Walau langit
masih sama, tetapi udara di era tahun 80-an telah berbeda dengan
udara era tahun 2013 ini. Paling tidak, saat itu, kita masih dapat
menghirup hawa yang segar tanpa polusi. Tanpa sekat-sekat antara
siapa kita dan siapa mereka. Persahabatan terjadi antar pribadi tanpa
dibebani masalah apa jenis kelaminmu, apa keyakinanmu, apa partaimu,
apa sukumu dan segala macam perbedaan yang melekat pada diri kita
masing-masing. Hidup berlangsung lebih sederhana, tanpa dibuat rumit
dengan segala keingin-tahuan tentang apa dan bagaimana kita menjalani
hidup kita masing-masing. Tanpa dibebani dengan penolakan pada siapa
dia dan siapa aku. Sebab kita semua adalah sesama yang punya
kelemahan dan kelebihan sendiri-sendiri.
Entah
mengapa, makin terbuka dunia yang luas ini, makin terkunci pula kita
dalam sekat-sekat yang sempit dimana kita memilih untuk hidup dan
bahkan bersikap menentang segala yang berbeda dari siapa kita. Atau
apakah karena setiap rahasia dapat demikian mudahnya terbuka dan
tersebar maka kita berupaya memasang topeng untuk melindungi diri dan
kepentingan kita masing-masing? Ataukah karena semakin banyak manusia
maka semakin sempit pula ruang pergerakan kita yang membuat kita
berupaya dengan cara apa saja untuk mempertahankan diri dan
kepentingan diri dan kelompok kita? Karena itu, di setiap kesempatan
yang terbuka, kita pun menyobek bahkan tega untuk menghabisi mereka
yang tidak sejalan dengan kepentingan kita.
Tetapi
bukankah hidup tetap harus dijalani sesuai dengan kodrat kita. Kodrat
yang lebih sering bukan ditentukan oleh keinginan kita tetapi sesuai
dengan anugerah yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada kita
masing-masing. Dan ketika kita menentang kodrat yang telah
dianugerahkan kepada kita, sesuai dengan talenta yang unik dan khas,
tidakkah kita merasa bahwa dengan demikian kita telah melawan Sang
Pencipta kita? Pernahkah kita berhenti sejenak dan merenung setiap
kali kita ingin melakukan hal yang mencederai sesama kita yang
berbeda dan mencoba memahami apa dan mengapa mereka berbeda dari
kita? Ataukah hanya karena kepentingan sesaat sehingga kita melupakan
ketak-berdayaan kita sendiri untuk memilih dimana kita hidup kini?
Untuk itukah semua kita lakukan? Untuk itukah?
Maka sering
aku merasa betapa piciknya kita, saat kita melakukan penolakan
terhadap kodrat dan keyakinan seseorang atas nama keinginan atau
bahkan perintah Sang Pencipta, sementara kita tidak mempertanyakan
mengapa Sang Pencipta telah membuat kita masing-masing berbeda. Kita
menghasratkan hidup yang tunggal, satu jalur, satu warna, satu
keyakinan tanpa pernah mau menyadari bahwa sesungguhnya Sang Pencipta
membuat perbedaan itu agar hidup kita berjalan dengan lebih indah dan
penuh warna-warni sehingga bagi-Nya menjadi jauh lebih indah dan
bermakna. Juga bagi kita sendiri. Apa artinya hidup di tengah
kesatuan yang dipaksakan? Apa nikmatnya hidup di tengah kebersamaan
tetapi menjadi beban dalam hati? Apa indahnya hidup yang tanpa cobaan
karena segala sesuatu telah ada dan tersedia karena semuanya toh sama
saja? Apa?
Setiap
penolakan kepada seseorang bukan karena kemampuannya, tetapi karena
perbedaan jenis kelamin, perbedaan keyakinan, perbedaan warna kulit,
perbedaan aliran politik, perbedaan pandangan dan perbedaan lainnya
yang melekat padanya karena kodrat yang diperolehnya dari Sang
Pencipta sesungguhnya telah mengingkari tujuan penciptaan kita
sendiri. Siapakah kita sehingga menganggap diri kita demikian
sempurnanya sampai mengira bahwa keinginan kita adalah juga keinginan
dari Sang Pencipta? Siapakah kita yang dengan sikap angkuh dan tidak
peduli melawan sesama kita yang telah diberikan kodrat berbeda dari
kita? Siapakah kita sebenarnya? Siapa?
Kepada Susan
Jasmine Zulkifli (alumni 89
SMAKARA)
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar