21 Desember 2008

DI BAWAH DERETAN BALIHO

Mendung menutup langit. Dan kendaraan yang lewat bergegas bagai kilat. Deretan baliho nampak berjejer di sepanjang jalan. Gambar para caleg yang sedang menjajakan diri. Dengan berbalut jas, rapi, dan wajah yang nampak ceria. Slogan-slogan tentang kesejahteraan masyarakat jika terpilih. Dan dibawah deretan baliho-baliho itu, nampak berjongkok beberapa buruh kecil. Menanti pekerjaan. Adakah harapan untuk hidup hari ini? Dengan pakaian sederhana dan seadanya. Dengan wajah sedikit muram. Mendung sedang menyiapkan hujan.

Dua orang gadis cilik muncul, entah dari mana, menghampiriku sambil menawarkan lembaran koran pagi. Lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Dan di lembaran koran pagi itu, nampak tertulis dengan huruf-huruf yang menyolok mata: HARGA PREMIUN TURUN LAGI. Dan TARIF AKDP SULIT TURUN. Lalu, kembali aku memandang ke arah deretan baliho yang menawarkan banyak kesejahteraan jika saja caleg itu kelak terpilih. Para buruh yang berjejeran kian banyak di sepanjang jalan. Anak-anak kecil yang menawarkan koran pagi. Kendaraan-kendaraan yang meilntas bagai kilat. Gerimis tiba-tiba turun.

Aku memandang ke sekelilingku, berpikir betapa segala hal yang seharusnya berhubungan, kini sama sekali asing satu sama lain. Bagaikan kami yang melintas lewat di jalan ini, melihat segala kemiskinan dan kesengsaraan tanpa merasa sungguh-sungguh merasa bahwa itu semua ada dan nyata. Kita masing-masing hidup di dunia kita. Sambil sesekali beriklan, menjajakan diri, atas nama kemajuan dan kesejahteraan masyarakat tetapi ternyata hanya demi untuk kehidupan dan kesejahteraan kita saja. Kita adalah para pengendara yang melintas dengan cepat demi untuk menghindari hujan yang akan datang, tanpa pernah sadar bahwa ada banyak sesama kita yang terpaksa harus duduk tanpa pernah peduli tubuh mereka yang basah diguyur hujan. Karena menghindar berarti kehilangan kesempatan untuk hidup sehari. Kehilangan kesempatan untuk mendapatkan sesuap nasi bagi diri mereka dan keluarga mereka. Hujan mulai turun.

Dan kedua gadis cilik itu, tanpa mantel, hanya setumpuk koran yang dijajakannya terbungkus plastik transparan, tetap berdiri sambil memandang penuh harap pada kami, deretan pengendara yang berhenti saat lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Mereka berdiri di bawah sebuah baliho besar dengan tubuh yang kuyup. Wajah mereka, yang ayu, basah dipenuhi air hujan. Tiba-tiba, aku berpikir, air hujankah itu? Atau ada air mata yang tak bisa lagi kita kenali karena terselubung bersama air hujan? Lampu hijau menyala dan aku pun lewat tanpa pernah dapat mengetahui jawabannya. Hujan kian deras mengguyur kota ini. Semakin deras.......

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...