Even so, near the grave
I believe the time will come
When the spirit of good will conquer
The power of malice and evil
(Boris Pasternak)
Entah mengapa, kadang aku
berpikir, bahwa kecintaan pada Sang Pencipta dapat menjadi kebencian
pada manusia. Kecintaan yang membuahkan sikap fanatik untuk mengubah
segala sesuatu menjadi mutlak sesuai dengan apa yang, menurut sang
pencinta, dikehendaki oleh Sang Pencipta. Dan karena itu memandang
kelemahan manusiawi sebagai musuh yang harus dibasmi dan dimusnahkan.
Bahkan jika perlu dengan menafikan hak hidup ciptaan Sang Pencipta
itu sendiri. Padahal, sadar atau tidak, seringkali dibalik semangat
untuk mengadili kelemahan manusiawi tersembunyi kepentingan pribadi
agar dapat diakui sebagai pembawa kebenaran. Tetapi apakah kebenaran
itu?
Setiap kebenaran selalu
mengandung tanda tanya. Setiap kebenaran yang terlalu
diagung-agungkan selalu menyimpan persoalan. Persoalan, karena setiap
manusia hidup bersama beban pemikiran dan perasaannya masing-masing.
Juga dengan situasi dan kondisi yang sulit untuk dipahami bahkan oleh
mereka yang paling akrab sekalipun. Dan tak ada yang dapat memastikan
siapa yang memiliki beban yang paling berat atau ringan. Sebab
sesungguhnya, tak ada beban terberat atau pun teringan di dalam
kehidupan ini. Beban setiap orang hanya mampu dirasakan dan dialami
oleh masing-masing pribadi. Maka siapa pun yang mengatakan bahwa dia
memiliki kebenaran, itu hanya kebenaran dalam cara pandangnya
sendiri. Bukan milik orang lain.
Sebab itu, kita tidak
menilai kebenaran Sang Pencipta dari sudut pandang kita saja. Kita
tak dapat menafsirkan sabda-sabda Sang Pencipta dari pikiran kita.
Pikiran yang kita bangun dari bagaimana kita hidup. Bagaimana kita
mengalami dan merasakan pengalaman yang telah membentuk kita. Kita
bukan mereka. Kita hanya sendirian. Informasi apapun yang kita serap,
semirip bagaimanapun dia, takkan pernah sama dalam pikiran kita.
Hidup memang tidak sederhana. Sebab itu, dalam kerumitannya, hidup
jangan kita persulit dengan satu garis lurus yang menurut kita benar.
Apalagi dengan memaksakan kebenaran kita kepada sesama. Kepada dunia.
Apalagi sampai melakukan penghancuran hanya demi anggapan kebenaran
dari sudut pandang kita. Kelak kita akan kecewa. Kelak bahkan kita
dapat menyesali semuanya. Menyesali kebebalan kita. Menyesali ambisi
dan tindakan kita. Betapa sia-sianya. Hampa dan tak berguna bagi
kemanusiaan.
Siapakah kita sehingga
kita layak menganggap dunia yang ada dalam pemikiran kita adalah alam
semesta? Siapakah kita sehingga kita layak mencintai Sang Pencipta
dengan membenci ciptaan-Nya? Siapakah kita sehingga kita merasa punya
hak untuk membela Sang Pencipta dengan membasmi semua ciptaan-Nya?
Siapakah kita sehingga kita bahkan rela untuk menghancurkan diri kita
sendiri, menghancurkan ciptaan yang dikasihi-Nya, hanya demi anggapan
bahwa apa yang kita lakukan adalah sesuai dengan apa yang
dikehendaki-Nya? Siapakah kita? Bukankah jika mau, Sang Pencipta
sendiri lebih dari hanya mampu untuk mengubah apa yang telah
diciptakan-Nya menjadi sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya? Tetapi
tidak! Dia mencintai kehidupan yang telah diciptakan-Nya. Dia
mencintai kita. Aku, kau, kita, mereka. Dia mencintai kita semua. Dan
karena itu, Dia menciptakan kita dengan harapan agar kita, sebagai
ciptaan-Nya, dapat mencari dan menemukan Dia dengan cara kita
masing-masing. Dengan menjalani kehidupan ini. Dengan masing-masing
mencoba dan berupaya untuk menemukan makna keberadaan kita di alam
semesta ini. Dengan berbuat tanpa merusak, tetapi bahkan demi
membangun kehidupan segenap alam semesta ciptaan-Nya. Kita ada untuk
mencintai, bukan untuk membenci satu sama lain.
Maka
kecintaan kepada Sang Pencipta haruslah dijalani dengan sikap untuk
berusaha memahami dan mencintai kelemahan segenap ciptaan-Nya. Sebab
setiap insan kehidupan pasti memiliki kelemahan dan kekuatannya
sendiri-sendiri. Di alam pemikiran kita, tak ada yang bisa mengetahui
apakah kebenaran yang kita pahami adalah sungguh suatu kebenaran
mutlak. Tak ada. Kebenaran yang kita pikirkan saat ini hanyalah
kebenaran milik kita sendiri. Pasti bukan milik sesama. Apalagi milik
alam semesta. Bahkan jangan-jangan bukan juga milik Sang Pencipta
yang, karena kecintaan-Nya pada kehidupan, telah membuat kita ada.
Dia mencintai kita semua. Tanpa batas. Jadi layakkah kita membatasi
ciptaan-Nya sekedar hanya dalam benak pikiran kita yang terbatas ini?
Layakkah itu? Layakkah?
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar