01 Februari 2008

DAERAH PEDALAMAN

    Perjalanan ini masih panjang. Melintasi sawah dan ladang yang merangas. Udara panas menyengat. Langit biru jernih. Tanpa awan. Matahari tepat di atas kepala, menyebarkan teriknya menikam langsung ke dalam pori-pori kami. Tanah merah. Tanpa pohon. Tanpa tanaman. Tanpa rimbun hijau. Bumi nampak polos dan telanjang dalam terang cahaya. Sekeliling kami seakan kristal jernih dimana tak satu pun area dapat dijadikan naungan. Dahaga menyerang kami. Tetapi yang nampak, di kejauhan, hanya fatamorgana samar-samar dari gelombang yang menyerupai air. Di ujung jalan. Jauh, jauh di ujung jalan. Alam nampak kejam.

    Tiba-tiba, di balik sebuah pengkolan yang tajam, nampak muncul sekumpulan gubuk kayu. Seakan muncul begitu saja dari tengah bumi. Aku menghitung, ada delapan buah gubuk kayu yang berdiri beriringan. Dengan kayu-kayu yang begitu lapuk, sehingga dengan mudah akan diterbangkan angin. Tetapi angin mati di lokasi ini. Tiga orang anak, dua wanita dan satu pria kecil, mungkin sekitar tujuh atau delapan tahun, kulihat sedang bermain. Atau bekerja. Entahlah. Mereka sedang menggali tanah yang nampak keras bagai batu. Dengan menggunakan sekop kecil. Tidak ada orang dewasa. Tidak ada ayah. Tidak ada ibu. Mereka bertiga, seolah muncul begitu saja dari dalam tanah. Dan menjadi penghuni yang langka di tempat gersang ini.

    Kendaraan kami yang meluncur cepat, tidak banyak menyajikan kenangan atas apa yang telah kami lewati. Tetapi, wajah ceria anak-anak itu sedemikian mengesankan diriku. Dalam waktu hanya sepersekian menit, aku mendengar tawa mereka. Dalam bahasa daerah setempat, mereka ngobrol. Dan tertawa. Ah, tawa di tengah suasana tandus itu amat menusuk hatiku. Kami melihat mereka dengan perasaan beragam. Seseorang berkata, betapa orangtua anak-anak itu tidak bertanggung-jawab telah membiarkan mereka bekerja di tengah terik yang membakar bumi. Seseorang lain menyatakan bahwa anak-anak itu pasti anak nakal karena tidak mau mendengarkan orang tua mereka. Seseorang lain menyayangkan situasi mereka yang sedemikian terhimpit oleh kemiskinan sehingga anak sendiri terlantar tanpa penjagaan. Khas pendapat orang-orang dari kota besar yang mungkin setiap minggu atau hari libur membawa anak-anak mereka ke Mall. Untuk menikmati makanan cepat saji. Atau bermain dengan mesin-mesin otomatis. Tetapi ketiga anak itu tidak peduli pada kami. Bahkan melihat pun tidak. Dan kami melewati mereka dengan cepat. Kami melintasi bumi yang tandus ini, mungkin ikut prihatin dengan suasana demikian, tetapi toh kami bukan bagian dan tidak pernah menjadi bagian dari tanah itu. Sekejap mereka hilang dari pandangan kami. Di depan, jalan masih membentang jauh. Jauh.

    Dengan perasaan gundah, aku mengenang kembali ketiga anak itu. Tangan-tangan kecil mereka yang memegang sekop, nampak ringkih. Tetapi tawa dan suara mereka menyengat hatiku. Mereka, ah, tahukah mereka bahwa di kota, teman-teman seusia mereka, saat itu mungkin sedang ditemani sebuah alat kecil sambil memandang kotak kaca, bermain dengan mimik amat serius. Dan tanpa tawa. Ya, tawa nampaknya sedemikian jarang lagi kita temukan pada wajah anak-anak yang bisa enak dalam ruang berpengatur udara di rumah di kota. Sedangkan ketiga anak ini, di tengah alam yang demikian terik dapat saling bercanda sambil melupakan keringat yang bercucuran pada tubuh mereka. Suatu kontras yang tajam. Mereka bermain. Atau bekerja. Atau bermain sambil bekerja. Hidup, bagi kita yang melihat dari jauh, terasa begitu asing, bagi mereka adalah keseharian yang lumrah. Sama seperti rengekan anak-anak kita untuk ke Mall setiap liburan tiba.

    Memang, mengetahui hidup tidak akan pernah sama dengan mengalami hidup. Kita tidak akan pernah berhasil jika hanya ingin menerapkan teori yang kita pikir benar jika kita sendiri tidak menyesuaikan diri dengan kenyataan. Hidup pada akhirnya bukan teori. Hidup adalah mengalami. Dan menikmatinya. Seberat dan sepahit apapun itu, kita tak akan merasakan sebagai beban jika kita tahu dan sadar bahwa itulah kenyataan yang sesungguhnya. Dan sama seperti ketiga anak itu, kita tetap dapat tersenyum, bahkan tertawa menikmati penderitaan kita. Sebab apakah artinya penderitaan, jika kita tahu bahwa kenyataan itu adalah satu-satunya hal yang kita alami sekarang? Dengan mengeluh, dengan memandang iri kebahagiaan orang-orang lain yang bagi kita hidup mereka mungkin terasa lebih bahagia, kita akan tersungkur dalam kesalahan persepsi tentang hidup itu sendiri. Sebab, apakah sungguh bahwa hidup anak-anak kita, yang sedemikian terkungkung dalam tembok kamar, walau sejuk, namun kehilangan keceriaan antar sesama? Bahwa mereka terpaksa harus ngobrol dengan mesin yang tidak memiliki inspirasi. Mesin yang hanya bisa menerima dan menjalankan perintah-perintah yang terkadang amat absurd? Dan, apakah memang kesenangan mereka untuk menikmati suasana Mall dengan berbelanja bersama orang tuanya, jauh lebih berarti bagi hidup mereka daripada tawa riang mereka bersama teman-teman seusia mereka sendiri? Maka tidak heran, jika pada akhirnya anak-anak kita akan kehilangan rasa kesetiakawanan dengan sesama mereka. Mereka akan tumbuh dalam dunia kepentingan diri dan keluarganya sendiri. Dan pada akhirnya, anak-anak kita tidak lagi memiliki inisiatip karena setiap saat hanya memberi perintah kepada alat-alat permainan otomatis mereka yang tidak pernah berpikir sendiri. Anak-anak di kota sering hanya menemukan diri mereka pada kepentingan dirinya sendiri sedang anak-anak di pedalaman mungkin jauh lebih peka pada kepentingan lingkungan dan sesama mereka.

    Perjalanan masih panjang. Dan dalam perjalanan ini, bus kami melaju dengan cepat. Kenangan datang dan pergi. Pemandangan di luar masih tetap gersang dan tandus. Namun aku tenggelam dalam renunganku sendiri. Betapa hidup itu tidak mudah untuk diselami. Betapa kita juga sering merasa tandus di dalam jiwa kita saat kita hanya mampu memandang semua hal dari jendela pikiran kita saja. Dan tak mampu memahami situasi yang sungguh berbeda dengan situasi kita sendiri. Hidup, memang untuk dialami, bukan ditatap. Dengan demikian barulah kita akan mampu saling memahami satu sama lain. Tanpa itu, kita tetap akan menjadi penonton dari balik kendaraan yang melaju cepat. Melihat tetapi tidak mengalami. Mengetahui tetapi gagal memahami. Debu mengepul di belakang kendaraan kami. Debu mengepul yang kami tinggalkan bagi ketiga anak-anak itu. Tetapi tawa mereka jelas terdengar. Tawa yang polos tanpa derita di tengah bumi yang demikian kering ini......

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...