23 Februari 2008

TAKLUKKAN DENGAN CINTA

Katakan padaku, bagaimana rasanya sunyi itu. Katakan padaku, bagaimana rasanya sepi itu. Malam, dengan dingin dan kabut. Malam dengan desiran angin dan bunyi rintik hujan. Ada lagu di dalam hati. Ada lagu tak berjudul. Dan siapakah diriku ini? Siapakah aku? Apakah artinya aku di tengah deru kehidupan yang meluncur dalam waktu? Mengapa aku harus menangis? Mengapa aku harus menjerit dengan jiwa yang terluka? Merasa disia-siakan, dihina, disepelekan dan tak punya arti lagi? Mengapa hidup mesti sesunyi ini? Dimanakah harus kucari cara untuk menghadapi hidupku? Dimanakah harus kucari setetes embun yang dapat memuasi dahaga kehidupanku? Segala hal telah kucoba. Segala kemungkinan telah kulalui. Tetapi mengapa dingin masih menggigit kalbu? Mengapa luka masih menganga di dalam jiwa? Tuhan. Tuhan, sungguhkah Engkau ada? Dimanakah Engkau saat ini? Dimana?

Rasa pesimis dan putus asa seringkali menyelimuti kehidupan kita. Rasa tak mampu dan tak sanggup untuk menghadapi hari esok seringkali melumpuhkan jiwa kita. Tertunduk pasrah menghadapi waktu tanpa daya untuk bangkit dan mendobrak segala kebekuan yang kita alami saat sekarang. Rasa takut, tak berdaya, mematikan segala inisiatip kita untuk menghadapi apa yang ada. Kita hidup namun telah mati. Kita ada namun sungguh tak jelas keberadaan kita. Kita merasa tak memiliki daya apapun untuk berbuat. Malam telah larut dan kita terbenam di dalamnya. Bersama angin dan gerimis. Dimanakah kita saat ini? Dimana?

Hidup selalu membawa banyak pertanyaan. Persoalan-persoalan yang tak bisa terjawab hanya dengan kata. Karena hidup bukan sekedar kata. Bukan sekedar kalimat-kalimat indah dengan nasehat-nasehat panjang dan Firman indah yang merasa bisa meringankan beban kita. Tidak, temanku. Hidup bukan hanya kata tetapi perbuatan. Perjuangan untuk mengatasi diri sendiri. Pertarungan melawan hati dan diri kita sendiri. Kita, yang terkurung dalam pemikiran, takkan melihat setitik cahaya di depan kita. Karena kita hanya berpaling ke relung jiwa kita yang kelam. Jiwa kita yang kelam takkan mampu untuk melangkah selama kita tak menginginkannya. Sesungguhnya kita sendiri adalah daya. Daya yang mampu untuk melakukan apa saja jika kita mau. Mampu untuk bangkit atau runtuh. Mampu untuk berbuat atau tidak berbuat. Maka apalah artinya segala kondisi lingkungan jika kita sadar bahwa, yang menentukan bukanlah lingkungan, tetapi diri kita sendiri? Ya, kita berjuang bukan untuk apapun selain untuk diri kita. Hanya untuk kita sendiri.

Malam dengan kelam sering menutup segala penglihatan kita. Dan kita pun takut melangkah maju. Kita khawatir terantuk. Kita takut terjerumus ke jurang kelam. Kita tak tahu apa-apa di depan. Tetapi apakah memang ada apa-apa di depan? Bagaimana kita tahu jika kita tidak mencobanya? Bagaimana kita memastikan sesuatu jika kita tidak melihatnya sendiri? Jika kita tidak merasakannya sendiri? Jangan takut, temanku. Jangan takut. Hidup bukan mimpi namun suatu kenyataan. Kenyataan yang harus kita hadapi dan bukan untuk dihindari. Kita bukan penonton tetapi pelakon. Sebab Tuhan membuat dunia ini bukan untuk dinikmati sesuai dengan kesenangan kita namun untuk ditaklukan dan dikuasai dengan akal nurani. Kita ada untuk hidup dan bukan untuk mati. Maka mengapa kita lalu merasa takluk padanya? Mengapa?

Apakah artinya kehidupan? Apakah artinya kematian? Seberapa sering kita merasa sebal menghadapi kehidupan ini? Tapi, bukankah tak jarang pula kita takuti kematian? Lantas, untuk apa kita ada di dunia ini? Untuk apa kita bisa berpikir, merasa sakit, senang, sedih, gembira, suka dan duka? Jika semua itu tanpa makna samasekali, dan jika saat kehidupan ini berakhir maka segala sesuatu akan berubah menjadi gelap, nihil dan kita lalu menghilang dalam ketak-adaan, perlukah kita menjadi ada di dunia ini? Sekarang ini? Pikirkanlah!

Dan bayangkanlah ini. Langit kelam dalam mendung. Surya terik dalam terang. Apakah artinya itu? Bunga-bunga indah yang bermekaran lalu layu gugur, pendaran cahaya senja menuju gelap malam, kekelaman malam menuju fajar terang bersinar, lompatan kecil seekor anjing yang menghindari genangan air. Hidup, bukan main. Ada yang datang, ada yang pergi. Ada yang lahir, ada yang mati. Perlukah kita sesali keberadaan kita di dalam lorong waktu dan sejarah yang nampak tak berujung ini? Dan dalam meniti jalan setapak kehidupan, keindahan taman hati dan kejorokan ambisi dan nafsu, bukankah semua itu lalu menjadi lumrah saja? Perlukah kita sesali kehidupan ini? Perlukah, temanku?

Maka jangan pernah merasa takluk. Jangan takut, hidup kita adalah bagaimana harus bertahan dan menguasai apa yang sedang terjadi. Kita toh bukan seorang pengecut? Kita toh tahu, bahwa sesungguhnya Yesus, jika kita akui Dia sebagai Penebus kita, dapat saja menghindari penderitaanNya jika Ia mau. Tetapi tidak! Apa yang harus terjadi, terjadilah. Kita hadapi hidup kita dengan sepenuh daya. Kita berjuang dengan sepenuh pengharapan. Kita bertahan untuk tidak tertaklukkan, tetapi agar mampu menaklukkan keadaan kita. Dengan cinta. Dengan cinta. Hanya dengan cinta.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...