“Bola
diberikan kepada Abdi
Tunggal yang berdiri
bebas di kanan. Masih, berputar-putar dia. Memasuki daerah penalti.
Ah, berbahaya! Beberapa pemain lawan mencoba menghalangi. Lepaskan
tembakan. Gooooolllllll!”.
Lalu terdengar suara sorak sorai yang membahana....
Mereka yang
hidup di era 1990-an ke bawah dan menggemari sepakbola tentu tidak
asing dengan suara yang keluar dari sebuah radio transistor, sebuah
siaran pandangan mata yang dipancarkan langsung dari stadion oleh
RRI. Saat itu, TV belum atau masih jarang dan termasuk barang mewah
dan langka. Tetapi walau kita sendiri tidak menyaksikan, hanya
mendengarkan, imajinasi kita lewat suara sang penyiar membuat kita
merasa seakan-akan berada langsung di tengah lapangan. Sesekali
merasa berdebar-debar tegang. Sesekali dengan perasaan kesal.
Sesekali dengan perasaan gembira yang sulit digambarkan. Sambil ikut
berseru, bahkan ikut melompat: “Gooooolllllllll”.
Padahal kita tidak menyaksikan pertandingan tersebut. Kita hanya
mendengarkan. Sambil membiarkan imajinasi kita berjalan.
“Anak
laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun itu mengintai dari kaca
jendela dengan muka marah, mata merah dan gigi berkerot saking marah
dan sedihnya menyaksikan keadaan di ruangan dalam rumah gedung
ayahnya. Ruangan itu luas dan terang-benderang, suara tetabuhan musik
terdengar riuh di samping gelak tawa tujuh orang pembesar Mancu yang
sedang dijamu oleh ayahnya.”
Demikian awal jilid pertama dari cerita silat karangan Kho
Ping Hoo yang berjudul “Pendekar
Super Sakti”.
Mereka yang
hidup di era tahun 70-80an dan menggemari cerita silat tentu dengan
setia selalu menantikan terbitnya jilid demi jilid dan saat membaca,
waktu seakan berhenti di atas lembaran demi lembaran buku kecil itu.
Dibaca saat makan, saat ke kamar mandi bahkan saat seharusnya kita
sudah tidur. Kita membaca sambil membayangkan. Kita membaca dan larut
dalam peristiwa demi peristiwa yang dituturkan dengan memikat dan
membuat kita seakan langsung berada di dalam cerita itu. Kita membaca
sambil meenciptakan imajinasi kita sendiri. Sungguh mengasyikkan.
Sungguh membuat kita lupa segalanya. Sungguh nikmat.
Tetapi kini,
semua dapat kita saksikan secara langsung. Semua dapat kita lihat
lewat layar TV, atau lewat monitor komputer atau bahkan lewat layar
handphone pribadi kita. Ya, semua bisa kita saksikan secara langsung
apa yang dulu hanya dapat kita bayangkan dan nikmati lewat pikiran
kita. Namun, bagi kita yang tahu nikmatnya memakai imajinasi sendiri
sambil mendengarkan atau membaca, tiba-tiba merasa ada yang hilang.
Ada yang terasa mengganjal dalam hati. Dengan menyaksikan apa yang
dulu hanya dapat kita dengar atau baca sambil membayangkan, tiba-tiba
ada jurang lebar antara imajinasi pikiran dan kenyataan yang kini
dapat kita lihat sendiri. Aku sering merasa bahwa imajinasiku saat
membaca buku cerita silat yang dulu sangat memikat itu tiba-tiba
menjadi hambar ketika kini secara langsung menonton film-nya.
Sungguh, bagiku jauh lebih mengasyikkan membaca daripada menonton
karena saat menonton aku hanya dapat menerima apa yang ditampilkan di
layar tanpa dapat mengembangkan alam imajinasiku sendiri.
Dengan
mendengarkan dan membaca, aku merasa tidak kehilangan diriku. Dengan
menonton tiba-tiba aku merasa dipaksa menerima dunia pikiran orang
lain, dipaksa untuk menerima imajinasi yang belum tentu sesuai dengan
imajinasiku sendiri. Bagiku, sungguh jauh lebih mengasyikkan hanya
dengan mendengar dan membaca daripada menonton. Sebab saat menonton,
aku tenyata lebih sering tidak dapat membayangkan, hanya dapat
menerima apa yang ditayangkan. Walau itu tidak sesuai dengan
gambaranku tentang satu peristiwa, tentang satu cerita, apalagi
cerita fiksi maupun non-fiksi yang dengan membaca dapat membuat aku
merenung. Aku kehilangan dunia imajinasi. Aku kehilangan daya
renungan. Akau bahkan sering merasa kehilangan diriku sendiri.
Betapa
asyiknya mendengarkan. Betapa indahnya membaca. Kedua kegiatan itu
dapat membuat kita bebas untuk membayangkan apa yang kita dengarkan
atau kita baca sesuai dengan kemampuan daya khayal kita. Membuat
pikiran kita berkelana jauh, berfungsi sesuai dengan kemampuan kita
sendiri. Dunia tontonan visual yang merasuk di era kini, hanya dapat
membuat kita menerima apa yang nampak, walau tentu ada juga tontonan
yang bagus sehingga tetap mampu membuat kita untuk merenung, tetapi
itu sangat jarang. Jauh lebih banyak kita hanya menerima tontonan
yang hanya mempermainkan perasaan kita, marah-sedih-gembira, tanpa
perlu dipikirkan dan direnungkan agar dapat membuat kita untuk lebih
memahami hidup ini. Membuat kita lebih mengerti makna keberadaan
hidup kita. Dengan menonton dan menyaksikan, kita tidak lagi memakai
pikiran kita sendiri. Tidak lagi hidup bersama dunia imajinasi kita.
Maka
tiba-tiba saya paham mengapa generasi sekarang mudah terpengaruh.
Mengapa generasi sekarang mudah untuk menerima apa saja yang
ditayangkan. Karena dunia imajinasi telah dipinggirkan. Karena yang
ada hanya penampakan yang seringkali menggoda rasa tetapi tidak perlu
perenungan mendalam. Dunia visual telah membuat kita semua malas
untuk berpikir, malas untuk merenung, malas untuk ber-imajinasi,
karena semua sudah terpampang dengan jelas di layar dan semua dapat
kita saksikan secara langsung. Ah, mendadak aku kehingan dunia yang
indah itu: mendengarkan dan membaca. Dunia yang membuat aku dapat
membayangkan sesuatu sesuai dengan diriku sendiri tanpa perlu
terpengaruh dengan bayangan orang lain. Dan berpikir tanpa harus
dipaksa menerima begitu saja imajinasi orang lain. Dunia yang bagiku
jauh lebih mengasyikkan dari pada hanya menonton dan menonton saja.
Atau apakah aku salah?
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar