Mereka yang
mengetahui suatu kejahatan, walau tidak membantu tetapi juga tidak
berbuat sesuatu untuk mencegahnya, tetaplah bersalah. Itu karena
mereka membiarkan terjadinya kejahatan tersebut. Bahkan sikap
tersebut lebih berbahaya karena membuat mereka yang berbuat terlena
dan menganggap dirinya tidak bersalah. Karena dibiarkan dan tidak
pernah dipersalahkan. Maka mereka yang membiarkan justru menjadikan
sikapnya itu sebagai pupuk bagi kejahatan tersebut. Jangan-jangan
justru lebih bersalah daripada sang pelaku itu sendiri.
Maka sikap
lepas tangan, pembiaran dan ketidak-pedulian, walau dirinya merasa
tidak bersalah karena bukan pelaku, tidak dapat membenarkan dirinya.
Sebab hidup ini saling terkait, saling mempengaruhi, saling berbaur
satu sama lain. Memang, kita hidup di dunia yang tidak sempurna.
Namun ketidak-sempurnaan itu tidak bisa dijadikan alasan pembenaran
atas ketidak-beranian, apalagi jika hanya keengganan kita, untuk
menolak sesuatu hal yang salah. Terlebih jika kita justru hanya
selalu mempersalahkan orang lain, mempersalahkan sang pelaku,
sementara titik persoalan justru terletak pada sikap kita sendiri
yang membiarkan sang pelaku melakukan perbuatannya dengan bebas.
Tidak mudah
memang menentang kebiasaan salah yang sudah terbiasa dilakukan. Tidak
mudah memang melawan sesuatu perbuatan yang justru dapat melukai diri
kita sendiri. Dengan kata lain, tidak mudah untuk mengurbankan diri
kita demi kebaikan apalagi jika hal itu dapat merugikan kenikmatan
hidup kita sendiri sehingga jauh lebih sering kita bersikap
membiarkan kesalahan itu sambil berkata dalam hati bahwa karena kita
tidak terlibat maka kita tidak bersalah. Tetapi bukankah sikap kita
tersebut bahkan lebih menyuburkan kejahatan tersebut? Tidakkah sikap
pembiaran itu menjadi semacam pupuk karena sang pelaku dapat
membenarkan diri karena tidak pernah dipersalahkan?
Jadi dosa
terbesar kita bukanlah karena kita telah melakukan suatu perbuatan
yang jahat. Dosa terbesar kita adalah karena sikap kita sendiri yang
membiarkan perbuatan itu terjadi, masa bodoh dan lepas tangan,
apalagi jika hal itu tidak merugikan kita atau bahkan mungkin justru
menguntungkan kita sehingga kita enggan mempersalahkan. Maka ketika
sang pelaku kebetulan tertangkap tangan, dan kita ramai-ramai
mempersalahkan dia, mungkin sudah saatnya kita mengambil cermin dan
berkaca diri. Darimanakah asal mula kejahatan yang dilakukan sang
pelaku? Mengapa dia melakukan kejahatan itu? Jangan-jangan justru
karena kita tidak pernah mencegah dia melakukan perbuatan itu sebab
kita berharap bahwa apa yang dilakukannya tidak akan terungkap.
Karena sudah kebiasaan. Karena sudah lumrah. Karena begitulah adanya.
Begitulah semestinya.....
Jika sudah
demikian, siapakah yang salah? Siapa?
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar