Walau secara
keseluruhan sering kita merasa betapa waktu melintas hampir tak
terasa, dan betapa seminggu, sebulan dan setahun berlalu seakan mimpi
saja. Namun, di momen-momen saat ini, sering pula kita merasa betapa
lambatnya waktu, merambat detik ke detik seakan tak kunjung usai. Dan
dalam kehidupan yang bergerak dengan monoton, kita merasa hampa, tak
berdaya bahkan membosankan sehingga kadang kita berpikir betapa
sia-sianya segala yang sedang kita jalani sekarang.
Kita yang
hidup dalam kungkungan tembok tak tembus pandang, kita merasa seakan
terjaring dengan jiwa yang penuh luka tetapi tak berdarah, perih
tetapi tak mematikan, pilu tetapi tak nyata. Kita merasa ada sesuatu
yang salah namun tak tahu apa dan mengapa salah. Hidup tetap berjalan
sebagaimana mestinya. Normal walau menyakitkan. Kadang penuh tawa
walau hampa. Dan kita toh masih dapat bertutur dengan penuh semangat
namun kosong. Kita kehilangan diri kita disaat kita sadar bahwa kita
sungguh nyata ada. Mengapa? Ada apa? Dan untuk apa ini semua kita
jalani?
Tembok tebal
mengelilingi kita. Bukan hanya sekedar tembok beton empat dinding
tetapi lebih dari itu. Dia tak nyata namun terasa. Dia tak berwujud
namun ada. Kita pun hidup dan bergerak sebagai alat mekanis tanpa
jiwa, sering hanya bertindak sebagai gema yang menirukan segala apa
yang dianggap biasa dan normal oleh sekeliling kita sehingga sering
kita terperosok dalam jurang kesepian, kesendirian, tak dipahami
sekaligus tak memahami hingga tersudut di sisi paling kelam dan gelap
dimana kita ingin menyembunyikan diri kita seluruhnya.
Tetapi
siapakah kita? Sungguhkah kita ini nyata? Dan jika kita memang nyata,
untuk apa kita disini? Apapun yang kita lakukan sering hanya sebatas
apa yang diinginkan oleh lingkungan kita untuk lakukan. Dan kita
kehilangan kendali atas pikiran dan perasaan kita. Buntu.
Tembok-tembok tebal ini sungguh mengungkung kita dalam
ketidak-berdayaan yang harus kita terima dan jalani setiap saat.
Setiap hari. Tanpa pilihan lain. Tanpa kemungkinan lain. Kita ada
tetapi dengan tanda tanya besar. Kita nyata tetapi sesungguhnya itu
bukan kita. Bukan kita.
Adakah
pilihan lain yang dapat kita lakukan tanpa merusak diri kita dan
lingkungan kita? Adakah pilihan lain dari terbenam dan mati tetapi
aman atau bangkit dan hidup tetapi melawan semua hal yang terasa
menghimpit jiwa kita? Sungguh, hidup sering terasa membosankan,
menyakitkan dan bahkan menjadi tanpa harapan. Pahit. Kelam. Waktu
berjalan seakan merayap, lamban teramat lamban seakan tak berakhir.
Seakan tak berujung. Hingga suatu saat, jauh kemudian, selewat waktu
dan kita tetap disini, kita dapat tiba-tiba sadar betapa ternyata
sebulan telah hilang. Setahun berlalu. Sepuluh tahun. Dan apa yang
telah silam tak mungkin lagi kembali. Tak bakal terulang lagi.
Lenyaplah dia. Lenyap...
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar