21 Oktober 2013

HATI NURANI

Kita mungkin pernah mengalami situasi dimana ketika kita akan melakukan sesuatu yang tidak pantas, kita akan dihinggapi perasaan ragu, khawatir bahkan mungkin juga rasa takut. Setelah itu muncullah rasa sesal dan sedih atas apa yang telah kita lakukan. Semuanya itu merupakan bisikan hati nurani kita yang mengusik saat kita mau dan telah melakukan sesuatu yang tidak layak dan tidak pantas.

Tetapi ketika sesuatu yang tidak pantas itu kita lakukan kembali, sekali dua kali dan akhirnya berulang kali, bisikan itu akan melemah dan bahkan mungkin akan menghilang sama sekali. Sesuatu yang semula terasa tidak pantas akan menjadi lumrah. Dan perasaan sesal dan takut akan menghilang, bahkan bisa berganti menjadi rasa bangga dan penuh kepercayaan diri. Demikianlah hati nurani yang mengawal kita dari kesalahan akhirnya akan mati dan menghilang dari perasaan kita.

Maka di saat kebebalan menguasai kebajikan, di saat kebencian mengalahkan kepercayaan, di saat kekerasan menghancurkan kedamaian, kita akan menuju kegagalan untuk saling memahami. Kita hidup hanya demi dan bersama kepentingan diri dan kelompok kita saja. Diluar dari kita adalah musuh harus dilawan. Bahkan harus dihancurkan dan dimusnahkan. Dengan intimidasi. Dengan kekerasan.

Demikianlah kita membunuh hati nurani kita sendiri. Kebiasaan-kebiasaan yang dipupuk-kembangkan sambil meninggalkan kekhawatiran, ketakutan bahkan melepaskan rasa sesal kita atas para korban yang berjatuhan, bahkan dengan bangga kita berdiri sambil berseru lantang, “semua ini demi untuk membela dan diinginkan oleh Yang Maha Kuasa...” Entah atas pemikiran bagaimana, kita, yang mengakui kemaha-kuasaan dari Sang Pencipta, bisa merasa jauh lebih kuat dan lebih kuasa dari Sang Pencipta itu sendiri.

Tetapi tidakkah kita diciptakan oleh kesempurnaan sebagai yang tidak sempurna? Dan karena kelemahan itulah maka kita diberikan perasaan, bisikan hati nurani, yang seharusnya kita ikuti tetapi ternyata kita tinggalkan dan kita lupakan begitu saja? Maka dengan penuh kegundahan, setiap hari aku membaca, mendengar dan menonton berita-berita yang bermunculan sambil memikirkan betapa hati nurani telah hilang dan dilupakan begitu saja. Dan Sang Pencipta yang setiap saat kita sembah dan kita puja, mendadak menjadi manusia biasa sama seperti kita dalam ketidak-sempurnaan-nya karena harus dibela dan diwujudkan keinginannya oleh kita. Yang tidak sempurna telah menguasai kesempurnaan. Dan hati nurani pun lenyap. Mati. Haruskah demikian?


Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...