Menjelang
fajar merupakan saat-saat terindah dalam hidupku. Langit yang belum
lagi terang, udara yang masih terasa dingin, kabut yang sesekali
muncul dan bintang-bintang yang masih menampakkan dirinya. Semuanya
membawa ketenangan dan kedamaian dalam hatiku. Menjelang fajar adalah
puisi bagi jiwaku. Dan sebagai puisi, aku merenungkan keindahannya
demi menemukan makna keberadaanku di dunia ini.
Sesekali kudengar
nyanyian keindahan alam. Sesekali kudendangkan lagu yang sendu.
Sesekali merasa asing dan merana. Terasa jauh terkucil dari keramaian
dunia. Menyerap segala kesenyapan dari alam. Dan mengosongkan kembali
pikiranku dari segala macam persoalan yang mengusik hidup. Inilah
aku, yang menjadi bagian dari alam dalam satu noktah debu saja.
Membayangkan saat aku menengok ke google earth, mencari lokasiku saat
ini, lalu pelan-pelan menarik mouse untuk mencakup bola bumi. Betapa
kecilnya aku. Betapa aku hanya titik yang tak berarti di keluasan
alam semesta ini.
Namun, di dalam hatiku,
aku adalah dunia yang sesungguhnya. Di dalam perasaanku, dunia adalah
sesuatu yang menetap dan menjadi pusat kehidupan. Dan di dalam
pikiranku, aku menjadi ada dan menjadi sumber dari pengalaman atas
derita atau kebahagiaan alam semesta ini. Aku. Yang hanya senoktah
debu di keluasan alam semesta yang tak terselami, betapa sering
merasa tak mampu menyelami diriku sendiri. Dengan kepastian dan
kekacauanku. Dengan kebimbangan dan keyakinanku. Rapuh namun merasa
kuat. Tak berarti namun penuh makna. Terkucil sekaligus membaur.
Menjelang fajar adalah
saat-saat terindah dalam hidupku. Saat terang belum lagi mengusir
kegelapan, saat bintang masih berbinar-binar, saat udara masih terasa
sejuk. Bersama keheningannya aku merasa damai. Karena dapat merenungi
hidup ini. Karena punya kesempatan untuk mengenal diri sendiri.
Karena alam semesta terasa demikian damai. Dan indah memukau.
Sehingga sesekali aku bisa mengidungkan lagu yang membuat jiwaku
melayang tinggi. Mengembara hingga ke ujung-ujung yang jauh dan
asing. Ke ujung yang tak terjelajahi saat keriuhan mengusik dan udara
sesak oleh suara riuh.
Dalam keheningan, kata
selalu kehilangan makna. Dalam keheningan, dapatlah kutemukan diriku
yang nyata. Dalam keheningan, siapakah aku selain dari bagian dari
alam semesta yang tak terbatas? Alam semsta yang tak memiliki waktu.
Sementara diri ini ada dalam keterbatasan yang pasti. Aku mencari
tetapi sering tak menemukan. Aku memperebutkan sesuatu yang sering
akhirnya tak punya arti apa-apa saat memilikinya. Tetapi memang,
kepuasan hanya sesaat saja. Karena yang terpenting, bukan apa yang
harus kumiliki, tetapi bagaimana aku memperjuangkannya. Demikianlah
adanya hidup ini. Demikianlah adanya.
Menjelang fajar adalah
sebuah puisi yang indah. Dengan kalimat tanpa kata. Dengan nyanyian
tanpa nada. Karena akulah kata sekaligus nada yang diharapkan untuk
mengisi dan memaknai keberadaannya. Maka hidup ini berarti selama aku
menghargai dan mau menikmati keheningan alam yang memukau ini.
Bagaikan galaksi yang sendirian menjelajahi semsta luas, aku
sendirian tetapi tidak seorang diri. Merasakan betapa kehidupan
menjadi sahabat yang intim tetapi sekaligus terasa asing. Sebuah pusi
yang indah namun bisa berubah menjadi prosa yang panjang dan
melelahkan.
Dan sesaat setelah
matahari pagi menyembulkan dirinya, sadarlah aku bahwa hidup harus
dijalani. Bukan hanya dirasakan. Bahwa hidup harus dialami. Bukan
sekedar dipikirkan. Bahwa pagi telah membawa prosa panjang yang
meninggalkan keheningan dengan puisinya yang lembut itu. Prosa yang
terkadang menjemukan tetapi tetap menjadi bagian dari kehidupan ini
sendiri. Pagi tiba dengan denyut keriuhannya. Dan hiduppun berlanjut
terus. Terus. Sampai waktu kehidupan ini usai. Tetapi tak berujung.
Hari lain masih menunggu. Menjelang fajar lain masih akan datang. Dan
aku hanya mampu untuk menunggu. Menunggu.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar