01 Februari 2008

BELAJAR DARI ANAK-ANAK

Ratusan anak-anak berkumpul riuh saat kami datang untuk berbagi. Ratusan anak-anak yang duduk di bangku sebuah gereja kecil di tello saat menjelang natal lalu kami datang bersama santa Klaus yang telah dibekali dengan aneka macam kado untuk anak-anak itu. Ratusan anak-anak dengan wajah riang tetapi sering sulit untuk diatur. Diatur? Perlukah mereka diatur? Mengapa kita sering berpikir bahwa dalam keteraturan, segala hal dapat menjadi baik? Apakah memang kita selalu ingin untuk mengatur orang lain? Untuk siapakah keteraturan itu? Untuk mereka atau hanya untuk kenyamanan kita sendiri yang tentu merasa repot dalam segala kegaduhan itu?

Ratusan anak-anak saling melontar kata, saling berbicara satu sama lain tanpa topik yang jelas sering membuat kita jengkel. Tetapi tidakkah dalam keriuhan dan kesimpang-siuran tersebut tersirat suatu kegembiraan? Dan jika mereka menjadi tak teratur, apakah kita pun mudah untuk mengatur diri kita sendiri? Terutama saat kita merasa senang karena berkumpul dengan para sahabat dan teman? Bukankah pada akhirnya kita sering tidak peduli juga pada permintaan untuk berdiam diri, duduk dengan rapi dalam keheningan?

Memang, adalah lebih mudah untuk mengatur orang lain dari pada mengatur diri kita sendiri. Terutama saat kita saling berlomba untuk membagi kegembiraan kita, saling berlomba untuk menceritakan kebahagiaan yang kita alami. Atau bahkan hanya untuk saling bertukar informasi. Tetapi semakin dewasa, semakin kuat juga hasrat untuk mengekang diri dalam berbagi. Maka jika saat ini kami berkumpul bersama untuk secara langsung larut dalam keadaan nyata dari kehidupan anak-anak itu, seharusnya kita juga memahami apa gejolak jiwa kita sendiri.

Dan hidup memang selayaknya adalah interaksi antara kita, bukan hanya dalam kesempitan kepentingan diri saja. Tetapi juga untuk saling melepas kekangan jiwa yang terkungkung dalam tata cara resmi yang hanya membuat kita berwajah ganda. Selalu mengenakan topeng untuk menutupi hasrat dan kebahagiaan kita. Demi agar semuanya tidak kacau di penampilan luar. Tetapi siapa yang dapat mengetahui apa yang tersimpan dalam jiwa kita? Sebab sering kita juga ingin merasa bebas lepas dari segala penampilan semu, penampilan yang dibuat agar kita selalu tampil baik, bersih dan layak ditonton. Padahal?

Maka berbahagialah orang yang mampu menerima dirinya sebagai anak-anak kecil yang selalu merindukan interaksi satu sama lain. Hidup bukan hanya dalam dunia yang telah ditata rapi hanya demi agar kita aman tetapi tidak nyaman. Sebab hidup memang selalu punya resiko bilamana kita tak mampu menerima pilihan bebas yang telah dikaruniakan kepada kita sejak saat manusia diciptakan. Aturan memang diperlukan tetapi bukan untuk membuat kita menjadi robot yang hanya dapat melakukan apa yang telah diprogramkan dan bukan pula untuk membuat orang lain menjadi robot juga. Sebab sesungguhnya, sama seperti saat kita diciptakan sengan hanya satu larangan tunggal untuk tidak memakan buah yang terlarang itu, Tuhan Yesus sendiri telah menggariskan satu patokan: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." Demikianlah diperlukan suatu kesadaran diri untuk melawan hasrat kita sendiri yang mengusik kepentingan orang lain. Tetapi juga dibutuhkan suatu kepasrahan untuk menerima kegembiraan anak-anak tanpa membuat suatu aturan yang membuat segala kegembiraan hidup lenyap. Biarkanlah anak-anak itu larut dalam kegembiraan mereka sendiri.

Ratusan anak-anak itu berkumpul riang. Beberapa nampak tidak tenang duduk di bangkunya dan berlarian mengelilingi ruangan dengan tangan yang terbuka menirukan sayap-sayap pesawat. Beberapa lainnya saling menggoda dan dengan riuh meneriakkan kalimat-kalimat yang tidak jelas. Ada pula yang mampu duduk tenang sambil memperhatikan tingkah polah teman-temannya yang lain sambil tersenyum. Seorang gadis cilik kecil, tersenyum manis saat kami memandangnya. Dia berkata: "Terima kasih." Jelas, masa depan kita ada di tangan mereka semua. Bukan hanya milik kita. Bukan milik kita sendiri. Maka belajarlah dari anak-anak kita. Belajarlah pada mereka.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...