Kita mungkin
pernah mengalami situasi dimana ketika kita akan melakukan sesuatu
yang tidak pantas, kita akan dihinggapi perasaan ragu, khawatir
bahkan mungkin juga rasa takut. Setelah itu muncullah rasa sesal dan
sedih atas apa yang telah kita lakukan. Semuanya itu merupakan
bisikan hati nurani kita yang mengusik saat kita mau dan telah
melakukan sesuatu yang tidak layak dan tidak pantas.
Tetapi ketika
sesuatu yang tidak pantas itu kita lakukan kembali, sekali dua kali
dan akhirnya berulang kali, bisikan itu akan melemah dan bahkan
mungkin akan menghilang sama sekali. Sesuatu yang semula terasa tidak
pantas akan menjadi lumrah. Dan perasaan sesal dan takut akan
menghilang, bahkan bisa berganti menjadi rasa bangga dan penuh
kepercayaan diri. Demikianlah hati nurani yang mengawal kita dari
kesalahan akhirnya akan mati dan menghilang dari perasaan kita.
Maka di saat
kebebalan menguasai kebajikan, di saat kebencian mengalahkan
kepercayaan, di saat kekerasan menghancurkan kedamaian, kita akan
menuju kegagalan untuk saling memahami. Kita hidup hanya demi dan
bersama kepentingan diri dan kelompok kita saja. Diluar dari kita
adalah musuh harus dilawan. Bahkan harus dihancurkan dan dimusnahkan.
Dengan intimidasi. Dengan kekerasan.
Demikianlah
kita membunuh hati nurani kita sendiri. Kebiasaan-kebiasaan yang
dipupuk-kembangkan sambil meninggalkan kekhawatiran, ketakutan bahkan
melepaskan rasa sesal kita atas para korban yang berjatuhan, bahkan
dengan bangga kita berdiri sambil berseru lantang, “semua ini demi
untuk membela dan diinginkan oleh Yang Maha Kuasa...” Entah atas
pemikiran bagaimana, kita, yang mengakui kemaha-kuasaan dari Sang
Pencipta, bisa merasa jauh lebih kuat dan lebih kuasa dari Sang
Pencipta itu sendiri.
Tetapi
tidakkah kita diciptakan oleh kesempurnaan sebagai yang tidak
sempurna? Dan karena kelemahan itulah maka kita diberikan perasaan,
bisikan hati nurani, yang seharusnya kita ikuti tetapi ternyata kita
tinggalkan dan kita lupakan begitu saja? Maka dengan penuh
kegundahan, setiap hari aku membaca, mendengar dan menonton
berita-berita yang bermunculan sambil memikirkan betapa hati nurani
telah hilang dan dilupakan begitu saja. Dan Sang Pencipta yang setiap
saat kita sembah dan kita puja, mendadak menjadi manusia biasa sama
seperti kita dalam ketidak-sempurnaan-nya karena harus dibela dan
diwujudkan keinginannya oleh kita. Yang tidak sempurna telah
menguasai kesempurnaan. Dan hati nurani pun lenyap. Mati. Haruskah
demikian?
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar