Siang teramat
terik ketika aku melihat seorang pengendara motor meluncur dengan
kecepatan sedang di jalan yang rusak dan berlubang-lubang tidak jauh
dari pasar Anduonohu. Mendadak, tepat depan sebuah lubang yang cukup
dalam menganga, kulihat pengendara itu berupaya untuk menghindarinya
tetapi kemudian dia terpelanting dan jatuh tepat di depan sebuah
spanduk kecil yang bertuliskan dengan spidol hitam: “DIMANAKAH
PEMERINTAH?”. Beberapa orang kemudian berdatangan untuk
menolongnya. Aku melihat luka akibat seretan di batu kerikil terbuka
berdarah di tangan dan wajahnya. Dengan tertatih-tatih dia
menghampiri motornya yang tergeletak tak jauh darinya. Dengan kaca
spion yang patah. Dengan lecet lebar pada sisi kendaraannya itu...
Melihat
peristiwa yang terjadi di depan mataku, aku teringat kata seorang
kepadaku: “Entah mengapa, kadang aku merasa bahwa pemerintah itu
hanya terasa kehadirannya saat aku membayar pajak atau mengurus
administrasi kependudukan. Selain dari itu, aku tidak tahu dia berada
dimana.... Jalanan rusak dan berdebu hanya dibiarkan begitu saja
hingga memakan korban. Kekurangan gizi akibat mahalnya bahan makanan
pokok hanya dibiarkan begitu saja sehingga bisa melemahkan satu
generasi. Anak-anak jalanan yang berkeliaran karena tak mampu untuk
bersekolah hanya karena mahalnya biaya pendidikan. Orang sakit yang
seharusnya dapat terobati tetapi kemudian meninggal hanya karena tak
punya dana akibat mahalnya kesehatan. Hanya.....” katanya saat itu
dengan mata yang menerawang. Hanya. Betapa sederhana kata itu tetapi
penuh dengan kekuatan yang menggambarkan ketidak-mampuan seseorang
menjalani hidup ini. Dan ketidak-pedulian mereka yang seharusnya
berkewajiban dan mampu untuk mengatasi hal itu.
Lubang.
Hanya. Ketidak-pedulian. Barangkali satu kesalahan terbesar kita
adalah ketidak-pedulian, bukan kejahatan atau kekerasan. Justru
karena ketidak-pedulian kitalah yang sering menimbulkan kejahatan.
Kita melihat jalanan berlubang, mungkin mengeluh karenanya, tetapi
kita tidak menutupinya tetapi lebih sering tetap melewatinya dengan
kendaraan berat kita walau korban telah berjatuhan. Kita melihat
mereka yang kelaparan, mungkin turut merasa prihatin, tetapi kita
berjalan terus menikmati hidup yang penuh kemewahan. Kita melihat
anak-anak yang berkeliaran tanpa mampu menikmati pendidikan, mungkin
sedikit merasa sesal, tetapi terus menghamburkan materi untuk sesuatu
yang tak bermanfaat. Dari semua segi kehidupan sungguh terasa betapa
kita lebih sering tidak peduli dan tidak berbuat apa-apa selain dari
hanya berharap agar ada orang lain yang lebih layak untuk bekerja dan
memberikan bantuan. Bukan kita. Bukan kita.
Maka tidakkah
lubang di jalan itu melambangkan sesuatu yang lebih besar: dia ada
karena dibiarkan dan setiap saat makin besar karena tidak
dipedulikan. Demikian pula hati nurani kita, setiap saat dibiarkan
menerima perasaan sesal sehingga akhirnya menjadi tumpul dan kita
semakin merasa tidak bersalah jika kita tidak peduli. Hidup kita
jalani hanya tertuju demi kepentingan pribadi kita walau mungkin
sesekali muncul perasaan sedih dan marah pada situasi lingkungan yang
berlubang, tetapi kita tidak berbuat apa-apa, bukan karena kita tidak
bisa tetapi lebih sering kita tidak mau mengurbankan kepentingan diri
dengan pemikiran bahwa seharusnya ada orang lain yang lebih
bertanggung-jawab. Bukan kita. Bukan kita.
Lubang di
jalan itu membuatku merenungi banyak lubang lain dalam kehidupan ini.
Pengusaha yang hidupnya bermewah-mewah walau sering mengeluh jika
keuntungannya berkurang tanpa pernah memikirkan nasib buruhnya
sendiri yang hidup hanya cukup untuk makan sehari demi sehari.
Penguasa yang sering mengeluh karena dikritik tetapi tak pernah turut
merasakan hidup rakyatnya jauh di pedalaman yang sering hidup apa
adanya. Bahkan kita, ya kita semua, yang mungkin merasa kesal karena
situasi sekeliling kita yang demikian penuh kepalsuan, keculasan,
korupsi dan kejahatan, pernahkah kita berusaha untuk mengubah segala
situasi itu? Atau kita hanya berdiam diri, tidak peduli, sebab merasa
itu bukan tugas dan kewajiban kita atau bahkan malah turut terlibat
secara aktip demi untuk hidup kita yang lebih enak, aman dan nyaman?
Siang teramat
terik. Jalan berdebu dan berlubang. Pengendara motor yang terjatuh
dan meringis kesakitan. Orang-orang yang berdiri menyaksikan di
samping hamburan sampah yang bertebaran diluar kontainer yang sudah
disiapkan. Dan di tepi jalan, tanah becek dengan kubangan air berbau
amis dari selokan yang buntu karena tertimbun sampah dan bahan
bangunan. Mendadak aku merasa kesepian. Sepi dan hampa. Karena
ternyata aku juga tidak berbuat apa-apa walau hanya sekedar membantu
pengendara itu menarik motornya yang rusak keluar dari lubang yang
menganga. Angin berhembus kencang. Sangat kencang.....
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar