16 Oktober 2013

TEMBOK

Walau secara keseluruhan sering kita merasa betapa waktu melintas hampir tak terasa, dan betapa seminggu, sebulan dan setahun berlalu seakan mimpi saja. Namun, di momen-momen saat ini, sering pula kita merasa betapa lambatnya waktu, merambat detik ke detik seakan tak kunjung usai. Dan dalam kehidupan yang bergerak dengan monoton, kita merasa hampa, tak berdaya bahkan membosankan sehingga kadang kita berpikir betapa sia-sianya segala yang sedang kita jalani sekarang.

Kita yang hidup dalam kungkungan tembok tak tembus pandang, kita merasa seakan terjaring dengan jiwa yang penuh luka tetapi tak berdarah, perih tetapi tak mematikan, pilu tetapi tak nyata. Kita merasa ada sesuatu yang salah namun tak tahu apa dan mengapa salah. Hidup tetap berjalan sebagaimana mestinya. Normal walau menyakitkan. Kadang penuh tawa walau hampa. Dan kita toh masih dapat bertutur dengan penuh semangat namun kosong. Kita kehilangan diri kita disaat kita sadar bahwa kita sungguh nyata ada. Mengapa? Ada apa? Dan untuk apa ini semua kita jalani?

Tembok tebal mengelilingi kita. Bukan hanya sekedar tembok beton empat dinding tetapi lebih dari itu. Dia tak nyata namun terasa. Dia tak berwujud namun ada. Kita pun hidup dan bergerak sebagai alat mekanis tanpa jiwa, sering hanya bertindak sebagai gema yang menirukan segala apa yang dianggap biasa dan normal oleh sekeliling kita sehingga sering kita terperosok dalam jurang kesepian, kesendirian, tak dipahami sekaligus tak memahami hingga tersudut di sisi paling kelam dan gelap dimana kita ingin menyembunyikan diri kita seluruhnya.

Tetapi siapakah kita? Sungguhkah kita ini nyata? Dan jika kita memang nyata, untuk apa kita disini? Apapun yang kita lakukan sering hanya sebatas apa yang diinginkan oleh lingkungan kita untuk lakukan. Dan kita kehilangan kendali atas pikiran dan perasaan kita. Buntu. Tembok-tembok tebal ini sungguh mengungkung kita dalam ketidak-berdayaan yang harus kita terima dan jalani setiap saat. Setiap hari. Tanpa pilihan lain. Tanpa kemungkinan lain. Kita ada tetapi dengan tanda tanya besar. Kita nyata tetapi sesungguhnya itu bukan kita. Bukan kita.

Adakah pilihan lain yang dapat kita lakukan tanpa merusak diri kita dan lingkungan kita? Adakah pilihan lain dari terbenam dan mati tetapi aman atau bangkit dan hidup tetapi melawan semua hal yang terasa menghimpit jiwa kita? Sungguh, hidup sering terasa membosankan, menyakitkan dan bahkan menjadi tanpa harapan. Pahit. Kelam. Waktu berjalan seakan merayap, lamban teramat lamban seakan tak berakhir. Seakan tak berujung. Hingga suatu saat, jauh kemudian, selewat waktu dan kita tetap disini, kita dapat tiba-tiba sadar betapa ternyata sebulan telah hilang. Setahun berlalu. Sepuluh tahun. Dan apa yang telah silam tak mungkin lagi kembali. Tak bakal terulang lagi. Lenyaplah dia. Lenyap...


Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...