25 Oktober 2013

LUBANG

Siang teramat terik ketika aku melihat seorang pengendara motor meluncur dengan kecepatan sedang di jalan yang rusak dan berlubang-lubang tidak jauh dari pasar Anduonohu. Mendadak, tepat depan sebuah lubang yang cukup dalam menganga, kulihat pengendara itu berupaya untuk menghindarinya tetapi kemudian dia terpelanting dan jatuh tepat di depan sebuah spanduk kecil yang bertuliskan dengan spidol hitam: “DIMANAKAH PEMERINTAH?”. Beberapa orang kemudian berdatangan untuk menolongnya. Aku melihat luka akibat seretan di batu kerikil terbuka berdarah di tangan dan wajahnya. Dengan tertatih-tatih dia menghampiri motornya yang tergeletak tak jauh darinya. Dengan kaca spion yang patah. Dengan lecet lebar pada sisi kendaraannya itu...

Melihat peristiwa yang terjadi di depan mataku, aku teringat kata seorang kepadaku: “Entah mengapa, kadang aku merasa bahwa pemerintah itu hanya terasa kehadirannya saat aku membayar pajak atau mengurus administrasi kependudukan. Selain dari itu, aku tidak tahu dia berada dimana.... Jalanan rusak dan berdebu hanya dibiarkan begitu saja hingga memakan korban. Kekurangan gizi akibat mahalnya bahan makanan pokok hanya dibiarkan begitu saja sehingga bisa melemahkan satu generasi. Anak-anak jalanan yang berkeliaran karena tak mampu untuk bersekolah hanya karena mahalnya biaya pendidikan. Orang sakit yang seharusnya dapat terobati tetapi kemudian meninggal hanya karena tak punya dana akibat mahalnya kesehatan. Hanya.....” katanya saat itu dengan mata yang menerawang. Hanya. Betapa sederhana kata itu tetapi penuh dengan kekuatan yang menggambarkan ketidak-mampuan seseorang menjalani hidup ini. Dan ketidak-pedulian mereka yang seharusnya berkewajiban dan mampu untuk mengatasi hal itu.

Lubang. Hanya. Ketidak-pedulian. Barangkali satu kesalahan terbesar kita adalah ketidak-pedulian, bukan kejahatan atau kekerasan. Justru karena ketidak-pedulian kitalah yang sering menimbulkan kejahatan. Kita melihat jalanan berlubang, mungkin mengeluh karenanya, tetapi kita tidak menutupinya tetapi lebih sering tetap melewatinya dengan kendaraan berat kita walau korban telah berjatuhan. Kita melihat mereka yang kelaparan, mungkin turut merasa prihatin, tetapi kita berjalan terus menikmati hidup yang penuh kemewahan. Kita melihat anak-anak yang berkeliaran tanpa mampu menikmati pendidikan, mungkin sedikit merasa sesal, tetapi terus menghamburkan materi untuk sesuatu yang tak bermanfaat. Dari semua segi kehidupan sungguh terasa betapa kita lebih sering tidak peduli dan tidak berbuat apa-apa selain dari hanya berharap agar ada orang lain yang lebih layak untuk bekerja dan memberikan bantuan. Bukan kita. Bukan kita.

Maka tidakkah lubang di jalan itu melambangkan sesuatu yang lebih besar: dia ada karena dibiarkan dan setiap saat makin besar karena tidak dipedulikan. Demikian pula hati nurani kita, setiap saat dibiarkan menerima perasaan sesal sehingga akhirnya menjadi tumpul dan kita semakin merasa tidak bersalah jika kita tidak peduli. Hidup kita jalani hanya tertuju demi kepentingan pribadi kita walau mungkin sesekali muncul perasaan sedih dan marah pada situasi lingkungan yang berlubang, tetapi kita tidak berbuat apa-apa, bukan karena kita tidak bisa tetapi lebih sering kita tidak mau mengurbankan kepentingan diri dengan pemikiran bahwa seharusnya ada orang lain yang lebih bertanggung-jawab. Bukan kita. Bukan kita.

Lubang di jalan itu membuatku merenungi banyak lubang lain dalam kehidupan ini. Pengusaha yang hidupnya bermewah-mewah walau sering mengeluh jika keuntungannya berkurang tanpa pernah memikirkan nasib buruhnya sendiri yang hidup hanya cukup untuk makan sehari demi sehari. Penguasa yang sering mengeluh karena dikritik tetapi tak pernah turut merasakan hidup rakyatnya jauh di pedalaman yang sering hidup apa adanya. Bahkan kita, ya kita semua, yang mungkin merasa kesal karena situasi sekeliling kita yang demikian penuh kepalsuan, keculasan, korupsi dan kejahatan, pernahkah kita berusaha untuk mengubah segala situasi itu? Atau kita hanya berdiam diri, tidak peduli, sebab merasa itu bukan tugas dan kewajiban kita atau bahkan malah turut terlibat secara aktip demi untuk hidup kita yang lebih enak, aman dan nyaman?

Siang teramat terik. Jalan berdebu dan berlubang. Pengendara motor yang terjatuh dan meringis kesakitan. Orang-orang yang berdiri menyaksikan di samping hamburan sampah yang bertebaran diluar kontainer yang sudah disiapkan. Dan di tepi jalan, tanah becek dengan kubangan air berbau amis dari selokan yang buntu karena tertimbun sampah dan bahan bangunan. Mendadak aku merasa kesepian. Sepi dan hampa. Karena ternyata aku juga tidak berbuat apa-apa walau hanya sekedar membantu pengendara itu menarik motornya yang rusak keluar dari lubang yang menganga. Angin berhembus kencang. Sangat kencang.....


Tonny Sutedja 

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...