10 Januari 2009

DENDAM, UNTUK APA?

"Dendam, untuk apa?" tanyanya. Matanya tajam memandangku. Kerutan di bawah pelupuknya nampak jelas. Rambutnya sebagian besar telah beruban. Garis ketuaan dan derita membayang di wajahnya. "dendam, untuk apa?" tanyanya pula. Aku tak mampu menjawabnya. Dia, saat ini berusia 55 tahun, seorang pria yang tetap membujang. Masih keluarga jauh denganku. Aku tahu dia. Seorang pria yang amat baik dan lugu. Dengan kebaikan dan keluguannya, sering dia dimanfaatkan oleh teman-temannya yang telah banyak mengambil keuntungan dari kemampuannya. Sementara dia sendiri, saat ini, sama sekali tak memiliki apa-apa. Selain dirinya sendiri. Dirinya sendiri.

Dia telah bekerja di banyak tempat. Dan memiliki banyak kemampuan. Tetapi sungguh nyata, bahwa dia sendiri tetap hidup dengan kekurangan dan kepapaannya. Bagaimana ini dapat dijelaskan? Dia bekerja untuk kepentingan orang lain. Dia bekerja dan segala hasilnya diraup oleh yang mempekerjakannya. Dia telah masuk hutan di Kalimantan, dan terakhir di Papua. Sebagai mandor para pekerja yang bertugas untuk menebang pepohonan. Aku sendiri tak tahu mengapa saat ini dia nampak seakan terlunta-lunta. Terakhir, tuturnya, saat bertugas di Papua, dia bekerja si sebuah unit perusahaan yang akhirnya bangkrut karena terlibat illegal loging. Upahnya tak dibayar sesen pun. Dan dia pulang tanpa memiliki apa-apa. Bagaimana ini bisa terjadi?

Dulu, semasa aku masih kecil, aku ingat dia sebagai seorang remaja yang sangat lincah dan mudah bergaul. Dengan tangkas, dia akan membetulkan semua permainanku yang rusak. Membetulkan gasingku, membuatkan aku layang-layang sekalian dengan benangnya yang dilumuri adukan dari kaca halus agar dapat menang dalam persaingan tanding layang-layang yang semasa kanak-kanak dulu sering kami adakan. Dia kukenal sebagai seorang remaja yang memiliki banyak teman dan sahabat, membentuk gang-nya sendiri dan sesekali terlibat dalam perkelahian antar gang yang masih sering terjadi. Tetapi bagaimana pun, aku kenal dia sebagai seorang pria yang lembut hati dan pemurah. Serta ringan tangan membantu kami, anak-anak yang masih senang berkeliaran dengan mainan dari kulit jeruk yang dibuatkannya bagi kami.

Setelah aku bersekolah, kemudian aku mulai kehilangan kabar darinya. Aku masih bertemu beberapa kali, tetapi hanya selintas dalam beberapa kegiatan keluarga yang diadakan. Yang kutahu kemudian hanya bahwa dia, selepas SMA bekerja di Jawa, lalu ke Kalimantan dan terakhir di Papua. Aku bertemu kembali dengannya saat melayat ke rumah duka saat ibunya meninggal. Dengan terkejut aku memandangnya dan menjadi pangling. Dia telah berubah. Berubah sekali. Nampak jauh lebih tua dari umurnya, wajahnya kuyu dan tubuhnya yang dulu nampak berotot dan amat kuat, kini menyusut banyak. Waktu nampaknya telah memakan semua yang dimilikinya. Segalanya.

Dan beberapa waktu setelah itu, kami berjumpa kembali lalu saling bertukar kisah. Dia menyatakan kekesalannya terhadap beberapa orang yang telah menipunya habis-habisan. Yang telah memanfaatkan dirinya namun tak pernah memberikan imbalan setimpal. Aku terpana, takjub sekaligus heran. Inikah dia, remaja yang dulu nampak amat aktip, kreatip dan nampaknya bahkan mampu menguasai seluruh dunia dengan keahliannya. Ternyata tersisa hanya sesosok diri yang nampak lemah, pasrah dan tak berdaya. Dia juga tak menikah hanya karena telah ditolak oleh gadis yang dicintainya. Dan masih dicintainya hingga sekarang. Apakah yang dia alami sebenarnya? Kekecewaan? Dendam? Putus asa? Kepasrahan terhadap nasib? Apakah yang dipikirkannya? Aku tak tahu. Aku sungguh tak tahu.

"Dendam, untuk apa?" tanyanya kembali saat aku menanyakan apakah dia mendendam terhadap mereka-mereka yang telah menipunya. "Apakah balas dendam akan mampu mengembalikan semua harapanku? Apakah balas dendam bisa mengembalikan semua waktu-waktuku yang telah hilang? Bisakah? Jika tidak, untuk apa aku harus mendendam?" Aku berdiam diri. Aku tak mampu menjawabnya. Hanya wajahnya yang nampak tua, terus menerus membayangiku. Bahkan saat aku meninggalkan rumah yang ditinggalinya, rumah kecil yang dipenuhi oleh beberapa keluarga sekaligus, karena dia sendiri tak memilki rumah sendiri, wajahnya terus membayangiku.

Apakah ini nasibnya? Adakah nasib manusia itu memang telah ditentukan, sehingga kita harus menerima semuanya dengan kepasrahan dan sekaligus apatisme? Apakah melawan ketidak-benaran memang suatu hal yang tidak perlu dan sekaligus tidak berguna? Mendadak, ya mendadak saja aku berpikir, bahwa dia mungkin tidak merasa dendam lagi terhadap mereka-mereka yang telah menipunya dan telah menjerumuskannya ke dalam ketidak-berdayaan seperti yang dialaminya sekarang ini. Tidak, dia memang tidak mendendam terhadap dunia ini. Tetapi, ya tetapi bukankah sebagai akibatnya, dia ternyata mendendami dirinya sendiri? Dengan membiarkan dirinya tenggelam dalam rasa putus asa, tidak berguna dan tidak mau berbuat apa-apa lagi? Jadi dimanakah dirinya kini? Dimanakah dia yang sesungguhnya? Dimanakah?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...