01 Februari 2008

DRAMA TOPENG

    Topeng. Kadang lucu. Kadang menggemaskan. Kadang menakutkan. Ada topeng yang menyembunyikan wajah ceria. Kesenangan di balik keluhan. Ada topeng yang menyembunyikan wajah duka. Kepahitan di balik senyum. Ada pula yang menyembunyikan ambisidan nafsu. Nampak ramah. Nampak baik. Tetapi di baliknya tersembunyilah senyum sinis. Kejam. Munafik. Manusia hidup bersama topeng-topengnya. Lain laku lain hati. Lain kata lain perbuatan. Lantas, mau apa lagi?

    Kasih. Perasaan hati. Kerinduan insani pada kebenaran. Pada keadilan. Tetapi kadang khawatir menghadapi kejujuran. Kasih, kadang dimanfaatkan untuk mematikan kebenaran. Mematikan keadilan. Satu realitas yang disembunyikan di balik topeng kasih. Demi hak asasi. Demi tidak merusak kemapanan. Namun, adakah keadilan bagi sang korban? Adakah kebenaran bagi yang menderita? Suatu realitas mempunyai dua sisi: sang subyek dan sang obyek. Dan bila sang subyek dilindungi atas alasan kasih, apakah sang obyek cuma seonggok benda mati yang tak berharga? Mengapa jika sang obyek menyatakan kerisauannya, mengeluarkan kegusarannya, mereka mesti disalahkan? Apakah kepekaan terhadap realitas memang telah pupus? Lantas, mau apa lagi?

    Kita. Berjuang untuk tetap hidup. Tetap bertahan. Dalam kesibukan menghidupi hidup, kita sering mengabaikan realitas. Atau tidak memperdulikan realitas. Apapun yang terjadi, selama tidak bersinggungan dengan kepentingan kita, hanyalah omong kosong. Kita adalah pelakon. Sang aktor. Yang selebihnya cuma penonton. Saksi bisu. Tanpa hak suara. Keadilan dibantai. Tersobek-sobek sering oleh ulah kita. Tetapi merekalah yang salah. Bukan kita. Karena kitalah sang kebenaran. Lantas, mau apa lagi?

    Dunia memang panggung sandiwara. Selalu ada batas antara pelakon dan penonton. Satu jarak. Satu tirai tebal. Satu keterasingan. Manusia. Pelakon. Penonton. Batas. Topeng. Drama. Demi kasih, keadilan dibantai. Tragedi pengabaian terhadap realitas. Maka Tuhan pun disalibkan kembali. Setiap saat. Setiap waktu. Kita tetap tidak peduli. Walau ada bayang gelap mengancam. Walau ada kemarahan yang siap meledak. Kita hanya diam. Kita tetap diam. Diam. Lantas, mau apa lagi?

    Hidup memang takkan pernah sempurna. Maka kutertawai diri sambil menyiulkan 'Que Sera Sera'. Sambil mengunyah kacang garing. Aku mau tidur enak malam ini. Dan bermimpi. Dan tak bermimpi. Sama saja. 'Whatever will be will be'. Mau apa lagi? The show must go on…..

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...