28 Oktober 2013

JO

Tubuhnya yang kecil dan kurus hampir selalu terlihat dalam kegiatan apa saja yang diadakan di Paroki. Tetapi kadang dia menghilang, sehari dua hingga seminggu. Lalu hadir kembali, dengan senyum merekah, dengan tawa membahana seakan dia baru balik dari masa cuti yang menyenangkan. Mengisahkan cerita-cerita konyol yang mampu membuat pendengarnya tertawa lepas. Dan dia pun tersenyum ceria. Dengan mata yang berbinar. Seolah hatinya lepas dan tanpa beban sama sekali. Tanpa beban.

Tak banyak yang tahu, bahwa dia sedang menderita kanker ganas yang saat ini sedang menggerogoti tubuhnya.Tak banyak yang sadar betapa saat dia menghilang, itu berarti dia sedang mengalami saat-saat yang menyakitkan, penuh penderitaan dan seorang diri dalam menghadapi penyakit yang menguras seluruh tenaganya. Dia menjalani hidupnya apa adanya dengan tabah. Dengan sabar dan penuh keyakinan. Katanya suatu ketika: “Tubuh ini bisa sakit, tetapi jiwa jangan”.

Suatu ketika aku bertanya padanya, mengapa dia tidak mengunjungi dokter ahli yang kebetulan sahabatku, yang kusarankan padanya. “Belum punya dana” katanya. Dengan nada yang tenang. Dan dengan kesadaran akan keterbatasannya. Tanpa rasa sesal ataupun kekhawatiran sedikitpun. Baginya, penyakit seakan menjadi hal yang lumrah untuk dijalani, sama seperti kita menjalani hidup sehari-hari. Hidup, dengan atau tanpa penyakit, tetap berjalan sebagaimana seharusnya. Sebagaimana adanya.

Tiba-tiba aku teringat pada kalimat tua ini: “orandum est ut sit mens sana in corpore sana” (hendaknya engkau berdoa agar ada hidup yang sehat dalam tubuh yang sehat). Tetapi jika tubuh kita sakit, memang tidak seharusnya jiwa kita ikut sakit. Jiwa kita berada di dalam dan bersama tubuh yang rapuh ini, tetapi jika tubuh tidak kekal, tidak demikian dengan jiwa. Dan ketidak-kekalan takkan pernah mengalahkan kekekalan. Penyakit yang dialami oleh tubuh, adalah bagian dari kehidupan yang tidak kekal, dan ada saatnya kelak, kita akan meninggalkan semua itu dan memasuki kekekalan sehingga tidaklah pantas tubuh kita yang rapuh membuat jiwa kita pun ikut rapuh pula.

Demikianlah, dia menjalani hidupnya dengan keyakinan bahwa penderitaan adalah bagian dari hidupnya, dan tidak perlu dibagikan kepada orang lain. Hidup orang lain tidak usah disusahkan karena masing-masing manusia punya persoalannya sendiri. Yang dapat dilakukan adalah, bagaimana membuat orang lain, sebagai sesama kita, tetap dapat bergembira menikmati hidup di dunia yang tidak kekal ini. Maka setiap kehadirannya selalu menimbulkan aura kegembiraan. Selalu memacu semangat dan membuat kami pantang menyerah pada tantangan dan halangan yang ada.

Maka di saat-saat begitu banyak tembok tebal menghadang kita, di saat-saat dimana seakan begitu mustahilnya memecahkan persoalan yang sedang kita hadapi, dimana rasa sakit, pedih dan sepi menjadi penghalang dalam menjalani hidup kita di dunia ini, percayalah bahwa kekekalan jiwa kita tak pernah dapat dikalahkan oleh ketidak-kekalan dunia. Jiwa kita sungguh jauh lebih kuat dari semua halangan dan tantangan itu. Karena dia kekal. Dan selama kita teguh dalam menjalani semua gelombang kesulitan dan tantangan dalam hidup yang sementara, kelak kita akan menemui keabadian yang membahagiakan.

Tubuhnya yang kecil dan kurus seakan lemah dan tak berdaya tetapi sungguh menyimpan kekuatan dan daya yang tak habis-habisnya untuk membangkitkan semangat kami. Membuat kami bisa ikut berkata dalam hati: “derita, siapa takut.....”.


Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...