02 Februari 2008

DARI TANAH KEMBALI KE TANAH

Hidup. Sebuah mimpikah? Sekarang. Dapatkah dibalik? Dapatkah dipercepat? Apa makna duka, lara dan derita dan nestapa yang sedang kita alami saat ini? Suatu pengurbanan? Atau kesia-siaan dan kehampaan belaka? Tanpa arti. Lalu mengapa kita harus ada? Mengapa kita harus hidup? Untuk apa? Untuk menuju ujung kematiankah? Lalu, jika ya dan memang ya, mengapa kita mesti hidup? Mengapa? Hanya sekedar untuk mengisi sejarah? Waktu? Atau apa? Siapakah yang dapat menjawabnya? Atau, dimanakah kita bisa menemukan jawabnya?

Itulah pemikiran-pemikiran yang mengganggu hatiku saat memandang tubuh lemah dan tak berdaya dari ibuku yang terbaring tanpa sadar setelah mengalami penyumbatan pembuluh darah otak. Tubuh. Tubuh kita pada hakekatnya hanyalah mesin yang akan kalah di suatu waktu. Mesin yang kelak akan lapuk, rusak dan mati. "Dari tanah kembali ke tanah...." Lalu hidup pun menjadi ironi.


 

Lihat, betapa banyak dari kita yang berjuang agar mampu untuk tetap hidup, bertahan menghadapi duka derita dari kelemahan tubuh dan batinnya. Betapa banyak dari kita yang hanya mampu pasrah dan tak berdaya menanti akhir. Betapa banyak pula dari kita yang bahkan dengan tanpa pemikiran mendalam memutuskan untuk mengakhiri semuanya, menutup kesempatan-kesempatan dalam menjalani hari-hari esoknya. Padahal, berapa panjangkah waktu yang diberikan kepada kita dalam mengarungi lautan waktu sejarah kehidupan ini? Hanya setetes di tengah samudra luas keberadaan dunia ini. Hanya setetes belaka. Maka, mengapa harus kecewa, putus asa dan malu untuk menjalaninya? Kita hanya sebintik debu kecil saja. Sebintik debu kecil.


 

Memandang ketidak-berdayaan tubuh ibuku di ruang ICU ini, kurenungkan betapa tak adanya arti dari segala keangkuhan, kesombongan, ambisi, derita, dukalara dan kekecewaan kita. Ya, segalanya akan berakhir pada waktunya. Jika begitu, mengapa kita takut untuk hidup dan menghadapi hidup kita? Mengapa kita mesti malu dan melarikan diri dari kenyataan yang sedang kita hadapi? Mengapa kita mesti putus asa dan kecewa jika apa yang kita harapkan, apa yang kita inginkan dan apa yang kita bayangkan tidak mampu kita dapatkan? Mengapa?


 

Membayangkan ketakutan dan kekecewaan kita semua atas apa yang sedang menimpa kita saat ini, membayangkan pula betapa ketakutan dan kekecewaan Yesus terhadap derita dan kematian yang akan dihadapiNya di bukit Golgota saat berdoa di bukit Zaitun. Ketakutan, keresahan dan kerisauanNya bahkan menjadikan peluhNya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah. "Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku" bisikNya lirih. Pada saat itu, sebagai manusia biasa, Dia bisa melarikan diri dan menghindari kenyataan pahit yang akan segera dihadapiNya. Tetapi tidak. Dia takut tetapi tidak menyerah. Dia kecewa tetapi tetap percaya, bahwa kenyataan sepahit apapun harus dihadapi jika memang itu kehendak BapaNya. "Tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi." lanjutNya pula. Dan kita semua tahu akhir dari segalanya. Suatu kemuliaan setelah taat hingga akhir dalam derita dan sengsaraNya. Tidak pantaskah kita untuk mengikut teladanNya itu?


 

Hidup, pada hakikatnya bukan sebuah mimpi. Hidup, adalah realitas yang sedang kita hadapi saat ini. Waktu tidak dapat dihentikan, walau dengan segala teori yang ada, mungkin kelak kita bisa memundurkannya. Tetapi tak seorang pun bisa merubahnya. Tak seorangpun. Kenyataan yang sedang kita hadapi bukanlah suatu kesia-siaan tetapi merupakan suatu bentuk perjuangan untuk dijalani dan dihadapi tanpa perlu kecewa, putus asa dan mengakhirinya untuk lari dari kenyataan yang sedang dan telah terjadi. Sebab kita hidup untuk diuji, pantas atau tidak kita ada di dunia ini. Kenyataan, sepahit apapun, senyeri bagaimanapun, sepilu kapanpun, pada akhirnya akan berakhir saat tubuh kita, mesin yang membuat kita ada di dunia ini, merapuh hingga tak lagi berdaya menampung keberadaan kita. Saat itu tiba, kita semua patut bertanya, apakah kita telah berhasil untuk hidup? Apakah kita telah mampu untuk menjalani waktu yang hanya sepenggal kecil dalam samudra kejadian dengan baik? Apakah kita kelak mampu untuk bertemu muka dengan Dia tanpa rasa sesal atas segala kegagalan kita untuk menerima dan menghadapi kenyataan selama kita hidup? Seperti Yesus yang, walau merasa pedih dan putus asa di bukit Zaitun, mampu menghadapi kenyataan untuk tergantung di tiang salibNya. "Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku." Dan hidupNya pun tidak menjadi sia-sia.....


 

Kembali ke ruang ICU ini, kembali memandang pada ketidak-berdayaan dan kelemahan tubuh ibuku, tiba-tiba aku sadar betapa tidak mudahnya untuk hidup. Namun, justru di dalam menghadapi kesukaran, penderitaan, kekecewaan, bahkan rasa frustrasi dan putus asa itulah kita semua diuji, mampukah kita untuk hidup sebagai suatu anugerah? Atau kita menolaknya dan menerimanya sebagai suatu musibah? Pada titik inilah kita semua berjuang untuk menjalani sejarah keberadaan kita di dunia. Suatu sejarah yang amat singkat namun terkadang terasa panjang dan tak kunjung berakhir. Tetapi segalanya toh tetap akan usai. Sama seperti kita tidak akan pernah mampu untuk merubah kenyataan yang telah terjadi, kita juga tak akan pernah mampu untuk menghentikan proses pelapukan dan akhir dari waktu keberadaan kita di dunia ini. Jadi, pantaskah kita untuk menyerah, putus asa lalu melarikan diri dari kenyataan yang sedang kita alami saat ini? Pantaskah? Mari kita semua bertanya pada diri kita masing-masing. Kita bertanya sambil merenungkan makna keberadaan kita semua. Jawabannya ada pada perjuangan Yesus di Bukit Zaitun sebelum penyiksaan dan penyalibanNya. "Tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi."


 

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...