27 Desember 2008

D

Apa itu derita? Apa itu luka hati? Apa itu kekecewaan? Hasrat yang tak terpuaskan? Cita-cita yang tak teraih? Harapan-harapan yang tak terwujud? Rasa sakit dan kemarahan karena merasa telah dihancurkan hidup ini? Siapa yang telah merengek-rengek terus? Mengeluh dan berputus asa karena telah disia-siakan? Siapa pula yang dapat mengatakan bahwa dirinya menanggung kebenaran mutlak yang harus dia tegakkan? Bahkan walau harus mengurbankan orang lain dan dirinya sendiri? Siapakah kita? Siapa?

Dia teringat saat-saat lalu, ketika secara mendadak sekelompok pria menyerangnya. Saat itu usianya baru memasuki tahun yang ke enam belas. Dengan ganas, mereka menyobek bajunya, meremas tubuhnya, menggilirnya satu per satu, meludahinya setelah itu dan kemudian meninggalkannya seorang diri, terengah-engah dalam tangis dan ketidak-berdayaan. Orang-orang itu, siapakah mereka? Mungkin mereka adalah seorang ayah yang baik dan ramah, Seorang bapak yang mencintai anak-anaknya, seorang pria yang tegas dan teguh membela kebenarannya, seorang manusia yang rajin beribadat dan takwa percaya sepenuhnya kepada Sang Pencipta. Dia tidak tahu. Dia sama sekali tidak tahu.

Huru hara berlangsung di seluruh kota. Dan negeri. Dia tak pernah memikirkan persoalan-persoalan itu. Dia hidup dalam lingkungan yang tenang, dan tak pernah terlibat dalam kerusuhan apapun. Namun kebengisan menjamahnya dengan sekali sentak. Dan dalam ketak-tahuannya mengenai urusan manusia, sekaligus dia dibenamkan dalam kebuasan dan keberingasan manusia. Secara cepat, keras dan tak mengenal ampun. Dia menangis. Dia berteriak. Dia ingin memberontak. Tapi siapa peduli? Di dunia yang hanya dimiliki oleh yang kuat-kuasa-kaya ini, dia hanya setitik debu yang tak patut untuk diperhatikan. Sama sekali tak patut. Karena dia bukan siapa-siapa. Bukan siapa-siapa.

Hujan sedang mendera kota. Dan sepuluh tahun lewat sejak peristiwa tragis itu. Dia duduk di ruang sempit dalam ruang kaca. Dengan wajah berpoles tebal. Dia melemparkan senyum kepada semua pria yang datang menghampirinya. Senyum merekah di bibirnya yang merah menyala. Tetapi wajahnya beku. Beku. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang panjang. Tapi tak bisa dikatakan singkat pula. Setelah peristiwa itu, dia dirawat di sebuah rumah sakit swasta. Dia hamil. Dia menghadapi pergolakan batin saat membuat rencana untuk menggugurkan bayinya. Tapi akhirnya tak dilakukannya. Dia menghadirkan seorang manusia baru di dunia yang keras ini. Seorang bayi laki-laki. Karena merasa malu, keluarganya mengucilkannya. Dia lalu pergi dari kotanya. Memasuki suatu kehidupan baru bersama anaknya. Dan berupaya untuk hidup dan membiayai anaknya. Yang tak punya bapak. Dia tidak menikah. Hidup di sebuah rumah kost sederhana, dia menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah negeri. Sementara biaya hidup semakin mencekik, dia tidak punya modal apa-apa. Ijazah yang dimilikinya hanya sampai SMP. Dia hanya punya tubuhnya. Ya, hanya tubuhnya untuk modal kehidupannya. Maka dia bekerja di dunia hiburan. Berupaya untuk memberi kesenangan kepada para pria. Pria yang tak pernah mau dia kenali. Pria yang mungkin seorang ayah yang baik, bapak yang mencintai anak-anaknya, pria yang rajin beribadat. Pria, manusia sesamanya.

Hujan sedang mendera kota. Dan dia sedang duduk di ruang tunggu. Menanti kedatangan seorang pria yang tak pernah dikenalinya. Seorang pria yang akan diberikannya kesenangan hidup. Dan memberikannya kesempatan hidup. Lalu secara mendadak, seperti dahulu, sekelompok pria datang menyerbu tempatnya mencari kesempatan untuk melanjutkan hidupnya. Mereka menyerbu masuk, mengobrak-abrik tempat itu, menariknya berdiri lalu menendang punggungnya hingga dia terjerembab. Dan kemudian beberapa wanita dengan liar membentaknya, menempiling pipinya dan menjambak rambutnya sambil berseru: "Pelacur! Pelacur hina!" Mereka meludahinya. Dia. Ya, dia yang terkapar di tanah, di bumi yang sama memberikan kesempatan hidup bagi semua orang, hanya bisa tersedu-sedu. Tak berdaya sama sekali. Tak berdaya untuk melawan. Tak berdaya. Sebab, siapakah dia? Siapa?

Apa itu derita? Apa itu sakit hati? Apa itu kesengsaraan? Apa itu kekecewaan? Mengapa kita bisa merasa hebat dalam kebebalan? Mengapa kita harus merasa memiliki kebenaran atas nama Sang Pencipta? Mengapa? Hujan sedang mendera kota. Dan seperti biasa, hujan akan membasahi siapa saja, yang merasa benar dan yang merasa bersalah. Tapi yang pasti adalah, hujan akan menyembunyikan airmatanya dari pandangan orang-orang. Maka dia lari ke dalam hujan. Dan airmatanya lenyap bersama cucuran air hujan yang membasahi wajahnya. Maka dia pun pasrah. Dan tersenyum pada dunia. Ah, siapakah kita ini, saudaraku? Siapakah kita ini? Siapa?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...