04 September 2012

CALON

Berapa banyakkah anak yang mampu
memancarkan terangnya?

Di suatu pagi yang cerah. Jauh di pedalaman. Belasan anak nampak bermain di tengah tanah lapang yang berdebu. Di atas rerumputan kering, mereka berlarian sambil meneriakkan kata-kata yang tak jelas artinya. Wajah-wajah yang kekanakan, penuh dengan senyum dan tawa, seakan hidup sama sekali tidak memiliki beban apapun juga. Wajah-wajah yang murni walau dengan pakaian yang seadanya. Bahkan beberapa terlihat kumal. Betapa mengagumkan. Betapa menyejukkan hati. Dan aku terpana sejenak memandang satu per satu wajah-wajah itu. Sungguh terasa dekat tetapi juga sangat jauh. Jauh dan asing. Tak terpahami.

Siapakah mereka? Apakah yang mereka angankan? Seberapa banyakkah yang telah mereka pelajari dalam kehidupan ini? Sudah bersekolahkah mereka? Tiba-tiba aku memikirkan jutaan anak di negari ini yang seusia dengan mereka. Jutaan anak yang penuh dengan kepolosan hati, kejujuran dan keceriaan, bakat-bakat awal yang belum terasah. Pikirkanlah berapa banyak dari antara mereka yang memiliki otak yang cemerlang tetapi gagal untuk berkembang, bukan karena mereka tak mau tetapi karena kondisi yang tidak memberi peluang sama sekali bagi mereka? Di tengah mahalnya pendidikan yang tidak mampu mereka raih. Ada perasaan sedih dan pahit jika kita menyadari betapa banyaknya bakat-bakat yang luar biasa pada akhirnya tersia-sia begitu saja. Mereka, calon-calon bunga kemanusiaan yang mungkin akan layu sebelum mampu mekar sepenuhnya. Sebelum mampu berbuah yang mungkin berguna bagi alam semesta.

Demikian pula saat memikirkan para calon pemimpin di negeri ini. Para calon pemimpin yang hanya bisa unggul jika memiliki dana. Pada akhirnya, pemimpin bukanlah mereka yang sanggup dan layak tetapi pemimpin adalah mereka yang mampu dan memiliki kekayaan sehingga dapat membayar apa saja untuk kepentingannya sendiri. Ada yang terasa salah disini. Tetapi hidup berjalan terus. Dan kita sadar bahwa sering kita tidak mampu berbuat apa-apa bukan karena kita tidak berusaha. Tetapi karena kita tidak mampu untuk membeli peluang itu. Padahal, peluang seharusnya tidak dapat dibeli dengan uang tetapi dengan bakat, kemampuan dan kepandaian. Seharusnya, siapa yang memiliki kemampuan dan bakat, pantas untuk mendapatkan peluang itu. Peluang bukan untuk dibeli dengan uang, tetapi diperjuangkan dengan kepandaian yang dianugerahkan Sang Pencipta kepada mereka secara khas dan unik.

Maka kembali saat aku melihat ke belasan wajah mungil yang sedang berkeliaran di lapangan berdebu jauh di daerah pedalaman ini, aku memikirkan betapa banyaknya bakat-bakat yang seharusnya menghasilkan sesuatu yang mengagumkan bagi dunia pada akhirnya pupus hanya karena mereka tidak punya kesempatan sama sekali untuk membayar pengetahuan sebagai dasar mengembangkan bakat-bakat mereka. Dan betapa banyaknya calon pemimpin yang seharusnya mampu untuk berkarya bagi negeri ini pada akhirnya harus gagal karena tidak memiliki dana untuk membayar peluang itu.

Maka aku memikirkan, betapa indahnya jika peluang dan kesempatan seharusnya tidak dapat dibeli dengan kekayaan-kekuasaan-kekuatan tetapi harus diperjuangkan dengan bakat-kemampuan-kepandaian yang layak. Dengan demikian, mereka yang tak punya dana sekali pun, tetap mampu untuk memberikan sumbangannya bagi kehidupan semesta. Dan bakat yang dimilikinya tidak pada akhirnya hanya terpuruk sia-sia begitu saja. Sebab, sungguh sayang jika anugerah yang seharusnya dapat memberikan sumbangan bagi kemanusiaan sirna tanpa makna sama sekali. Tetapi bisakah itu terjadi? Bisakah?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...