Aku
memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan
binasa sampai selama-lamanya dan seorang pun tidak akan merebut
mereka dari tangan-Ku.
(Yoh 10:28)
Malam
ini langit nampak jernih. Purnama indah mengambang bersama
titik-titik cahaya bintang dan planet yang bertebaran mengagumkan.
Tak ada awan. Hanya keheningan dan sesekali desah angin yang
menggerakkan tirai jendela kamarku. Aku menatap keindahan alam itu
dengan sedikit tergetar, merasakan betapa kecilnya diri ini. Betapa
kecilnya. Sebagai debu yang berada di alas alam semesta yang seakan
tak berbatas.
Setiap
hari, setiap saat kita menjalani hidup ini dengan kebiasaan-kebiasaan
yang terasa lumrah dan seakan sudah seharusnya demikian adanya.
Namun, pernahkah terpikir oleh kita, bagaimana jika kita melihat diri
ini dari sisi yang lain, diluar dari apa yang kita jalani sekarang?
Betapa kita menjadi asing, jauh dan penuh dengan tanda tanya, saat
kita melihat sendiri apa yang kita perbuat setiap hari dari luar diri
kita ini. Bagaimana pun, seseorang yang mau memandang dirinya bukan
sebagai dirinya sering menemukan suatu kejutan yang mungkin sulit
dipahaminya.
Maka
selalu ada getaran saat kita menyaksikan betapa kecilnya kita di
semesta luas ini. Melihat bulan yang bersinar indah jauh disana.
Melihat titik-titik cahaya bintang yang berkedap-kedip dengan
kesadaran bahwa apa yang kita saksikan hanya sebuah masa lampau dari
bintang itu sendiri. Sungguh, kita akan merasakan ketakjuban
sekaligus merenungkan betapa terpencilnya keberadaan kita di sudut
bumi kecil ini. Sesuatu yang tak mudah untuk dipahami. Sesuatu yang
dapat mengguncang perasaan kita tetapi sekaligus menghormati
kemaha-luasan semesta.
Malam
ini langit memberikan sebuah panorama menakjubkan dari semesta yang
seakan tak berujung. Malam ini aku merasakan batas-batas diriku
sendiri. Batas yang membuatku berpikir bahwa hidup ini sesungguhnya
berjalan sebagaimana dia ada. Dalam waktu. Dalam peristiwa. Dalam
keabadian yang selalu berubah. Tetapi toh tetap. Kesadaran betapa
diriku hanya noktah kecil yang tak bisa mengatakan kebenaran tunggal
sebagaimana alam semesta yang selalu berubah. Walau asing namun
indah. Dan angin yang memasuki jendela kamarku menyapaku sambil
berbisik: “kebenaranku adalah keberadaanku, walau tak terlihat
tidaklah samar-samar”.
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar