30 Oktober 2013

SUSAN

Walau langit masih sama, tetapi udara di era tahun 80-an telah berbeda dengan udara era tahun 2013 ini. Paling tidak, saat itu, kita masih dapat menghirup hawa yang segar tanpa polusi. Tanpa sekat-sekat antara siapa kita dan siapa mereka. Persahabatan terjadi antar pribadi tanpa dibebani masalah apa jenis kelaminmu, apa keyakinanmu, apa partaimu, apa sukumu dan segala macam perbedaan yang melekat pada diri kita masing-masing. Hidup berlangsung lebih sederhana, tanpa dibuat rumit dengan segala keingin-tahuan tentang apa dan bagaimana kita menjalani hidup kita masing-masing. Tanpa dibebani dengan penolakan pada siapa dia dan siapa aku. Sebab kita semua adalah sesama yang punya kelemahan dan kelebihan sendiri-sendiri.

Entah mengapa, makin terbuka dunia yang luas ini, makin terkunci pula kita dalam sekat-sekat yang sempit dimana kita memilih untuk hidup dan bahkan bersikap menentang segala yang berbeda dari siapa kita. Atau apakah karena setiap rahasia dapat demikian mudahnya terbuka dan tersebar maka kita berupaya memasang topeng untuk melindungi diri dan kepentingan kita masing-masing? Ataukah karena semakin banyak manusia maka semakin sempit pula ruang pergerakan kita yang membuat kita berupaya dengan cara apa saja untuk mempertahankan diri dan kepentingan diri dan kelompok kita? Karena itu, di setiap kesempatan yang terbuka, kita pun menyobek bahkan tega untuk menghabisi mereka yang tidak sejalan dengan kepentingan kita.

Tetapi bukankah hidup tetap harus dijalani sesuai dengan kodrat kita. Kodrat yang lebih sering bukan ditentukan oleh keinginan kita tetapi sesuai dengan anugerah yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada kita masing-masing. Dan ketika kita menentang kodrat yang telah dianugerahkan kepada kita, sesuai dengan talenta yang unik dan khas, tidakkah kita merasa bahwa dengan demikian kita telah melawan Sang Pencipta kita? Pernahkah kita berhenti sejenak dan merenung setiap kali kita ingin melakukan hal yang mencederai sesama kita yang berbeda dan mencoba memahami apa dan mengapa mereka berbeda dari kita? Ataukah hanya karena kepentingan sesaat sehingga kita melupakan ketak-berdayaan kita sendiri untuk memilih dimana kita hidup kini? Untuk itukah semua kita lakukan? Untuk itukah?

Maka sering aku merasa betapa piciknya kita, saat kita melakukan penolakan terhadap kodrat dan keyakinan seseorang atas nama keinginan atau bahkan perintah Sang Pencipta, sementara kita tidak mempertanyakan mengapa Sang Pencipta telah membuat kita masing-masing berbeda. Kita menghasratkan hidup yang tunggal, satu jalur, satu warna, satu keyakinan tanpa pernah mau menyadari bahwa sesungguhnya Sang Pencipta membuat perbedaan itu agar hidup kita berjalan dengan lebih indah dan penuh warna-warni sehingga bagi-Nya menjadi jauh lebih indah dan bermakna. Juga bagi kita sendiri. Apa artinya hidup di tengah kesatuan yang dipaksakan? Apa nikmatnya hidup di tengah kebersamaan tetapi menjadi beban dalam hati? Apa indahnya hidup yang tanpa cobaan karena segala sesuatu telah ada dan tersedia karena semuanya toh sama saja? Apa?
Setiap penolakan kepada seseorang bukan karena kemampuannya, tetapi karena perbedaan jenis kelamin, perbedaan keyakinan, perbedaan warna kulit, perbedaan aliran politik, perbedaan pandangan dan perbedaan lainnya yang melekat padanya karena kodrat yang diperolehnya dari Sang Pencipta sesungguhnya telah mengingkari tujuan penciptaan kita sendiri. Siapakah kita sehingga menganggap diri kita demikian sempurnanya sampai mengira bahwa keinginan kita adalah juga keinginan dari Sang Pencipta? Siapakah kita yang dengan sikap angkuh dan tidak peduli melawan sesama kita yang telah diberikan kodrat berbeda dari kita? Siapakah kita sebenarnya? Siapa?

Kepada Susan Jasmine Zulkifli (alumni 89 SMAKARA)


Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...