13 September 2012

MENJELANG FAJAR


Menjelang fajar merupakan saat-saat terindah dalam hidupku. Langit yang belum lagi terang, udara yang masih terasa dingin, kabut yang sesekali muncul dan bintang-bintang yang masih menampakkan dirinya. Semuanya membawa ketenangan dan kedamaian dalam hatiku. Menjelang fajar adalah puisi bagi jiwaku. Dan sebagai puisi, aku merenungkan keindahannya demi menemukan makna keberadaanku di dunia ini.

Sesekali kudengar nyanyian keindahan alam. Sesekali kudendangkan lagu yang sendu. Sesekali merasa asing dan merana. Terasa jauh terkucil dari keramaian dunia. Menyerap segala kesenyapan dari alam. Dan mengosongkan kembali pikiranku dari segala macam persoalan yang mengusik hidup. Inilah aku, yang menjadi bagian dari alam dalam satu noktah debu saja. Membayangkan saat aku menengok ke google earth, mencari lokasiku saat ini, lalu pelan-pelan menarik mouse untuk mencakup bola bumi. Betapa kecilnya aku. Betapa aku hanya titik yang tak berarti di keluasan alam semesta ini.

Namun, di dalam hatiku, aku adalah dunia yang sesungguhnya. Di dalam perasaanku, dunia adalah sesuatu yang menetap dan menjadi pusat kehidupan. Dan di dalam pikiranku, aku menjadi ada dan menjadi sumber dari pengalaman atas derita atau kebahagiaan alam semesta ini. Aku. Yang hanya senoktah debu di keluasan alam semesta yang tak terselami, betapa sering merasa tak mampu menyelami diriku sendiri. Dengan kepastian dan kekacauanku. Dengan kebimbangan dan keyakinanku. Rapuh namun merasa kuat. Tak berarti namun penuh makna. Terkucil sekaligus membaur.

Menjelang fajar adalah saat-saat terindah dalam hidupku. Saat terang belum lagi mengusir kegelapan, saat bintang masih berbinar-binar, saat udara masih terasa sejuk. Bersama keheningannya aku merasa damai. Karena dapat merenungi hidup ini. Karena punya kesempatan untuk mengenal diri sendiri. Karena alam semesta terasa demikian damai. Dan indah memukau. Sehingga sesekali aku bisa mengidungkan lagu yang membuat jiwaku melayang tinggi. Mengembara hingga ke ujung-ujung yang jauh dan asing. Ke ujung yang tak terjelajahi saat keriuhan mengusik dan udara sesak oleh suara riuh.

Dalam keheningan, kata selalu kehilangan makna. Dalam keheningan, dapatlah kutemukan diriku yang nyata. Dalam keheningan, siapakah aku selain dari bagian dari alam semesta yang tak terbatas? Alam semsta yang tak memiliki waktu. Sementara diri ini ada dalam keterbatasan yang pasti. Aku mencari tetapi sering tak menemukan. Aku memperebutkan sesuatu yang sering akhirnya tak punya arti apa-apa saat memilikinya. Tetapi memang, kepuasan hanya sesaat saja. Karena yang terpenting, bukan apa yang harus kumiliki, tetapi bagaimana aku memperjuangkannya. Demikianlah adanya hidup ini. Demikianlah adanya.

Menjelang fajar adalah sebuah puisi yang indah. Dengan kalimat tanpa kata. Dengan nyanyian tanpa nada. Karena akulah kata sekaligus nada yang diharapkan untuk mengisi dan memaknai keberadaannya. Maka hidup ini berarti selama aku menghargai dan mau menikmati keheningan alam yang memukau ini. Bagaikan galaksi yang sendirian menjelajahi semsta luas, aku sendirian tetapi tidak seorang diri. Merasakan betapa kehidupan menjadi sahabat yang intim tetapi sekaligus terasa asing. Sebuah pusi yang indah namun bisa berubah menjadi prosa yang panjang dan melelahkan.

Dan sesaat setelah matahari pagi menyembulkan dirinya, sadarlah aku bahwa hidup harus dijalani. Bukan hanya dirasakan. Bahwa hidup harus dialami. Bukan sekedar dipikirkan. Bahwa pagi telah membawa prosa panjang yang meninggalkan keheningan dengan puisinya yang lembut itu. Prosa yang terkadang menjemukan tetapi tetap menjadi bagian dari kehidupan ini sendiri. Pagi tiba dengan denyut keriuhannya. Dan hiduppun berlanjut terus. Terus. Sampai waktu kehidupan ini usai. Tetapi tak berujung. Hari lain masih menunggu. Menjelang fajar lain masih akan datang. Dan aku hanya mampu untuk menunggu. Menunggu.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...