09 September 2012

YANG BAIK DAN YANG BURUK


Even so, near the grave
I believe the time will come
When the spirit of good will conquer
The power of malice and evil
(Boris Pasternak)

Entah mengapa, kadang aku berpikir, bahwa kecintaan pada Sang Pencipta dapat menjadi kebencian pada manusia. Kecintaan yang membuahkan sikap fanatik untuk mengubah segala sesuatu menjadi mutlak sesuai dengan apa yang, menurut sang pencinta, dikehendaki oleh Sang Pencipta. Dan karena itu memandang kelemahan manusiawi sebagai musuh yang harus dibasmi dan dimusnahkan. Bahkan jika perlu dengan menafikan hak hidup ciptaan Sang Pencipta itu sendiri. Padahal, sadar atau tidak, seringkali dibalik semangat untuk mengadili kelemahan manusiawi tersembunyi kepentingan pribadi agar dapat diakui sebagai pembawa kebenaran. Tetapi apakah kebenaran itu?

Setiap kebenaran selalu mengandung tanda tanya. Setiap kebenaran yang terlalu diagung-agungkan selalu menyimpan persoalan. Persoalan, karena setiap manusia hidup bersama beban pemikiran dan perasaannya masing-masing. Juga dengan situasi dan kondisi yang sulit untuk dipahami bahkan oleh mereka yang paling akrab sekalipun. Dan tak ada yang dapat memastikan siapa yang memiliki beban yang paling berat atau ringan. Sebab sesungguhnya, tak ada beban terberat atau pun teringan di dalam kehidupan ini. Beban setiap orang hanya mampu dirasakan dan dialami oleh masing-masing pribadi. Maka siapa pun yang mengatakan bahwa dia memiliki kebenaran, itu hanya kebenaran dalam cara pandangnya sendiri. Bukan milik orang lain.

Sebab itu, kita tidak menilai kebenaran Sang Pencipta dari sudut pandang kita saja. Kita tak dapat menafsirkan sabda-sabda Sang Pencipta dari pikiran kita. Pikiran yang kita bangun dari bagaimana kita hidup. Bagaimana kita mengalami dan merasakan pengalaman yang telah membentuk kita. Kita bukan mereka. Kita hanya sendirian. Informasi apapun yang kita serap, semirip bagaimanapun dia, takkan pernah sama dalam pikiran kita. Hidup memang tidak sederhana. Sebab itu, dalam kerumitannya, hidup jangan kita persulit dengan satu garis lurus yang menurut kita benar. Apalagi dengan memaksakan kebenaran kita kepada sesama. Kepada dunia. Apalagi sampai melakukan penghancuran hanya demi anggapan kebenaran dari sudut pandang kita. Kelak kita akan kecewa. Kelak bahkan kita dapat menyesali semuanya. Menyesali kebebalan kita. Menyesali ambisi dan tindakan kita. Betapa sia-sianya. Hampa dan tak berguna bagi kemanusiaan.

Siapakah kita sehingga kita layak menganggap dunia yang ada dalam pemikiran kita adalah alam semesta? Siapakah kita sehingga kita layak mencintai Sang Pencipta dengan membenci ciptaan-Nya? Siapakah kita sehingga kita merasa punya hak untuk membela Sang Pencipta dengan membasmi semua ciptaan-Nya? Siapakah kita sehingga kita bahkan rela untuk menghancurkan diri kita sendiri, menghancurkan ciptaan yang dikasihi-Nya, hanya demi anggapan bahwa apa yang kita lakukan adalah sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya? Siapakah kita? Bukankah jika mau, Sang Pencipta sendiri lebih dari hanya mampu untuk mengubah apa yang telah diciptakan-Nya menjadi sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya? Tetapi tidak! Dia mencintai kehidupan yang telah diciptakan-Nya. Dia mencintai kita. Aku, kau, kita, mereka. Dia mencintai kita semua. Dan karena itu, Dia menciptakan kita dengan harapan agar kita, sebagai ciptaan-Nya, dapat mencari dan menemukan Dia dengan cara kita masing-masing. Dengan menjalani kehidupan ini. Dengan masing-masing mencoba dan berupaya untuk menemukan makna keberadaan kita di alam semesta ini. Dengan berbuat tanpa merusak, tetapi bahkan demi membangun kehidupan segenap alam semesta ciptaan-Nya. Kita ada untuk mencintai, bukan untuk membenci satu sama lain.

Maka kecintaan kepada Sang Pencipta haruslah dijalani dengan sikap untuk berusaha memahami dan mencintai kelemahan segenap ciptaan-Nya. Sebab setiap insan kehidupan pasti memiliki kelemahan dan kekuatannya sendiri-sendiri. Di alam pemikiran kita, tak ada yang bisa mengetahui apakah kebenaran yang kita pahami adalah sungguh suatu kebenaran mutlak. Tak ada. Kebenaran yang kita pikirkan saat ini hanyalah kebenaran milik kita sendiri. Pasti bukan milik sesama. Apalagi milik alam semesta. Bahkan jangan-jangan bukan juga milik Sang Pencipta yang, karena kecintaan-Nya pada kehidupan, telah membuat kita ada. Dia mencintai kita semua. Tanpa batas. Jadi layakkah kita membatasi ciptaan-Nya sekedar hanya dalam benak pikiran kita yang terbatas ini? Layakkah itu? Layakkah?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...