“Kau hendak mengenal Tuhan? Maka
janganlah kau menjadi pemecah persoalan. Seyogyanya kau pandang
sekelilingmu dahulu, dan di situ, kau akan melihat Tuhanmu, sedang
bermain dengan anak-anakmu.”
(Sang Nabi – Kahlil Gibran)
“Bila kalian menggunakan pujian
atau celaan untuk membeda-bedakan, itu berarti, kalian membuat
berhala-berhala pujaan.”
(Musyawarah Burung –
Faridu’d-din Attar)
Pernahkah kita, yang meyakini
keberadaan Tuhan, merenungkan mengapa demikian banyak warna di dunia
ini? Mengapa demikian banyak perbedaan di antara kita? Mengapa harus
ada kejahatan, keburukan dan penderitaan di sekeliling kita? Mengapa
Dia, yang kita percayai sebagai sumber kebaikan sering terasa
mengabaikan dan membiarkan kekacauan terjadi? Mengapa? Mungkinkah
karena banyak dari antara kita yang lebih menyukai kata daripada
makna?. Lebih menyayangi lambang daripada laku? Lebih mencintai diri
kita daripada Sang Pencipta sendiri? Karena memang, jauh lebih sulit
untuk beriman daripada beragama. Jauh lebih sulit untuk berpikir dan
memahami daripada bertindak dan mengikuti apa saja yang dijejalkan
kepada kita. Jauh lebih sulit untuk berpikir dan belajar daripada
sekedar mengikuti perasaan dan ambisi kita.
Padahal, jika kita sadar bahwa kita
semua hanyalah mahluk ciptaan yang setara, mahluk ciptaan yang
mempunyai kelemahan dan kekuatannya masing-masing, mahluk ciptaan
yang bukan hanya memiliki kemampuan untuk merasakan saja tetapi juga
untuk belajar memahami, kita akan menyadari bahwa kita semua
seharusnya mengenal dunia ini sama seperti kita sendiri mengenal diri
kita. Tetapi toh, betapa seringnya kita juga tak mampu untuk mengenal
dan memahami diri kita sendiri. Jika demikian, mengapa kita bisa
merasa tahu dan mengenal sesama kita? Bahkan merasa tahu dan memahami
Sang Pencipta? Sebab, bukankah jika kita merasa tahu dan menahami
Sang Pencipta kita, seharusnya kita juga sadar dan paham mengapa Dia
membuat begitu banyak perbedaan diantara ciptaan-Nya sendiri.
Tidakkah demikian?
Jadi, jika Sang Pencipta membuat
demikian banyak perbedaan, itu semua pasti bukan ketidak-sengajaan
karena jika demikian, artinya Dia tidak mampu untuk membuat segala
sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Tidak. Keaneka-ragaman diantara
kita sesungguhnya adalah anugerah yang dikaruniakan kepada kita agar
kita semua mampu menyadari kehidupan ini. Walau keseragaman nampak
seakan baik dan sesuai dengan harapan kita, itu tidaklah berarti
bahwa keseragaman sesuai dengan keinginan-Nya. Sebagai ciptaan, kita
masing-masing punya hak untuk mencari dan mencintai Sang Pencipta
dengan apa yang kita pahami. Bukankah musik yang indah tak mungkin
tercipta dari nada tunggal? Dan bukankah kita akan kehilangan segala
daya kehidupan jika kita tidak memiliki perbedaan dalam cara hidup
kita?
Maka kekerasan hingga perang
sesungguhnya terjadi bukan karena kehendak Sang Pencipta tetapi
karena kehendak dan egoisme kita sendiri. Terkadang untuk kenyamanan
dan kebanggaan kita. Terkadang bahkan karena kita merasa tahu apa
yang menjadi pikiran Sang Pencipta. Dan sementara kita terus
bertanya-tanya mengapa harus ada perbedaan, kita lalai untuk mencoba
merenungkan mengapa harus tidak? Renungkanlah seandainya yang ada
hanya kebaikan, hanya ada keseragaman pikir, bahkan hanya ada
kebahagiaan semata dalam hidup kita di dunia ini, maka bagaimana kita
dapat mengenal kebaikan, kebahagiaan dan ketakjuban akan cara pandang
orang lain yang sering tak mampu kita bayangkan sekali pun. Bukankah
perbedaan itu justru indah karena pengalaman kita yang berbeda satu
sama lian? Tidakkah demikian?
Jadi untuk mengenal Sang Pencipta,
janganlah bersikap sebagai pemecah persoalan, tulis Kahlil Gibran.
Tetapi belajarlah dari anak-anak kecil yang berkumpul dan bermain
bersama-sama, sesekali mungkin akan bertengkar tetapi sekejap kembali
bersahabat. Karena hidup bagi mereka hanya sekedar permainan. Dan
bermain selalu berarti ketidak-seragaman dalam kemampuan sehingga
terciptalah sesuatu yang menyenangkan. Mereka yang tidak saling
memuja atau membenci hingga menjadi berhala bagi dirinya, tulis
Faridu’d-din Atar. Maka bersama mereka, Sang Pencipta menjadi
sahabat sejati bagi kita. Bagi kita semua.
Hidup menjadi
indah karena perbedaan. Bukan karena keseragaman. Dan janganlah hidup
demi lambang semata, tetapi marilah merenungkan makna dalam relung
jiwa kita yang terdalam. Dan disanalah kita belajar untuk bermain
bersama Sang Pencipta. Kita tak perlu menjadi pemecah persoalan. Kita
hanya bermain bersama dengan persoalan kita sambil menyadari bahwa
bukan dalam pujaan atau pun kebencian kita dapat menemukan kebenaran
tetapi kebenaran akan menemukan kita dalam sukacita permainan hidup
masing-masing. Tersenyumlah, jangan merengut saja. Tertawa gembiralah
karena kita sadar bahwa ada tangis dukalara. Karena airmata tidak
hanya ada saat kita berduka cita. Terkadang, kekurangan kita justru
jauh lebih bernilai daripada kelebihan kita. Terkadang dalam
kebahagiaan yang dalam pun kita bisa menangis. Kita akan menangis.
Marilah bermain dengan hidup ini. Marilah bermain bersama Tuhan. Tanpa
menjadikan Dia sebagai berhala. Mari.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar