakah artinya kematian? Seberapa sering kita merasa sebal menghadapi kehidupan ini? Tapi, bukankah tak jarang pula kita takuti kematian? Lantas, untuk apa kita ada di dunia ini? Untuk apa kita bisa berpikir, merasa sakit, senang, sedih, gembira, suka dan duka? Jika semua itu tanpa makna samasekali, dan jika saat kehidupan ini berakhir maka segala sesuatu akan berubah menjadi gelap, nihil dan kita lalu menghilang dalam ketak-adaan, perlukah kita menjadi ada di dunia ini? Sekarang ini? Pikirkanlah!

Dan bayangkanlah ini. Langit kelam dalam mendung. Surya terik dalam terang. Apakah artinya itu? Bunga-bunga indah yang bermekaran lalu layu gugur, pendaran cahaya senja menuju gelap malam, kekelaman malam menuju fajar terang bersinar, lompatan kecil seekor anjing yang menghindari genangan air. Hidup, bukan main. Ada yang datang, ada yang pergi. Ada yang lahir, ada yang mati. Perlukah kita sesali keberadaan kita di dalam lorong waktu dan sejarah yang nampak tak berujung ini? Dan dalam meniti jalan setapak kehidupan, keindahan taman hati dan kejorokan ambisi dan nafsu, bukankah semua itu lalu menjadi lumrah saja? Perlukah kita sesali kehidupan ini? Perlukah, temanku?

Maka jangan pernah merasa takluk. Jangan takut, hidup kita adalah bagaimana harus bertahan dan menguasai apa yang sedang terjadi. Kita toh bukan seorang pengecut? Kita toh tahu, bahwa sesungguhnya Yesus, jika kita akui Dia sebagai Penebus kita, dapat saja menghindari penderitaanNya jika Ia mau. Tetapi tidak! Apa yang harus terjadi, terjadilah. Kita hadapi hidup kita dengan sepenuh daya. Kita berjuang dengan sepenuh pengharapan. Kita bertahan untuk tidak tertaklukkan, tetapi agar mampu menaklukkan keadaan kita. Dengan cinta. Dengan cinta. Hanya dengan cinta.

Tonny Sutedja

13 Februari 2008

PIGURA

Kau dan aku memiliki sebuah pigura yang indah. Sisi-sisinya yang persegi dihiasi garis keemasan sederhana dengan lekuk mungil disisipi manik-manik indah: putih berkilauan. Kau tahu khan, waktu kau baru saja membeli pigura tersebut di sebuah toko, satu dari antara jejeran toko-toko di Kuta Bali dulu, kau lalu sisipkan foto kita. Wajahmu, wajahku, wajah kita berdua menyatu dalam bayangan suasana sejuk alam yang permai: pegunungan, lembah, pepohonan, sungai yang meliuk-liuk dan mega yang berarak di langit biru, tepat di atas kita. Lihatlah, katamu, dunia menjadi pengiring senyuman kita. Tentu, kau masih ingat juga saat kau letakkan pigura itu pada sebuah meja kecil dekat ranjang kita, aku bertanya padamu: "Untuk apa menyimpan kenangan, Siu?" Dan masih kuingat jawabanmu saat itu, "Mana kita tahu kapan kebahagiaan ini akan lewat. Tetapi kenangan akan selalu abadi." Pigura itu, kini, tiap kali aku terbangun dari tidurku selalu menyapaku liris. Saat hati terasa rawan, kutatapi wajahmu yang tersenyum hingga ketenangan mulai menyentuhku. Waktu terus berlalu dan kini saat-saat kita telah usai: engkau pergi tetapi pigura ini tetap menemaniku di sini.

Lantas, Siu, tahulah aku maknanya menyimpan kenangan. Menjelang dua tahun kepergianmu, hatiku senantiasa merindukan tutur sapamu, senyummu, gerak langkahmu dan pada kelembutan suaramu. Kini semuanya hanya dapat kutemukan pada pigura ini yang mulai menua. Mungkin hal ini tak lagi punya makna buatmu. Tetapi keletihanku menghadapi hidup, semisal aku masih ingin menyimpan rindu ini, adalah mustahil belaka untuk menemukan istirah yang teduh tanpa dirimu. Karena itu, barangsiapa telah membuang kenangan, dia adalah insan tanpa rasa. Sebab itu pula, saat usia yang kian senja ini, sering kukenangi bayang-bayang masa lalu kita. Dengan demikian aku sanggup berdiri tegar karena kutahu bahwa, hidup ini bukanlah satu kesia-siaan.

Paling tidak, masa lampau bersamamu menjadi saksi betapa harapanku mengenai hidup telah menjadi kenyataan bersamamu. Kebahagiaanku hanya karena aku telah berhasil mendampingimu selama engkau dalam penderitaan menghadapi penyakit yang menderamu.

Maka kini kusimpan pigura ini untuk diriku sendiri. Dan bila sepi merayapi hidupku, akan selalu kutatapi pigura ini sambil mengenang engkau. Dulu, saat waktu belum menyisakan kenangan, engkau mendampingiku. Kinipun, setelah kepergianmu, engkau masih menemaniku di dalam pigura yang mulai menua ini, setua cinta kita bersama. Adakah engkau tetap mendampingiku, Siu? Kadang-kadang kutatapi guguran daun willow, menguning di tanah yang gersang. Padahal, lihatlah, betapa indahnya alam yang pernah tersenyum pada kita dulu. Waktu telah lewat dan hanya menyisakan kenangan. Bahkan foto kita di dalam pigura ini pun nampak mulai menguning sebagai bukti bahwa hidup ini tidaklah kekal. Paling tidak, Siu, masa lalu telah kita kunci dalam pigura yang indah ini. Tetapi suatu hari kelak, dan itu pasti, aku tak kuasa lagi untuk menahan tangan-tangan lain yang akan mengambil pigura ini dan melemparkannya ke dalam tempat sampah. Tetapi saat itu pula kita telah menyatu kembali dalam keabadian. Dan kuharapkan itu……………….

Untuk mengenang mendiang istriku, Priska Oktavia Tan Tjong Siu

Tonny Sutedja

PENTAS

    Hidup adalah suatu pentas. Kita tampil dengan segala tingkah laku sebagai aktor dan aktris yang penuh warna. Makin merasa moderen dan berkebudayaan, makin tebal pula tabir kepura-puraan kita tonjolkan. Kita lalu terlena dalam opini masyarakat pada diri kita. Kita lalu berusaha untuk melaksanakan opini tersebut dalam hidup kita walaupun ternyata nurani kita menolaknya. Kita lalu hidup dalam dualisme yang saling bertentangan. Antara pemikiran kita sendiri dan pemikiran orang lain kepada kita. Makna kebahagiaan kita tergantung pada pilihan tersebut. Seringkali kita menjadi gagap dalam menghadapi kenyataan itu.

    Peristiwa-peristiwa besar. Drama-drama Shakespeare. Keduanya memiliki persamaan. Suatu tragedi kehidupan. Seringkali suatu kejadian tercipta di bawah ketidak-sadaran kita semua. Lalu berusaha dianalisa dengan segala macam teori yang, anehnya, kemudian menjadi tenar. Padahal sesungguhnya awal dari kejadian tersebut amat sederhana. Segala sesuatu mulai dari pemikiran kita. Dan dibantu dengan waktu serta kondisi yang tepat, kita mulai menciptakan suatu peristiwa yang kelak akan menjadi kenangan. Baik atau buruk. Tergantung pada persepsi kita masing-masing.

    Hidup adalah suatu pentas. Kita adalah suatu pemikiran. Dan riwayat adalah suatu jalan yang kita lalui dalam drama sang waktu. Segala kesedihan, keceriaan, tawa dan tangis akan segera lenyap setelah usainya perjalanan kita dalam dunia ini. Lantas, apa yang akan tersisa kelak? Kesedihan, keceriaan, tawa dan tangis kita, ke manakah? Jika kita telah terbujur kaku dan kehilangan segala rasa dan pikir, akankah segala sesuatu masih punya makna?

    Maka pada akhirnya, sang Penulis Lakon, Dia yang Maha Agung, akan menutup kisah ini sambil berkata: "Kisah telah Aku tulis. Maka kini tinggal memilih siapakah aktor dan aktris terbaik yang dapat menjalani drama ini...." Apakah kita terpilih ataukah kita yang justru memilih, jelas bahwa kedua pilihan tersebut memiliki konsekwensi yang sama. Sang Penulis Lakon bukanlah kita. Kita semua hanya menjalani hidup kita sesuai dengan pilihan masing-masing. Oleh sebab itu, kita pula yang akan mempertanggung-jawabkan pilihan tersebut kelak kepadaNya.

Kepada mereka yang sedang gundah

Tonny Sutedja

RENUNGAN TOBAT

Saya akan menuturkan satu kisah kecil dari buku karangan Paulo Coelho, The Alchemist. Kisahnya dimulai dari seorang saudagar yang mengirimkan putranya untuk menemui seorang bijak agar dapat mempelajari makna dari kebahagiaan. Maka sang putra pun berkelana, menyeberangi gurun selama empat puluh hari hingga dia tiba di muka gerbang suatu istana yang indah di puncak gunung. Di sanalah orang bijak itu bermukim. Tanpa menemui orang bijak itu dahulu, sang putra memasuki beranda istana dan menyaksikan aneka ragam kegiatan: para pedagang yang datang dan pergi, kumpulan orang yang sedang ngobrol di sudut-sudut ruangan, orkestra mini yang sedang memainkan musik lembut dan pada tengah ruangan terdapat sebuah meja panjang yang dipenuhi oleh makanan lezat dari antero penjuru dunia. Si orang bijak nampak berdiri mengobrol dengan setiap orang dan sang putra harus menanti selama dua jam sebelum akhirnya beraudensi.

Maka orang bijak itu mendengarkan dengan tekun alasan kedatangan sang putra tetapi kemudian menyatakan bahwa dia tak sempat untuk mengajarkan makna rahasia kebahagiaan. Tetapi dia menyarankan sang putra untuk mengelilingi istananya dan kembali kepadanya dalam waktu dua jam.

"Sambil menikmati istanaku, aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku." Katanya, dan disodorkannya sebuah sendok berisi dua tetes minyak zaitun. "Sambil kamu keliling, bawalah sendok ini tanpa menumpahkan isinya." Maka sang putra pun mulai naik turun tangga istana dengan mata tetap pada sendok itu karena khawatir isinya kan tumpah. Setelah dua jam selesai berkeliling, dia kembali menemui orang bijak itu.

"Nah," tanya orang bijak itu, "Apakah kamu menikmati keindahan yang ada dalam istanaku: taman-tamannya, permadani Persia yang menghias balairung dan kandel kristal yang bergantungan di ruang makanku?" Sang putra merasa malu dan mengaku tidak memperhatikan apapun karena ia hanya mengawasi minyak pada sendok yang dipegangnya agar tidak tumpah seperti yang dipercayakan orang bijak itu padanya.

"Kembalilah dan perhatikanlah istanaku yang menakjubkan ini" kata orang bijak itu lagi, "Kamu tidak dapat mempercayai orangnya bila rumahnya tidak kami kenali." Dengan demikian, sang putra kembali menjelajahi istana itu sambil memegang sendok tadi. Tetapi kali ini matanya menikmati keindahan karya seni yang terdapat di dalam istana itu: lukisan pada langit-langit, kepermaian taman-taman yang ditumbuhi aneka warna bunga-bungaan, lukisan yang mengagumkan pada tembok. Dia mengagumi segala hal yang ada di sana. Sekembalinya dia pada orang bijak tersebut dia lalu mengungkapkan secara rinci segala hal yang telah disaksikannya.

"Tetapi mana minyak zaitun yang telah kupercayakan kepadamu?" tanya si orang bijak itu. Sang putra lalu memandang pada sendok yang masih digenggamnya tetapi yang isinya telah kosong dan sendok itu pun kering. "Baiklah, hanya ada satu nasihat yang yang kuberikan kepadamu" kata orang bijak itu, "rahasia kebahagiaan adalah melihat segala hal tanpa melupakan dirimu sendiri. Demikian pula sebaliknya, jangan hanya terpaku pada dirimu sendiri dan melupakan segala hal yang terjadi di seputarmu."

Kini, ada satu kisah lagi yang telah saya lupa judulnya tetapi kalau tidak salah penulisnya adalah Leo Tolstoy, pengarang terkenal dari Rusia. Kisah ini bertutur tentang seorang pahlawan perang yang amat disegani tetapi merasa frustrasi melihat kekerasan pertempuran lalu menjadi seorang rahib dengan ambisi untuk memperbaiki moral dunia. Sebagai seorang rahib, dia bersikap amat keras dan suaranya sedemikian menggelegar hingga dia menjadi seorang yang amat tersohor. Dia menekan, memaksa dan terkadang bahkan melakukan kekerasan untuk mengubah sikap orang lain. Dia bersikap menjadi setengah dewa. Tetapi pada akhirnya dia kembali menjadi kecewa dan merasa kalah. Orang-orang memang mengikuti kata-katanya dengan seruan yang keras. Mereka berseru: "Jangan membunuh" sambil menikam lawannya. Mereka berteriak: "Jangan berzinah" sambil berplesiran di lokalisasi pelacuran. Mereka berdoa untuk orang-orang papa sambil memeras mereka agar kekayaan mereka terus bertambah. Demikianlah, dengan perasaan muak dan patah rahib itu kembali ke keluarganya yang selama ini dilalaikannya. Dia kembali kepada istri dan tiga orang anaknya, dua putra dan satu putri. Dia lalu bertekad untuk merubah moral keluarganya yang telah ditinggalkannya sekian lama demi hal-hal yang, menurutnya, lebih besar. Hasilnya, dari ketiga orang anaknya itu, satu putranya menjadi pemberontak, satu menjadi penurut seperti kelinci tanpa memiliki kemampuan apa-apa dan putrinya lari meninggalkan dia karena tak mampu terbebani dengan aneka aturan yang ditetapkannya. Maka dengan kelelahan dia pun hidup dengan istrinya yang selama ini setia mendampinginya dan senantiasa mendukungnya. Lalu, pada suatu ketika dia tiba-tiba jatuh cinta pada seorang anak dari sahabatnya sendiri. Dengan gigih dia melawan godaan hatinya,, tetapi pada akhirnya dia gagal dan mulai berselingkuh dengan gadis yang patut menjadi cucunya itu. Kisah ini berakhir dengan satu solilokui panjang tetapi intinya adalah: untuk mengubah dunia, pertama-tama kita harus
mengubah diri kita sendiri lebih dahulu.

Begitulah, dua kisah ringkas yang saya harap dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua dalam masa pertobatan ini. Sungguh tak mudah untuk memahami hidup ini karena jalannya tidak sesederhana yang sering kita inginkan. Sungguh tak mudah untuk memahami orang-orang, termasuk diri kita sendiri, tanpa dijejali dengan hasrat untuk mendakwa dan mengarahkannya menjadi lebih baik, selama apa yang lebih baik itu adalah keinginan kita sendiri. Manusia bukanlah batu-batu tanpa perasaan dan tanpa nalar, dia amat individual. Karena itu, untuk memahami orang lain, pertama-tama kita mesti memahami diri kita sendiri. Karena itu, tekad untuk berguna bagi orang lain mesti berawal pada fungsi diri kita sendiri. Apakah kita sungguh-sungguh ingin berbuat tanpa pamrih? Ataukah ada yang ingin kita capai dengan perbuatan itu? Apakah kita bekerja untuk Tuhan atau hanya demi ambisi kita sendiri? Jika kita memang ingin bekerja demi Tuhan maka pertama-tama kita harus mampu memaafkan orang-orang lain, baik segala tindakan maupun pikiran dan perkataannya. Marilah kita selalu mengawali renungan kita dengan doa yang diajarkan oleh Tuhan sendiri: "Ampunilah kesalahan kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah
kepada kami" karena "Jikalau kami tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni
kesalahanmu.: (Mat. 6:15). Marilah kita, seperti kata Yohannes Pembaptis tentang diri Yesus: "Ia harus
makin besar tetapi aku harus makin kecil." (Yoh. 3:30). Marilah kita sama berharap agar dengan tobat kita bersama, kelak kita kan mendampingi Dia sebagai sahabat sejati seperti yang diinginkanNya, dan bukan lagi sebagai hamba (Yoh. 15:15). Karena itu dalam masa pertobatan ini, pertama-tama kita harus saling mengampuni dan dari dasar yang bersih kita menata hidup kebersamaan kita secara baru kembali. Kita mengampuni, kita memahami dan kita bekerja untuk kita semua dan bukan untuk hasrat, ambisi dan ilusi yang kita bentuk selama ini. Setuju?

Tonny Sutedja

02 Februari 2008

BISU

Ada yang tertinggal di belakang hidup

Kita kenal. Tahu dan kunyah. Sepuasnya

Lepas kekang. Tangis. Peluk diriku


 

Ada yang tertanam bersama riwayat

Perlahan kita gali. Sekop. Demi sekop

Tahukah aku aku kau?


 

Malu-malu kutelan harapan

Di sini. Di sana. Di mana saja

Kutanam sepenggal duka


 

Ada yang tumbuh di balik duka

Kita tanam. Dalam. Kian dalam

Lalu lewat. Tanpa kata. Bisu


 

Tonny Sutedja

MUNGKINKAH ENGKAU DATANG

Mungkinkah engkau datang malam ini?

Datang bersama elusan angin di rambutku?

Mungkinkah engkau menyapaku malam ini?

Menyapa dengan hati dijerat rindu?


 

Tak ada kata menyairkan sajak

Tak ada nada menyanyikan lagu

Aku tahu aku datang kau pergi

Kita memintas di jalan kelam


 

Namun ada suara bertanya

Lagu apa lagi yang kau senandungkan malam ini

Kata apa lagi yang kau sanjakkan di sepi ini

Aku bertanya dan kau pun bertanya


 

Bersama

Kita

Intai

Mengintai

Dalam

Sepi

Ku

Mu


 

Tonny Sutedja

KITA

Gerangan siapa. Mengetuk. Lalu diam

Tengah malam. Dingin. Datang. Menikam

Pejamkan mata. Kenang. Hanya. Kelam

Bisu. Pelan. Mengetuk. Salam


 

Kutahu. Diri. Sekedar. Debu

Tipis. Melapis. Atas. Batu

Dulu. Kini. Esok. Beku

Tatap aku. Datang. Kita sekutu


 

Bulan. Malam. Bulat. Kita

Tertelan. Habis. Habis. Habis. Kita


 

Tonny Sutedja

SUNYI

Mendung

Dan kabut

Dan gerimis

Dan langkahku


 

Kemana perginya?


 

Langit

Bertutur

Tentang

Hidup


 

Sampai dimana?


 

Mengapa

Sepi

Menukik

Hati?


 

Mengapa

Kau

Tak

Mampir?


 

Mendung

Dan kabut

Dan gerimis

Dan langkahku


 

Akan kemanakah?


 

Tonny Sutedja

DARI TANAH KEMBALI KE TANAH

Hidup. Sebuah mimpikah? Sekarang. Dapatkah dibalik? Dapatkah dipercepat? Apa makna duka, lara dan derita dan nestapa yang sedang kita alami saat ini? Suatu pengurbanan? Atau kesia-siaan dan kehampaan belaka? Tanpa arti. Lalu mengapa kita harus ada? Mengapa kita harus hidup? Untuk apa? Untuk menuju ujung kematiankah? Lalu, jika ya dan memang ya, mengapa kita mesti hidup? Mengapa? Hanya sekedar untuk mengisi sejarah? Waktu? Atau apa? Siapakah yang dapat menjawabnya? Atau, dimanakah kita bisa menemukan jawabnya?

Itulah pemikiran-pemikiran yang mengganggu hatiku saat memandang tubuh lemah dan tak berdaya dari ibuku yang terbaring tanpa sadar setelah mengalami penyumbatan pembuluh darah otak. Tubuh. Tubuh kita pada hakekatnya hanyalah mesin yang akan kalah di suatu waktu. Mesin yang kelak akan lapuk, rusak dan mati. "Dari tanah kembali ke tanah...." Lalu hidup pun menjadi ironi.


 

Lihat, betapa banyak dari kita yang berjuang agar mampu untuk tetap hidup, bertahan menghadapi duka derita dari kelemahan tubuh dan batinnya. Betapa banyak dari kita yang hanya mampu pasrah dan tak berdaya menanti akhir. Betapa banyak pula dari kita yang bahkan dengan tanpa pemikiran mendalam memutuskan untuk mengakhiri semuanya, menutup kesempatan-kesempatan dalam menjalani hari-hari esoknya. Padahal, berapa panjangkah waktu yang diberikan kepada kita dalam mengarungi lautan waktu sejarah kehidupan ini? Hanya setetes di tengah samudra luas keberadaan dunia ini. Hanya setetes belaka. Maka, mengapa harus kecewa, putus asa dan malu untuk menjalaninya? Kita hanya sebintik debu kecil saja. Sebintik debu kecil.


 

Memandang ketidak-berdayaan tubuh ibuku di ruang ICU ini, kurenungkan betapa tak adanya arti dari segala keangkuhan, kesombongan, ambisi, derita, dukalara dan kekecewaan kita. Ya, segalanya akan berakhir pada waktunya. Jika begitu, mengapa kita takut untuk hidup dan menghadapi hidup kita? Mengapa kita mesti malu dan melarikan diri dari kenyataan yang sedang kita hadapi? Mengapa kita mesti putus asa dan kecewa jika apa yang kita harapkan, apa yang kita inginkan dan apa yang kita bayangkan tidak mampu kita dapatkan? Mengapa?


 

Membayangkan ketakutan dan kekecewaan kita semua atas apa yang sedang menimpa kita saat ini, membayangkan pula betapa ketakutan dan kekecewaan Yesus terhadap derita dan kematian yang akan dihadapiNya di bukit Golgota saat berdoa di bukit Zaitun. Ketakutan, keresahan dan kerisauanNya bahkan menjadikan peluhNya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah. "Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku" bisikNya lirih. Pada saat itu, sebagai manusia biasa, Dia bisa melarikan diri dan menghindari kenyataan pahit yang akan segera dihadapiNya. Tetapi tidak. Dia takut tetapi tidak menyerah. Dia kecewa tetapi tetap percaya, bahwa kenyataan sepahit apapun harus dihadapi jika memang itu kehendak BapaNya. "Tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi." lanjutNya pula. Dan kita semua tahu akhir dari segalanya. Suatu kemuliaan setelah taat hingga akhir dalam derita dan sengsaraNya. Tidak pantaskah kita untuk mengikut teladanNya itu?


 

Hidup, pada hakikatnya bukan sebuah mimpi. Hidup, adalah realitas yang sedang kita hadapi saat ini. Waktu tidak dapat dihentikan, walau dengan segala teori yang ada, mungkin kelak kita bisa memundurkannya. Tetapi tak seorang pun bisa merubahnya. Tak seorangpun. Kenyataan yang sedang kita hadapi bukanlah suatu kesia-siaan tetapi merupakan suatu bentuk perjuangan untuk dijalani dan dihadapi tanpa perlu kecewa, putus asa dan mengakhirinya untuk lari dari kenyataan yang sedang dan telah terjadi. Sebab kita hidup untuk diuji, pantas atau tidak kita ada di dunia ini. Kenyataan, sepahit apapun, senyeri bagaimanapun, sepilu kapanpun, pada akhirnya akan berakhir saat tubuh kita, mesin yang membuat kita ada di dunia ini, merapuh hingga tak lagi berdaya menampung keberadaan kita. Saat itu tiba, kita semua patut bertanya, apakah kita telah berhasil untuk hidup? Apakah kita telah mampu untuk menjalani waktu yang hanya sepenggal kecil dalam samudra kejadian dengan baik? Apakah kita kelak mampu untuk bertemu muka dengan Dia tanpa rasa sesal atas segala kegagalan kita untuk menerima dan menghadapi kenyataan selama kita hidup? Seperti Yesus yang, walau merasa pedih dan putus asa di bukit Zaitun, mampu menghadapi kenyataan untuk tergantung di tiang salibNya. "Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku." Dan hidupNya pun tidak menjadi sia-sia.....


 

Kembali ke ruang ICU ini, kembali memandang pada ketidak-berdayaan dan kelemahan tubuh ibuku, tiba-tiba aku sadar betapa tidak mudahnya untuk hidup. Namun, justru di dalam menghadapi kesukaran, penderitaan, kekecewaan, bahkan rasa frustrasi dan putus asa itulah kita semua diuji, mampukah kita untuk hidup sebagai suatu anugerah? Atau kita menolaknya dan menerimanya sebagai suatu musibah? Pada titik inilah kita semua berjuang untuk menjalani sejarah keberadaan kita di dunia. Suatu sejarah yang amat singkat namun terkadang terasa panjang dan tak kunjung berakhir. Tetapi segalanya toh tetap akan usai. Sama seperti kita tidak akan pernah mampu untuk merubah kenyataan yang telah terjadi, kita juga tak akan pernah mampu untuk menghentikan proses pelapukan dan akhir dari waktu keberadaan kita di dunia ini. Jadi, pantaskah kita untuk menyerah, putus asa lalu melarikan diri dari kenyataan yang sedang kita alami saat ini? Pantaskah? Mari kita semua bertanya pada diri kita masing-masing. Kita bertanya sambil merenungkan makna keberadaan kita semua. Jawabannya ada pada perjuangan Yesus di Bukit Zaitun sebelum penyiksaan dan penyalibanNya. "Tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi."


 

Tonny Sutedja

01 Februari 2008

HOROR

"Sedemikian kayanya kegembiraan sehingga ia hauskan kemalangan, neraka, kebencian, aib, kepincangan dunia-karena ia kenal, oh, ia kenal dunia" (Zarathustra-Friedrich Nietzsche)

    Dapatkah kau berikan padaku, wahai jasad-jasad yang berhamburan, jawaban atas kehancuran itu? Siapakah kalian? Kumpulan nama? Kumpulan jumlah dan angka, sekedar sebuah statistik? Tetapi ah, apakah semua itu punya makna? "Apalah arti sebuah nama" bisik William Shakespearre. Tetapi, mengapakah kalian mesti bergelimpangan tercerai berai, walau pun tak lagi bernama? Demi sebuah pembalasankah? Sebuah dendam? "Mata ganti mata, gigi ganti gigi" kah? Ataukah sesuatu yang lebih hebat lagi? Kepentingan? Idealisme? Atau apa?

    Setelah ledakan hanya sisa kesenyapan. Kesenangan, derita, dendam, benci, iri hati, sukacita, tawa, tangis, kemanakah perginya mereka?

    Hidup terbenam pada lautan darah. Maut terbit dari ladang pembantaian. Dan kita, manusia-manusia malang, terus melata. Hilang dalam sejarah. Dilupakan dan melupakan. Waktu lewat membisu. Ditinggalkan dan meninggalkan. Warta dan tulisan mengaum sepi. Himbauan dan maaf berlalu sunyi. "Horor….Horor…" Tiap kali berulang. Dan berulang. Kita adalah keledai. Terantuk dan terantuk lagi. Maka tertawalah sepuasnya. Hidupi hidupmu. Dengan hampa. Dengan bisu. Dengan sunyi. Sebab kalimat tidak lagi punya makna. Kebenaran dibohongi. Ketidakadilan ditegakkan. Siapa salah?

    Setelah ledakan hanya ada kesenyapan. Jasad-jasad berhamburan. Dan kita hanya membisu. Kitalah jasad-jasad itu. Kitalah algojo sekaligus juga sang korban. Kita. Manusia-manusia hampa.

"Kenanglah kami, jika sempat, bukan sebagai jiwa-jiwa garang, tetapi sekedar sebagai orang-orang kosong" (The Hollow Man-TS Eliot)

Tonny Sutedja

HARAPAN ADALAH MASA DEPAN KITA

Apakah yang sedang kau harapkan saat ini? Adakah seseorang, atau sesuatu, yang sedang kau nantikan? Hidup memang dan harus merupakan suatu penantian akan harapan di masa depan. Kita harus bersyukur karena adanya pengharapan itu. Bukankah, Yesus pun bersedia mengurbankan diriNya di atas kayu salib karena pengharapan itu? Ya, karena pengharapan bahwa pengurbanan diriNya akan menyelamatkan kita semua. Demikian pula selayaknya kita berbuat demi pengharapan akan keselamatan kita. Pengharapan pada masa depan yang membahagiakan.

Maka derita saat ini hanyalah sebuah drama kehidupan yang singkat. Singkat, apabila kita jalani dengan segenap keyakinan bahwa apa yang sedang kita alami saat ini, kelak, akan berujung ke masa depan yang pasti. Dalam perlindunganNya, kita harus yakin untuk tetap melangkah maju. Jangan menghindar atau melarikan diri. Jangan menyerah atau memasrahkan diri dengan tidak berbuat apapun. Tetapi hadapilah hidupmu dengan tabah sambil mengatur penyelesaian atas segala apa yang terjadi. Ya, segala sesuatu yang terjadi pada diri kita sungguh tergantung hanya pada pikiran dan tindakan kita semata. Dan dengan berpasrah diri padaNya, setiap keputusan yang kita laksanakan merupakan tanggung jawab kita menuju cahaya harapan hari esok. Sebab Dia mencintai penggunaan talenta-talenta kita. Dia mencintai insan-insan yang berpijak pada kenyataan. Insan-insan yang tidak lari menghindar dan mengubur talentanya. Insan-insan yang pantang berputus asa dalam kehidupannya.

Bahkan apabila kita telah melakukan perbuatan-perbuatan yang salah, Tuhan tahu segala kelemahan manusiawi kita. Karena itu, "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." seruNya (Luk 23:34). Ya, kita dalam segala kelemahan diri harus berani untuk berbuat sesuatu. Untuk tidak berhenti berharap. Untuk tidak berhenti mengubah diri kita lalu duduk bermenung menyesali segala yang telah terjadi. Sebab kebenaran hanya datang dari Dia. Kebenaran yang sering tak terpikirkan oleh kita.
Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN (Yes 55:8) dan banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan TUHANlah yang terlaksana. (Ams 19:21).

Adakah yang sedang kau harapkan saat ini? Apakah pengharapanmu sedang mengalami cobaan sehingga rasanya mustahil lagi untuk diraih? Percayalah bahwa tak ada yang mustahil jika Dia memang menginginkan hal itu terjadi. Dan sesungguhnyalah, bukan urusan kita untuk memastikan apa yang akan kita hasilkan kelak. Bukan, bukan urusan kita. Yang dapat kita laksanakan saat ini hanya dengan berbuat dan berharap. Berbuat dan berharap sambil berdoa kepadaNya agar apa yang telah dirancangNya dapat terlaksana tanpa membebani diri kita dengan segala kekecewaan dan rasa putus asa itu. Sebab, mampukah kita mengubah apa yang telah dirancangNya?

Harapan adalah masa depan kita semua. Ya, pada harapan saja kita percaya dan yakin bahwa segala sesuatu yang sedang kita alami saat ini bukanlah suatu kesia-siaan. Harapan bahwa Tuhan akan memberi kita jalan untuk menjalani segala keputusan kita. Harapan bahwa Tuhan akan selalu melindungi kita. Harapan bahwa Tuhan tetap akan mengampuni dan menyelamatkan kita dari segala kegagalan yang tak kita ketahui atau sadari. Untuk itulah Dia terpaku di salib. Untuk itulah Dia wafat di salib. Agar kelak kita sebagai sahabat-sahabatNya dapat bangkit bersamaNya dalam kemuliaan Paskah. Itulah harapan terindah yang diberikanNya kepada kita semua. Itulah masa depan kita kelak. Suatu kehidupan abadi di surga bersamaNya.

Tonny Sutedja

HARAPAN

Malam tahun baru. Langit mendung tanpa hujan. Di luar suasana hening. Amat hening. Dari layar TV aku melihat suasana kekalutan di Aceh. Ombak besar yang menggulung kehidupan. Ribuan mayat bergeletakan. Ribuan wajah yang tak dikenal. Tetapi tak asing lagi. Wajah-wajah kematian. Wajah-wajah bencana. Kapankah ini berakhir?

Hidup semakin memanjang. Dalam kelam. Kita semua menjadi satu. Tanpa batas. Dan seakan kekekalan adalah sahabat sejati yang setia menemani harapan-harapan kita yang lewat. Harapan-harapan yang tersisih oleh gerak alam. Dan kita pun menangis. Walau hanya dalam diam. Walau hanya dalam bisu.

Maka merenungi derita dan kesedihan yang telah terjadi, aku hanya mampu mengguman. Seakan hilang seluruh daya. Mungkin ada gugatan dalam hati. Tetapi lebih nyaring lagi suara yang menggemakan betapa terbatasnya daya kita. Manusia. Betapa lemahnya kekuatan tubuh ini. Dan betapa rapuhnya kehidupan yang saat ini kita genggam. Amat rapuh.

Memang, kita ini bagaikan bejana dari tanah liat. Bejana yang nampak anggun, indah tetapi amat mudah retak. Tetapi bagaimana pun juga, kita tahu, bahwa Dia yang telah membentuk kita, Dia yang telah mengukir kita, tak punya arti lain selain untuk dipergunakan sebagaimana yang dikehendaki olehNya. Dan manakala dianggapNya cukup, kita pun akan dikembalikan kepada bentuk semula. Dari tanah kembali ke tanah. Dari bumi kembali ke bumi. Tetapi apakah ada yang sia-sia disana?

Tidak. Hidup tak pernah akan menjadi sia-sia. Hidup, sesingkat apa pun juga, punya makna bahwa kita selalu berguna di mataNya. Sebab waktu hanya singkat, tetapi Dia abadi. Dan kita yang dibentuk dari keabadianNya, akan selalu abadi pula. Maka jika pun waktu melintas. Dan tubuh kita berlalu. Roh kita abadi dalam kemahNya. Karena Sang Pencipta tak akan pernah melupakan hasil karyaNya sendiri. Sang Pencipta tidak akan menyia-nyiakan hasil karyaNya.

Ombak menggulung kehidupan. Gelombang menyeret harapan. Tetapi jiwa-jiwa yang dibawanya takkan lenyap. Mereka bahkan akan bertutur banyak. Tentang harapan baru. Tentang kesetia-kawanan. Tentang solidaritas. Dan kita semua dapat berharap semoga dari balik gelombang ini akan lahir suatu kesadaran baru tentang betapa rapuhnya kehidupan. Dan betapa kuatnya cinta kasih. Kuatnya cinta kasih.

Tonny Sutedja

DRAMA TOPENG

    Topeng. Kadang lucu. Kadang menggemaskan. Kadang menakutkan. Ada topeng yang menyembunyikan wajah ceria. Kesenangan di balik keluhan. Ada topeng yang menyembunyikan wajah duka. Kepahitan di balik senyum. Ada pula yang menyembunyikan ambisidan nafsu. Nampak ramah. Nampak baik. Tetapi di baliknya tersembunyilah senyum sinis. Kejam. Munafik. Manusia hidup bersama topeng-topengnya. Lain laku lain hati. Lain kata lain perbuatan. Lantas, mau apa lagi?

    Kasih. Perasaan hati. Kerinduan insani pada kebenaran. Pada keadilan. Tetapi kadang khawatir menghadapi kejujuran. Kasih, kadang dimanfaatkan untuk mematikan kebenaran. Mematikan keadilan. Satu realitas yang disembunyikan di balik topeng kasih. Demi hak asasi. Demi tidak merusak kemapanan. Namun, adakah keadilan bagi sang korban? Adakah kebenaran bagi yang menderita? Suatu realitas mempunyai dua sisi: sang subyek dan sang obyek. Dan bila sang subyek dilindungi atas alasan kasih, apakah sang obyek cuma seonggok benda mati yang tak berharga? Mengapa jika sang obyek menyatakan kerisauannya, mengeluarkan kegusarannya, mereka mesti disalahkan? Apakah kepekaan terhadap realitas memang telah pupus? Lantas, mau apa lagi?

    Kita. Berjuang untuk tetap hidup. Tetap bertahan. Dalam kesibukan menghidupi hidup, kita sering mengabaikan realitas. Atau tidak memperdulikan realitas. Apapun yang terjadi, selama tidak bersinggungan dengan kepentingan kita, hanyalah omong kosong. Kita adalah pelakon. Sang aktor. Yang selebihnya cuma penonton. Saksi bisu. Tanpa hak suara. Keadilan dibantai. Tersobek-sobek sering oleh ulah kita. Tetapi merekalah yang salah. Bukan kita. Karena kitalah sang kebenaran. Lantas, mau apa lagi?

    Dunia memang panggung sandiwara. Selalu ada batas antara pelakon dan penonton. Satu jarak. Satu tirai tebal. Satu keterasingan. Manusia. Pelakon. Penonton. Batas. Topeng. Drama. Demi kasih, keadilan dibantai. Tragedi pengabaian terhadap realitas. Maka Tuhan pun disalibkan kembali. Setiap saat. Setiap waktu. Kita tetap tidak peduli. Walau ada bayang gelap mengancam. Walau ada kemarahan yang siap meledak. Kita hanya diam. Kita tetap diam. Diam. Lantas, mau apa lagi?

    Hidup memang takkan pernah sempurna. Maka kutertawai diri sambil menyiulkan 'Que Sera Sera'. Sambil mengunyah kacang garing. Aku mau tidur enak malam ini. Dan bermimpi. Dan tak bermimpi. Sama saja. 'Whatever will be will be'. Mau apa lagi? The show must go on…..

Tonny Sutedja

DAERAH PEDALAMAN

    Perjalanan ini masih panjang. Melintasi sawah dan ladang yang merangas. Udara panas menyengat. Langit biru jernih. Tanpa awan. Matahari tepat di atas kepala, menyebarkan teriknya menikam langsung ke dalam pori-pori kami. Tanah merah. Tanpa pohon. Tanpa tanaman. Tanpa rimbun hijau. Bumi nampak polos dan telanjang dalam terang cahaya. Sekeliling kami seakan kristal jernih dimana tak satu pun area dapat dijadikan naungan. Dahaga menyerang kami. Tetapi yang nampak, di kejauhan, hanya fatamorgana samar-samar dari gelombang yang menyerupai air. Di ujung jalan. Jauh, jauh di ujung jalan. Alam nampak kejam.

    Tiba-tiba, di balik sebuah pengkolan yang tajam, nampak muncul sekumpulan gubuk kayu. Seakan muncul begitu saja dari tengah bumi. Aku menghitung, ada delapan buah gubuk kayu yang berdiri beriringan. Dengan kayu-kayu yang begitu lapuk, sehingga dengan mudah akan diterbangkan angin. Tetapi angin mati di lokasi ini. Tiga orang anak, dua wanita dan satu pria kecil, mungkin sekitar tujuh atau delapan tahun, kulihat sedang bermain. Atau bekerja. Entahlah. Mereka sedang menggali tanah yang nampak keras bagai batu. Dengan menggunakan sekop kecil. Tidak ada orang dewasa. Tidak ada ayah. Tidak ada ibu. Mereka bertiga, seolah muncul begitu saja dari dalam tanah. Dan menjadi penghuni yang langka di tempat gersang ini.

    Kendaraan kami yang meluncur cepat, tidak banyak menyajikan kenangan atas apa yang telah kami lewati. Tetapi, wajah ceria anak-anak itu sedemikian mengesankan diriku. Dalam waktu hanya sepersekian menit, aku mendengar tawa mereka. Dalam bahasa daerah setempat, mereka ngobrol. Dan tertawa. Ah, tawa di tengah suasana tandus itu amat menusuk hatiku. Kami melihat mereka dengan perasaan beragam. Seseorang berkata, betapa orangtua anak-anak itu tidak bertanggung-jawab telah membiarkan mereka bekerja di tengah terik yang membakar bumi. Seseorang lain menyatakan bahwa anak-anak itu pasti anak nakal karena tidak mau mendengarkan orang tua mereka. Seseorang lain menyayangkan situasi mereka yang sedemikian terhimpit oleh kemiskinan sehingga anak sendiri terlantar tanpa penjagaan. Khas pendapat orang-orang dari kota besar yang mungkin setiap minggu atau hari libur membawa anak-anak mereka ke Mall. Untuk menikmati makanan cepat saji. Atau bermain dengan mesin-mesin otomatis. Tetapi ketiga anak itu tidak peduli pada kami. Bahkan melihat pun tidak. Dan kami melewati mereka dengan cepat. Kami melintasi bumi yang tandus ini, mungkin ikut prihatin dengan suasana demikian, tetapi toh kami bukan bagian dan tidak pernah menjadi bagian dari tanah itu. Sekejap mereka hilang dari pandangan kami. Di depan, jalan masih membentang jauh. Jauh.

    Dengan perasaan gundah, aku mengenang kembali ketiga anak itu. Tangan-tangan kecil mereka yang memegang sekop, nampak ringkih. Tetapi tawa dan suara mereka menyengat hatiku. Mereka, ah, tahukah mereka bahwa di kota, teman-teman seusia mereka, saat itu mungkin sedang ditemani sebuah alat kecil sambil memandang kotak kaca, bermain dengan mimik amat serius. Dan tanpa tawa. Ya, tawa nampaknya sedemikian jarang lagi kita temukan pada wajah anak-anak yang bisa enak dalam ruang berpengatur udara di rumah di kota. Sedangkan ketiga anak ini, di tengah alam yang demikian terik dapat saling bercanda sambil melupakan keringat yang bercucuran pada tubuh mereka. Suatu kontras yang tajam. Mereka bermain. Atau bekerja. Atau bermain sambil bekerja. Hidup, bagi kita yang melihat dari jauh, terasa begitu asing, bagi mereka adalah keseharian yang lumrah. Sama seperti rengekan anak-anak kita untuk ke Mall setiap liburan tiba.

    Memang, mengetahui hidup tidak akan pernah sama dengan mengalami hidup. Kita tidak akan pernah berhasil jika hanya ingin menerapkan teori yang kita pikir benar jika kita sendiri tidak menyesuaikan diri dengan kenyataan. Hidup pada akhirnya bukan teori. Hidup adalah mengalami. Dan menikmatinya. Seberat dan sepahit apapun itu, kita tak akan merasakan sebagai beban jika kita tahu dan sadar bahwa itulah kenyataan yang sesungguhnya. Dan sama seperti ketiga anak itu, kita tetap dapat tersenyum, bahkan tertawa menikmati penderitaan kita. Sebab apakah artinya penderitaan, jika kita tahu bahwa kenyataan itu adalah satu-satunya hal yang kita alami sekarang? Dengan mengeluh, dengan memandang iri kebahagiaan orang-orang lain yang bagi kita hidup mereka mungkin terasa lebih bahagia, kita akan tersungkur dalam kesalahan persepsi tentang hidup itu sendiri. Sebab, apakah sungguh bahwa hidup anak-anak kita, yang sedemikian terkungkung dalam tembok kamar, walau sejuk, namun kehilangan keceriaan antar sesama? Bahwa mereka terpaksa harus ngobrol dengan mesin yang tidak memiliki inspirasi. Mesin yang hanya bisa menerima dan menjalankan perintah-perintah yang terkadang amat absurd? Dan, apakah memang kesenangan mereka untuk menikmati suasana Mall dengan berbelanja bersama orang tuanya, jauh lebih berarti bagi hidup mereka daripada tawa riang mereka bersama teman-teman seusia mereka sendiri? Maka tidak heran, jika pada akhirnya anak-anak kita akan kehilangan rasa kesetiakawanan dengan sesama mereka. Mereka akan tumbuh dalam dunia kepentingan diri dan keluarganya sendiri. Dan pada akhirnya, anak-anak kita tidak lagi memiliki inisiatip karena setiap saat hanya memberi perintah kepada alat-alat permainan otomatis mereka yang tidak pernah berpikir sendiri. Anak-anak di kota sering hanya menemukan diri mereka pada kepentingan dirinya sendiri sedang anak-anak di pedalaman mungkin jauh lebih peka pada kepentingan lingkungan dan sesama mereka.

    Perjalanan masih panjang. Dan dalam perjalanan ini, bus kami melaju dengan cepat. Kenangan datang dan pergi. Pemandangan di luar masih tetap gersang dan tandus. Namun aku tenggelam dalam renunganku sendiri. Betapa hidup itu tidak mudah untuk diselami. Betapa kita juga sering merasa tandus di dalam jiwa kita saat kita hanya mampu memandang semua hal dari jendela pikiran kita saja. Dan tak mampu memahami situasi yang sungguh berbeda dengan situasi kita sendiri. Hidup, memang untuk dialami, bukan ditatap. Dengan demikian barulah kita akan mampu saling memahami satu sama lain. Tanpa itu, kita tetap akan menjadi penonton dari balik kendaraan yang melaju cepat. Melihat tetapi tidak mengalami. Mengetahui tetapi gagal memahami. Debu mengepul di belakang kendaraan kami. Debu mengepul yang kami tinggalkan bagi ketiga anak-anak itu. Tetapi tawa mereka jelas terdengar. Tawa yang polos tanpa derita di tengah bumi yang demikian kering ini......

Tonny Sutedja

BELAJAR DARI ANAK-ANAK

Ratusan anak-anak berkumpul riuh saat kami datang untuk berbagi. Ratusan anak-anak yang duduk di bangku sebuah gereja kecil di tello saat menjelang natal lalu kami datang bersama santa Klaus yang telah dibekali dengan aneka macam kado untuk anak-anak itu. Ratusan anak-anak dengan wajah riang tetapi sering sulit untuk diatur. Diatur? Perlukah mereka diatur? Mengapa kita sering berpikir bahwa dalam keteraturan, segala hal dapat menjadi baik? Apakah memang kita selalu ingin untuk mengatur orang lain? Untuk siapakah keteraturan itu? Untuk mereka atau hanya untuk kenyamanan kita sendiri yang tentu merasa repot dalam segala kegaduhan itu?

Ratusan anak-anak saling melontar kata, saling berbicara satu sama lain tanpa topik yang jelas sering membuat kita jengkel. Tetapi tidakkah dalam keriuhan dan kesimpang-siuran tersebut tersirat suatu kegembiraan? Dan jika mereka menjadi tak teratur, apakah kita pun mudah untuk mengatur diri kita sendiri? Terutama saat kita merasa senang karena berkumpul dengan para sahabat dan teman? Bukankah pada akhirnya kita sering tidak peduli juga pada permintaan untuk berdiam diri, duduk dengan rapi dalam keheningan?

Memang, adalah lebih mudah untuk mengatur orang lain dari pada mengatur diri kita sendiri. Terutama saat kita saling berlomba untuk membagi kegembiraan kita, saling berlomba untuk menceritakan kebahagiaan yang kita alami. Atau bahkan hanya untuk saling bertukar informasi. Tetapi semakin dewasa, semakin kuat juga hasrat untuk mengekang diri dalam berbagi. Maka jika saat ini kami berkumpul bersama untuk secara langsung larut dalam keadaan nyata dari kehidupan anak-anak itu, seharusnya kita juga memahami apa gejolak jiwa kita sendiri.

Dan hidup memang selayaknya adalah interaksi antara kita, bukan hanya dalam kesempitan kepentingan diri saja. Tetapi juga untuk saling melepas kekangan jiwa yang terkungkung dalam tata cara resmi yang hanya membuat kita berwajah ganda. Selalu mengenakan topeng untuk menutupi hasrat dan kebahagiaan kita. Demi agar semuanya tidak kacau di penampilan luar. Tetapi siapa yang dapat mengetahui apa yang tersimpan dalam jiwa kita? Sebab sering kita juga ingin merasa bebas lepas dari segala penampilan semu, penampilan yang dibuat agar kita selalu tampil baik, bersih dan layak ditonton. Padahal?

Maka berbahagialah orang yang mampu menerima dirinya sebagai anak-anak kecil yang selalu merindukan interaksi satu sama lain. Hidup bukan hanya dalam dunia yang telah ditata rapi hanya demi agar kita aman tetapi tidak nyaman. Sebab hidup memang selalu punya resiko bilamana kita tak mampu menerima pilihan bebas yang telah dikaruniakan kepada kita sejak saat manusia diciptakan. Aturan memang diperlukan tetapi bukan untuk membuat kita menjadi robot yang hanya dapat melakukan apa yang telah diprogramkan dan bukan pula untuk membuat orang lain menjadi robot juga. Sebab sesungguhnya, sama seperti saat kita diciptakan sengan hanya satu larangan tunggal untuk tidak memakan buah yang terlarang itu, Tuhan Yesus sendiri telah menggariskan satu patokan: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." Demikianlah diperlukan suatu kesadaran diri untuk melawan hasrat kita sendiri yang mengusik kepentingan orang lain. Tetapi juga dibutuhkan suatu kepasrahan untuk menerima kegembiraan anak-anak tanpa membuat suatu aturan yang membuat segala kegembiraan hidup lenyap. Biarkanlah anak-anak itu larut dalam kegembiraan mereka sendiri.

Ratusan anak-anak itu berkumpul riang. Beberapa nampak tidak tenang duduk di bangkunya dan berlarian mengelilingi ruangan dengan tangan yang terbuka menirukan sayap-sayap pesawat. Beberapa lainnya saling menggoda dan dengan riuh meneriakkan kalimat-kalimat yang tidak jelas. Ada pula yang mampu duduk tenang sambil memperhatikan tingkah polah teman-temannya yang lain sambil tersenyum. Seorang gadis cilik kecil, tersenyum manis saat kami memandangnya. Dia berkata: "Terima kasih." Jelas, masa depan kita ada di tangan mereka semua. Bukan hanya milik kita. Bukan milik kita sendiri. Maka belajarlah dari anak-anak kita. Belajarlah pada mereka.

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...