Per caliginem ad lucem
Pernahkah kita menyadari betapa hidup
ini saling terkait satu sama lain? Setiap tindakan, setiap perbuatan
kita pasti akan mempunyai dampak terhadap orang lain. Sesederhana
apapun yang kita lakukan, selalu akan membawa pengaruh, entah baik
entah buruk, terhadap sesama. Sesungguhnya tak ada orang yang dapat
hidup hanya dengan dirinya sendiri. Apalagi memastikan bahwa
perbuatannya hanya akan berakibat pada hidupnya. Kecuali jika dia
sungguh terasing dan hidup hanya seorang diri di suatu pulau
terpencil. Itu pun, setiap apa yang diperbuatnya pasti akan berdampak
pada lingkungan sekelilingnya.
Demikianlah setiap kita tidak bisa
hanya memikirkan diri dan kepentingan kita sendiri dalam setiap
perbuatan yang kita lakukan. Dan sebab itu, percayalah bahwa setiap
kita selalu punya makna, punya arti di dalam keberadaan kita di dunia
ini. Maka jika kita kecewa, janganlah mengecewakan orang lain. Jika
kita merasa disia-siakan, jangan pula lalu menyia-nyiakan orang lain.
Pengalaman kita seharusnya dapat membuat kita belajar tentang arti
apa yang sedang alami. Jadikanlah hidup ini berguna. Belajarlah dari
pengalaman pahit dan pedih yang telah kita alami untuk tidak
mengulanginya, tidak hanya untuk diri kita tetapi juga kepada orang
lain. Karena kita sendiri tahu apa arti kepahitan itu. Bagaimana rasa
kepedihan itu.
Renungan ini kutulis setelah bertemu
dengan seorang teman masa laluku. Betapa tidak, dulu dia sangat
terkenal sangat bengal, bergelimang dalam kekerasan dan menjadi anak
jalanan yang sering memeras orang lewat terutama saat malam di
jalanan perumahan yang gelap. Bahkan suatu waktu pernah tertangkap,
diadili dan dipenjarakan selama 2 tahun karena terlibat dalam
perkelahian yang memakan korban. Dan dia dituduh sebagai pelaku
utamanya. Tetapi dapatkah dia dipersalahkan? Dia berasal dari
keluarga yang sama sekali memang tidak harmonis. Ayahnya seorang
pemabuk sementara ibunya terkenal sebagai seorang penjudi. Mereka
tiga orang bersaudara, dan dia sebagai yang sulung, hanya sempat
menyelesaikan SMP sementara adik-adiknya saat itu masih SD.
“Saat di penjara, saya merasa resah
dan juga penuh dengan kemarahan karena merasa telah dikurbankan oleh
teman-temanku...” tuturnya. “Saya dipenuhi dendam. Saya ingin
membalas. Saya ingin....” katanya kepadaku dengan pandangan mata
yang sayu. “Lalu mengapa tidak?” tanyaku kepadanya. “Sebab
sekeluar dari penjara, saya kemudian menemukan satu kenyataan lain
dari keluargaku sendiri. Ayahku meninggal karena kanker hati saat
saya masih dalam penjara. Sementara ibuku, menderita sakit dan tidak
mampu lagi untuk bekerja menghidupi keluarga kami. Dua orang adikku
saat itu menjadi pengumpul karton dan plastik bekas, berkeliling
kemana-mana untuk mencari uang. Untuk makan. Untuk biaya pengobatan
ibu kami. Untuk dapat bertahan hidup. Mereka bahkan tidak sekolah
lagi.....”
“Saat itulah aku berpikir, apakah
situasi kami harus tetap demikian? Apakah nasib kami harus selalu
tenggelam dalam kehidupan yang tanpa harapan? Tidakkah jika aku
kembali hidup dengan pola lama, maka kami tidak akan dapat berubah
selamanya. Jika demikian, untuk apakah hidup ini? Tidak, tidak saja
untuk diriku, tetapi terutama untuk adik-adikku, aku menyadari bahwa
apapun yang akan kulakukan, pasti akan berpengaruh kepada keluarga
kami. Tidak, kami harus mampu untuk bangkit, harus dapat berdiri
kembali. Hidupku sendiri adalah suatu pelajaran yang bukan untuk
diulangi tetapi untuk dicegah terulang kembali. Maka aku kemudian
membantu adik-adikku, memulung karton dan plastik bekas yang kemudian
kami kumpulkan bersama. Dan dari seorang teman, aku diperkenalkan
dengan seorang bos di Surabaya yang bersedia untuk membeli hasil
memulung kami itu...”
“Dan inilah aku sekarang” katanya
bangga. Aku memandang ke rumahnya yang cukup luas, dengan gudang
besar untuk menampung hasil-hasil dari puluhan pemulung yang setiap
hari membawa hasil mereka. Dan kedua adiknya pun ternyata saat ini
sudah berdiri sendiri, tetapi masing-masing dengan ciri khas yang
berbeda. Sementara dia hanya menampung karton-karton bekas, adiknya
mengkhususkan diri ke plastik dan besi tua. Mereka hidup layak
bersama keluarga masing-masing. “Pengalaman hidup haruslah membuat
kita belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Haruslah
membuat kita berubah. Dan setiap perubahan yang kita lakukan, selalu
akan berpengaruh bagi orang lain. Saya bersyukur dapat kesempatan
tetapi menurut saya, sebenarnya kesempatan selalu ada. Hanya kita
perlu mencarinya. Dan tidak hanya pasrah dan mengikuti keinginan
dirinya sendiri. Hidup, bagaimana pun kelamnya, haruslah kita terobos
untuk menemui terang. Bukankah begitu?”
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar