Tubuhnya yang
kecil dan kurus hampir selalu terlihat dalam kegiatan apa saja yang
diadakan di Paroki. Tetapi kadang dia menghilang, sehari dua hingga
seminggu. Lalu hadir kembali, dengan senyum merekah, dengan tawa
membahana seakan dia baru balik dari masa cuti yang menyenangkan.
Mengisahkan cerita-cerita konyol yang mampu membuat pendengarnya
tertawa lepas. Dan dia pun tersenyum ceria. Dengan mata yang
berbinar. Seolah hatinya lepas dan tanpa beban sama sekali. Tanpa
beban.
Tak banyak
yang tahu, bahwa dia sedang menderita kanker ganas yang saat ini
sedang menggerogoti tubuhnya.Tak banyak yang sadar betapa saat dia
menghilang, itu berarti dia sedang mengalami saat-saat yang
menyakitkan, penuh penderitaan dan seorang diri dalam menghadapi
penyakit yang menguras seluruh tenaganya. Dia menjalani hidupnya apa
adanya dengan tabah. Dengan sabar dan penuh keyakinan. Katanya suatu
ketika: “Tubuh ini bisa sakit, tetapi jiwa jangan”.
Suatu ketika
aku bertanya padanya, mengapa dia tidak mengunjungi dokter ahli yang
kebetulan sahabatku, yang kusarankan padanya. “Belum punya dana”
katanya. Dengan nada yang tenang. Dan dengan kesadaran akan
keterbatasannya. Tanpa rasa sesal ataupun kekhawatiran sedikitpun.
Baginya, penyakit seakan menjadi hal yang lumrah untuk dijalani, sama
seperti kita menjalani hidup sehari-hari. Hidup, dengan atau tanpa
penyakit, tetap berjalan sebagaimana seharusnya. Sebagaimana adanya.
Tiba-tiba aku
teringat pada kalimat tua ini: “orandum
est ut sit mens sana in corpore sana”
(hendaknya engkau berdoa agar ada
hidup yang sehat dalam tubuh yang sehat).
Tetapi jika tubuh kita sakit, memang tidak seharusnya jiwa kita ikut
sakit. Jiwa kita berada di dalam dan bersama tubuh yang rapuh ini,
tetapi jika tubuh tidak kekal, tidak demikian dengan jiwa. Dan
ketidak-kekalan takkan pernah mengalahkan kekekalan. Penyakit yang
dialami oleh tubuh, adalah bagian dari kehidupan yang tidak kekal,
dan ada saatnya kelak, kita akan meninggalkan semua itu dan memasuki
kekekalan sehingga tidaklah pantas tubuh kita yang rapuh membuat jiwa
kita pun ikut rapuh pula.
Demikianlah,
dia menjalani hidupnya dengan keyakinan bahwa penderitaan adalah
bagian dari hidupnya, dan tidak perlu dibagikan kepada orang lain.
Hidup orang lain tidak usah disusahkan karena masing-masing manusia
punya persoalannya sendiri. Yang dapat dilakukan adalah, bagaimana
membuat orang lain, sebagai sesama kita, tetap dapat bergembira
menikmati hidup di dunia yang tidak kekal ini. Maka setiap
kehadirannya selalu menimbulkan aura kegembiraan. Selalu memacu
semangat dan membuat kami pantang menyerah pada tantangan dan
halangan yang ada.
Maka di
saat-saat begitu banyak tembok tebal menghadang kita, di saat-saat
dimana seakan begitu mustahilnya memecahkan persoalan yang sedang
kita hadapi, dimana rasa sakit, pedih dan sepi menjadi penghalang
dalam menjalani hidup kita di dunia ini, percayalah bahwa kekekalan
jiwa kita tak pernah dapat dikalahkan oleh ketidak-kekalan dunia.
Jiwa kita sungguh jauh lebih kuat dari semua halangan dan tantangan
itu. Karena dia kekal. Dan selama kita teguh dalam menjalani semua
gelombang kesulitan dan tantangan dalam hidup yang sementara, kelak
kita akan menemui keabadian yang membahagiakan.
Tubuhnya yang
kecil dan kurus seakan lemah dan tak berdaya tetapi sungguh menyimpan
kekuatan dan daya yang tak habis-habisnya untuk membangkitkan
semangat kami. Membuat kami bisa ikut berkata dalam hati: “derita,
siapa takut.....”.
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar