Berapa banyakkah anak yang mampu memancarkan terangnya? |
Di suatu pagi yang cerah.
Jauh di pedalaman. Belasan anak nampak bermain di tengah tanah lapang
yang berdebu. Di atas rerumputan kering, mereka berlarian sambil
meneriakkan kata-kata yang tak jelas artinya. Wajah-wajah yang
kekanakan, penuh dengan senyum dan tawa, seakan hidup sama sekali
tidak memiliki beban apapun juga. Wajah-wajah yang murni walau dengan
pakaian yang seadanya. Bahkan beberapa terlihat kumal. Betapa
mengagumkan. Betapa menyejukkan hati. Dan aku terpana sejenak
memandang satu per satu wajah-wajah itu. Sungguh terasa dekat tetapi
juga sangat jauh. Jauh dan asing. Tak terpahami.
Siapakah mereka? Apakah
yang mereka angankan? Seberapa banyakkah yang telah mereka pelajari
dalam kehidupan ini? Sudah bersekolahkah mereka? Tiba-tiba aku
memikirkan jutaan anak di negari ini yang seusia dengan mereka.
Jutaan anak yang penuh dengan kepolosan hati, kejujuran dan
keceriaan, bakat-bakat awal yang belum terasah. Pikirkanlah berapa
banyak dari antara mereka yang memiliki otak yang cemerlang tetapi
gagal untuk berkembang, bukan karena mereka tak mau tetapi karena
kondisi yang tidak memberi peluang sama sekali bagi mereka? Di tengah
mahalnya pendidikan yang tidak mampu mereka raih. Ada perasaan sedih
dan pahit jika kita menyadari betapa banyaknya bakat-bakat yang luar
biasa pada akhirnya tersia-sia begitu saja. Mereka, calon-calon bunga
kemanusiaan yang mungkin akan layu sebelum mampu mekar sepenuhnya.
Sebelum mampu berbuah yang mungkin berguna bagi alam semesta.
Demikian pula saat
memikirkan para calon pemimpin di negeri ini. Para calon pemimpin
yang hanya bisa unggul jika memiliki dana. Pada akhirnya, pemimpin
bukanlah mereka yang sanggup dan layak tetapi pemimpin adalah mereka
yang mampu dan memiliki kekayaan sehingga dapat membayar apa saja
untuk kepentingannya sendiri. Ada yang terasa salah disini. Tetapi
hidup berjalan terus. Dan kita sadar bahwa sering kita tidak mampu
berbuat apa-apa bukan karena kita tidak berusaha. Tetapi karena kita
tidak mampu untuk membeli peluang itu. Padahal, peluang seharusnya
tidak dapat dibeli dengan uang tetapi dengan bakat, kemampuan dan
kepandaian. Seharusnya, siapa yang memiliki kemampuan dan bakat,
pantas untuk mendapatkan peluang itu. Peluang bukan untuk dibeli
dengan uang, tetapi diperjuangkan dengan kepandaian yang
dianugerahkan Sang Pencipta kepada mereka secara khas dan unik.
Maka kembali saat aku
melihat ke belasan wajah mungil yang sedang berkeliaran di lapangan
berdebu jauh di daerah pedalaman ini, aku memikirkan betapa banyaknya
bakat-bakat yang seharusnya menghasilkan sesuatu yang mengagumkan
bagi dunia pada akhirnya pupus hanya karena mereka tidak punya
kesempatan sama sekali untuk membayar pengetahuan sebagai dasar
mengembangkan bakat-bakat mereka. Dan betapa banyaknya calon pemimpin
yang seharusnya mampu untuk berkarya bagi negeri ini pada akhirnya
harus gagal karena tidak memiliki dana untuk membayar peluang itu.
Maka aku memikirkan,
betapa indahnya jika peluang dan kesempatan seharusnya tidak dapat
dibeli dengan kekayaan-kekuasaan-kekuatan tetapi harus diperjuangkan
dengan bakat-kemampuan-kepandaian yang layak. Dengan demikian, mereka
yang tak punya dana sekali pun, tetap mampu untuk memberikan
sumbangannya bagi kehidupan semesta. Dan bakat yang dimilikinya tidak
pada akhirnya hanya terpuruk sia-sia begitu saja. Sebab, sungguh
sayang jika anugerah yang seharusnya dapat memberikan sumbangan bagi
kemanusiaan sirna tanpa makna sama sekali. Tetapi bisakah itu
terjadi? Bisakah?
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar