08 Mei 2013

SOSOK


Per caliginem ad lucem

Pernahkah kita menyadari betapa hidup ini saling terkait satu sama lain? Setiap tindakan, setiap perbuatan kita pasti akan mempunyai dampak terhadap orang lain. Sesederhana apapun yang kita lakukan, selalu akan membawa pengaruh, entah baik entah buruk, terhadap sesama. Sesungguhnya tak ada orang yang dapat hidup hanya dengan dirinya sendiri. Apalagi memastikan bahwa perbuatannya hanya akan berakibat pada hidupnya. Kecuali jika dia sungguh terasing dan hidup hanya seorang diri di suatu pulau terpencil. Itu pun, setiap apa yang diperbuatnya pasti akan berdampak pada lingkungan sekelilingnya.

Demikianlah setiap kita tidak bisa hanya memikirkan diri dan kepentingan kita sendiri dalam setiap perbuatan yang kita lakukan. Dan sebab itu, percayalah bahwa setiap kita selalu punya makna, punya arti di dalam keberadaan kita di dunia ini. Maka jika kita kecewa, janganlah mengecewakan orang lain. Jika kita merasa disia-siakan, jangan pula lalu menyia-nyiakan orang lain. Pengalaman kita seharusnya dapat membuat kita belajar tentang arti apa yang sedang alami. Jadikanlah hidup ini berguna. Belajarlah dari pengalaman pahit dan pedih yang telah kita alami untuk tidak mengulanginya, tidak hanya untuk diri kita tetapi juga kepada orang lain. Karena kita sendiri tahu apa arti kepahitan itu. Bagaimana rasa kepedihan itu.

Renungan ini kutulis setelah bertemu dengan seorang teman masa laluku. Betapa tidak, dulu dia sangat terkenal sangat bengal, bergelimang dalam kekerasan dan menjadi anak jalanan yang sering memeras orang lewat terutama saat malam di jalanan perumahan yang gelap. Bahkan suatu waktu pernah tertangkap, diadili dan dipenjarakan selama 2 tahun karena terlibat dalam perkelahian yang memakan korban. Dan dia dituduh sebagai pelaku utamanya. Tetapi dapatkah dia dipersalahkan? Dia berasal dari keluarga yang sama sekali memang tidak harmonis. Ayahnya seorang pemabuk sementara ibunya terkenal sebagai seorang penjudi. Mereka tiga orang bersaudara, dan dia sebagai yang sulung, hanya sempat menyelesaikan SMP sementara adik-adiknya saat itu masih SD.

“Saat di penjara, saya merasa resah dan juga penuh dengan kemarahan karena merasa telah dikurbankan oleh teman-temanku...” tuturnya. “Saya dipenuhi dendam. Saya ingin membalas. Saya ingin....” katanya kepadaku dengan pandangan mata yang sayu. “Lalu mengapa tidak?” tanyaku kepadanya. “Sebab sekeluar dari penjara, saya kemudian menemukan satu kenyataan lain dari keluargaku sendiri. Ayahku meninggal karena kanker hati saat saya masih dalam penjara. Sementara ibuku, menderita sakit dan tidak mampu lagi untuk bekerja menghidupi keluarga kami. Dua orang adikku saat itu menjadi pengumpul karton dan plastik bekas, berkeliling kemana-mana untuk mencari uang. Untuk makan. Untuk biaya pengobatan ibu kami. Untuk dapat bertahan hidup. Mereka bahkan tidak sekolah lagi.....”

“Saat itulah aku berpikir, apakah situasi kami harus tetap demikian? Apakah nasib kami harus selalu tenggelam dalam kehidupan yang tanpa harapan? Tidakkah jika aku kembali hidup dengan pola lama, maka kami tidak akan dapat berubah selamanya. Jika demikian, untuk apakah hidup ini? Tidak, tidak saja untuk diriku, tetapi terutama untuk adik-adikku, aku menyadari bahwa apapun yang akan kulakukan, pasti akan berpengaruh kepada keluarga kami. Tidak, kami harus mampu untuk bangkit, harus dapat berdiri kembali. Hidupku sendiri adalah suatu pelajaran yang bukan untuk diulangi tetapi untuk dicegah terulang kembali. Maka aku kemudian membantu adik-adikku, memulung karton dan plastik bekas yang kemudian kami kumpulkan bersama. Dan dari seorang teman, aku diperkenalkan dengan seorang bos di Surabaya yang bersedia untuk membeli hasil memulung kami itu...”

“Dan inilah aku sekarang” katanya bangga. Aku memandang ke rumahnya yang cukup luas, dengan gudang besar untuk menampung hasil-hasil dari puluhan pemulung yang setiap hari membawa hasil mereka. Dan kedua adiknya pun ternyata saat ini sudah berdiri sendiri, tetapi masing-masing dengan ciri khas yang berbeda. Sementara dia hanya menampung karton-karton bekas, adiknya mengkhususkan diri ke plastik dan besi tua. Mereka hidup layak bersama keluarga masing-masing. “Pengalaman hidup haruslah membuat kita belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Haruslah membuat kita berubah. Dan setiap perubahan yang kita lakukan, selalu akan berpengaruh bagi orang lain. Saya bersyukur dapat kesempatan tetapi menurut saya, sebenarnya kesempatan selalu ada. Hanya kita perlu mencarinya. Dan tidak hanya pasrah dan mengikuti keinginan dirinya sendiri. Hidup, bagaimana pun kelamnya, haruslah kita terobos untuk menemui terang. Bukankah begitu?”

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...