07 Januari 2009

8 JANUARI 2009, SEBELUM FAJAR MENYINGSING

Pagi ini aku terbangun dengan perasaan hampa. Ada sesuatu yang terasa hilang dari hatiku. Di luar, langit belum lagi terang. Dan udara yang dingin menyergap tubuhku saat aku membuka pintu rumahku. Gerimis sedang turun. Selain itu hanya ada sepi. Hanya sepi. Langit memerah karena mendung tebal sedang berarak. Bayang-bayang pohon palem depan rumahku bergerak terhembus angin yang bertiup cukup kencang. Bagaikan siluet dalam cahaya yang masih samar. Siluet yang bergoyang-goyang, bagaikan ingin memanggil diriku. Memanggil untuk menikmati alam sambil menanti cahaya fajar tiba. Cahaya fajar dalam kelabunya mendung.

Sambil duduk di teras, aku mencoba untuk menikmati dan menyerap keseluruhan yang ada dalam pandangan mataku ke dalam diriku. Semuanya terasa hening. Semuanya terasa damai. Namun perasaan yang hampa ini tak mau juga sirna. Aku merasa gamang. Aku merasa gejolak pemikiran simpang siur dalam otakku. Sementara di luar tubuh ini suatu panorama alam yang sejuk dan damai menghampiriku, aku serupa sesuatu yang jauh, jauh dari dunia ini. Terasa ada jarak walau telah kucoba untuk menghilangkan batas-batas tubuhku dengan alam. Aku ada. Alam ada. Namun keduanya tak saling bersentuhan. Saling tak memahami. Saling tak berbaur. Mengapa?

Awal Januari dengan penanggalan yang terus berjalan. Hari demi hari berlalu, dan lembar demi lembar helai tanggal disobek dan dibuang. Serta dilupakan. Namun pernahkah aku melupakan diriku sendiri? Bisakah aku menanggalkan, membuang serta melupakan segala kenangan yang telah kualami di waktu-waktu yang telah lalu? Terasa ada sesuatu yang menjadi bayang-bayang semu. Nampak tetapi tak teraba. Terasa tetapi tak nampak. Dan semuanya bergolak dalam jiwa yang seakan-akan diam. Seakan-akan. Dan hanya seakan-akan.

Mendadak, tanpa tanda-tanda awal, hujan deras mengguyur. Namun, apa yang tadinya hanya samar-samar dalam bayang malam, mulai menampakkan bentuknya. Hujan deras mengguyur dan mendung tebal menutup langit, namun tak kuasa mampu menghentikan datangnya sang pagi. Dan walau sang surya tak menampakkan diri, sembunyi di balik awan mendung tebal, tak ada sesuatu pun yang mampu membuat cahayanya hilang. Aku menyaksikan semua ini sambil merenungkan segala apa yang kurasakan sekarang. Cahaya pagi takkan mampu dibendung bahkan oleh mendung yang paling pekat pun. Dan walau tak nampak, dia selalu akan hadir. Selalu akan hadir. Lalu, untuk apa aku harus membiarkan segala kekecewaan ini jika aku tahu bahwa hari yang baru pasti akan hadir? Ya, untuk apa aku harus membiarkan diriku terbenam dalam kesedihan dan keputus-asaan jika aku tahu bahwa malam pasti akan berganti pagi? Untuk apa?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...