Pernahkah kita merenungkan sesekali,
betapa tak bermanfaatnya kekecewaan itu? Setiap kali kita kecewa
karena sesuatu terjadi tidak sejalan dengan pemikiran kita, selalu
tersembunyi satu kepastian bahwa kita tidak mungkin menguasai segala
hal. Misalnya, setelah kita berjuang untuk mengubah situasi kerja
agar lebih baik, ternyata kemudian pengganti kita malah merusak semua
perubahan itu justru menjadi lebih buruk. Atau ketika kita telah
berupaya untuk mengarahkan seseorang agar dapat berkembang ke arah
yang benar – menurut kita – ternyata kemudian dia menolaknya dan
berjalan dengan gayanya sendiri yang – sekali lagi menurut kita –
ternyata lebih salah. Dan betapa pada akhirnya, sia-sia semua yang
telah kita usahakan. Bahkan sikap melawan terhadap rasa kecewa itu
dengan menyesali atau memaksa orang sesungguhnya adalah sebuah tanda
bahwa kita ini lemah dan tak berdaya. Kekerasan hanya membuktikan
betapa sesungguhnya kita hanya sendirian dalam membentuk kebenaran
yang kita bayangkan. Dan kekerasan hanya akan menimbulkan kekerasan
yang sama tak bergunanya bahkan merusak kehidupan itu sendiri.
Kekecewaan memang
sering terjadi karena kita menolak apa yang sedang terjadi. Karena
apa yang sedang terjadi sungguh diluar kemampuan kita untuk
menatanya. Kita tidak mungkin mengubah seseorang yang memiliki
perasaan dan pemikiran sendiri. Kita pun sering mengakui betapa tidak
mungkinnya kita untuk mengatur jalannya kondisi kita sendiri. Sekeras
apapun kita berusaha. Sesulit bagaimanapun kita memikirkannya. Ada
banyak hal yang berada diluar kemampuan kita sendiri. Jadi perlukah
kekecewaan itu menaklukkan perasaan kita? Tidakkah dengan kesadaran
kita, kita semua harus mengakui bahwa memang tidak semua hal harus
sejalan dengan keinginan kita belaka? Tetapi hidup memang demikian
adanya.
Banyak peristiwa yang terjadi karena
memang harus terjadi. Jika kita kecewa atas hal itu, bukankah itu
semua sebenarnya tidak perlu? Karena memang di luar jangkauan kita.
Karena kita tidak mungkin memaksa orang lain atau kita tidak mungkin
memaksa alam semesta untuk mengikuti keinginan kita. Maka jika
demikian adanya, bukankah kekecewaan kita hanya sia-sia belaka? Hanya
merusak diri dan hidup kita sendiri? Ya, sumber dari semua rasa
kecewa kita berasal dari penolakan kita untuk menerima kehidupan ini
apa adanya. Maka kita harus berdamai dengan diri kita. Kita harus
menerima dan menghadapi kenyataan yang ada, tanpa perlu berpikir
untuk dan bertindak sebagai penguasa kehidupan ini. Sebab memang,
tidak demikian adanya.
Hidup adalah sebuah kenyataan yang kita
harus rasakan. Dan pengalaman yang mesti kita alami. Tetapi bukan
berarti bahwa pengalaman yang nyata itu dapat kita kuasai dan bentuk
sebagaimana yang kita inginkan. Bahkan sering kita sendiri – sadar
atau tidak – merasakan bahwa menguasai diri sendiri juga bukan
merupakan hal yang mudah. Bukankah kita sering tidak memahami mengapa
kita ternyata melakukan hal-hal tertentu yang ternyata salah?
Bukankah kita sering merasa menyesali diri atas apa yang telah kita
perbuat? Dan dapatkah kita mengembalikan apa yang telah terjadi
akibat kelakuan kita? Tentu tidak. Pada akhirnya, yang bisa kita
lakukan hanyalah berdamai dengan diri kita. Rasa sesal mungkin
mengganggu tetapi yang jauh lebih penting adalah belajar untuk
memahami hidup ini sendiri. Berdamai dengan perasaan sesal dan kecewa
itu untuk kemudian menerima kenyataan sambil memulai kembali
langkah-langkah hidup yang baru.
Maka percayalah, bahwa setiap hari
dalam kehidupan ini selalu menjadi hari yang baru. Selalu berarti
kesempatan bagi kita untuk berubah. Maka kebahagiaan berarti bahwa
dalam kesadaran kita, harus ada pengakuan betapa tidak semua hal bisa
sejalan dengan pemikiran dan keinginan kita sendiri. Hidup berjalan
sebagaimana adanya dan kita harus menerimanya sebagaimana adanya
pula. Tanpa sesal. Tanpa kecewa. Hanya menerima. Dan menikmatinya.
Penderitaan selalu berarti bahwa kita menolak kondisi kita. Dan
karena itu menolak diri kita. Betapa sia-sianya hidup yang kita
jalani ini seandainya setiap saat kita hanya menolak apa yang tak
mungkin kita ubah dan apa yang tak mungkin kita kuasai. Hidup bukan
milik kita semata. Tetapi milik Sang Pemberi Kehidupan. Dan Dia telah
memberi kita kesadaran untuk merenungkan semua situasi dan kondisi
yang sedang kita jalani saat ini. Lalu mendamaikan jiwa kita bersama
kehendak-Nya. Berusahalah sekuat tenaga dan terimalah apa saja yang
terjadi. Maka kita pun akan menikmati hidup pemberian-Nya. Kita
semua.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar