11 Januari 2009

SEORANG LELAKI TUA DAN SEORANG WANITA REMAJA

Ada orang yang berusia lanjut, namun hanya mengalami sedikit. Ada pula yang baru memasuki masa remajanya tetapi telah mengalami banyak, ya banyak hal dalam kehidupan ini. Sulitnya adalah, sebagian dari mereka-mereka yang berusia lanjut merasa telah mengetahui banyak dan karena itu merasa mampu untuk mengadili mereka yang jauh lebih muda dari mereka. Padahal, apa artinya usia selain dari waktu yang berjalan dalam kalender buatan manusia?

Suatu pagi yang belum terlalu ramai, lelaki tua itu bersama kelompok teman-temannya, mendatangi rumah wanita remaja itu. Mereka menggerebek masuk, lalu menarik keluar wanita itu, menjambak rambutnya, menempeleng wajahnya dan menendangnya hingga jatuh tersungkur di tanah. Wanita itu berteriak kesakitan, rasa takut nampak jelas di matanya, namu dia tidak menangis. Tidak. Lelaki tua itu memakinya, "Pelacur hina! Enyah dari kampung kami. Kami tidak butuh wanita jalang seperti kalian!" dan seorang lain berseru, "Ayo telanjangi dia..." sambil tertawa. Ya, sambil tertawa. Beberapa pria itu melakukan pelecehan terhadap tubuh wanita itu, yang tidak berdaya sama sekali, sambil dengan setengah histeris berteriak, "Pelacur... Pelacur..." Ah, siapakah yang pelacur sebenarnya?

Lelaki tua itu berusia sekitar 60 tahun. Lahir dari keluarga yang berada dan taat pada agamanya. Dibesarkan dari orang tua yang amat memanjakannya, saat remaja bersekolah di sekolah yang cukup ternama, lalu kemudian menikah dan mempunyai 6 orang anak. Hidup secara tenang dan berkecukupan dari beberapa usaha hasil warisan orang tuanya. Dia menjalani hidup secara lurus dan setahuku, nyaris tanpa gejolak. Amat membenci perbuatan-perbuatan yang dianggapnya dosa dan tidak sesuai dengan perintah agamanya. Dia amat menjunjung kebenaran yang dianutnya secara keras dan, bahkan fanatik.

Sebaliknya, wanita remaja itu lahir dari keluarga penarik becak yang punya beberapa istri, pemabuk serta tidak mampu untuk menghidupi dirinya sendiri. Wanita itu bersekolah namun tidak menamatkan sekolah dasar karena tidak punya biaya. Masa remajanya diisi tanpa pekerjaan apapun, berpacaran dengan seorang tukang becak lainnya, yang lalu menghamilinya kemudian menghilang entah kemana. Dengan terpaksa dia melahirkan seorang bayi perempuan dengan bantuan dukun tua. Dan dia tidak mampu untuk membiayai bayinya sendiri, sebab itu lalu dijualnya ke seseorang yang menjadi makelar untuk keluarga-keluarga yang mandul. Wanita itu kemudian bekerja malam di sebuah tempat karaoke sebagai penghibur bagi lelaki yang kesepian. Gaji yang diterimanya amat kecil untuk mampu menghidupi dirinya dan juga ibunya yang sekarang menjadi tanggungannya, sementara ayahnya sendiri telah meninggalkan mereka beberapa waktu yang lalu (ayahnya menceraikan ibunya). Maka dengan terpaksa dia menerima tawaran dari tamu-tamu yang kesepian untuk menemani mereka di hotel-hotel murahan di dekat tempat kerjanya agar mendapatkan penghasilan tambahan. Ada tawa di wajahnya namun tangis di hatinya.

Lokasi rumahnya di sebuah perkampungan yang biasa-biasa saja dan nampak normal. Keluarga-keluarga saling memperhatikan, saling mempergunjingkan dan bahkan saling menyindir dan saling iri hati seperti di daerah mana saja yang kehidupannya keras dan padat, di sebuah kota besar yang kejam terhadap mereka yang tak memilki apapun untuk dibanggakan. Kehidupan malam yang dijalani wanita itu lalu menjadi gunjingan dan sindiran dari tetangga-tetangganya sendiri yang berdekatan. Tampilannya yang setiap malam nampak menur dan berpupur, bajunya yang kelihatan modern dan seksi, serta kebiasaannya sesekali pulang saat fajar sudah hampir jelang, akhirnya membuat lelaki tua itu menjadi gusar karena perbuatan-perbuatan itu, baginya, merupakan pelanggaran akhlak dan susila yang tak bisa dibiarkan begitu saja jika tidak ingin Tuhan marah. Ya, jika tidak ingin Tuhan marah, katanya. Maka dengan beberapa orang, dia pun mendatangi rumah wanita muda itu, mengobrak-abriknya dan membiarkan wanita itu terhempas di tanah, nyaris setengah telanjang, disaksikan oleh ibu wanita itu yang telah tua dan tak hentinya menangis minta tolong. Tetapi orang-orang tidak peduli. Bahkan Tuhan pun tidak peduli. Wanita itu diusir dari rumahnya sendiri. Dari rumahnya sendiri.

Siapa yang ingin bersedih, bersedihlah. Tetapi pengalaman seringkali takkan mampu dituturkan dengan baik selain dari menjalaninya sendiri. Ya, hidup adalah mengalami. Dan seseorang yang hidupnya nyaman dan tenteram, merasa taat dan alim, tidak kekurangan sesuatu dan tidak pernah tertipu oleh sesamanya karena memiliki kekuatan-kekuasaan-kekayaan dan seorang jantan, takkan pernah tahu apa artinya hidup itu. Baginya, Tuhan selalu bersama mereka. Baginya, Tuhan adalah mereka. Tangis seorang wanita hanya topeng atas kenikmatan yang diingininya sendiri. Tetapi betulkah itu suatu kebenaran? Sungguhkah bahwa Tuhan amat membenci wanita-wanita penghibur itu? Dimanakah para lelaki yang menghibur diri bersama mereka? Dimanakah? Mungkin, saat itu, dengan manisnya mereka sedang memeluk istrinya sendiri sambil merayu-rayu menyenangkan hati. Mungkin, saat itu, mereka sedang memangku putrinya sambil menyanyikan lagu nina bobo. Atau bahkan sedang membujuk-bujuk cucunya yang sedang merengek-rengek. Mungkin. Siapa yang tahu?

Kesedihan adalah kesedihan. Kepahitan adalah kepahitan. Tetapi mengadili dan mendakwa mereka-mereka yang lemah, mereka-mereka yang tak mampu namun tetap berusaha dan berjuang untuk hidup dengan cara apapun –karena kita tak mampu memberi pilihan lain– seakan menambah beban kehidupan ini menjadi kian berat. Saat itu, kita sebenarnya telah gagal untuk mengubah seseorang menuju kebenaran. Sebaliknya kita bahkan mendorong orang itu makin dalam ke dalam kegelapan hidupnya. Jadi, siapakah kita sebenarnya? Apakah kita merasa, bahwa dengan bertambahnya usia kita, kita akan makin matang dan makin berpengalaman menjalani hidup ini? Apakah dengan tindakan yang keras terhadap seseorang yang kita anggap berdosa dan bersalah berarti kita telah memenuhi perintah Tuhan? Ah, siapakah kita ini sesungguhnya, teman? Siapakah?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...