Ada sebuah kisah tentang sebuah
keluarga yang membuka toko kelontong kecil di suatu perumahan di
kotaku. Sebuah toko yang cukup laris dan mempunyai cukup banyak
langganan. Enciknya sangat baik, ramah dan senang menolong. Jika ada
yang sedang berduka, dia selalu datang membantu. Dan suatu saat
ketika banjir menggenangi perumahan itu, dalam keadaan yang juga
kebanjiran, dia memberikan banyak bantuan kepada masyarakat di
sekelilingnya. Dan setiap saat dia selalu membuka pintunya untuk
mengadakan doa lingkungan di rumahnya. Salah satu yang menyolok
ketika kita memasuki tokonya adalah sebuah salib besar dengan corpus
tergantung pada dinding menghadap ke jalan raya.
Keluarga itu hidup cukup dikenal di
masyarakat sekitar karena kebaikan dan keramahan mereka. Juga
terutama karena sikap sosial yang mereka miliki. Walau encik itu
jarang hadir di doa lingkungan namun dia selalu menerima kami saat
giliran doa di rumahnya tiba. Kemudian satu peristiwa kerusuhan
terjadi. Banyak toko yang diserbu, dirampok bahkan ada yang sampai
dibakar massa. Tetapi tidak di lingkungan rumah mereka. Juga, tidak
ada yang mengusik keluarga lain yang berdiam disana, walau
keluarga-keluarga lain itu termasuk mereka yang jarang atau hampir
tidak bergaul dengan masyarakat. Dan terutama gedung gereja katolik
juga tetap aman. Terutama karena mendapat perlindungan dari
masyarakat sekitar.
Setelah kerusuhan mereda, sesudah
situasi aman kembali, orang-orang mulai datang ke toko encik itu dan
sambil berbelanja, mereka bercakap-cakap seakan-akan tak pernah ada
situasi yang demikian mencekam seperti saat kerusuhan sedang
berlangsung. Maka pernah suatu ketika, saya diceritakan oleh ketua RW
di tempat itu, tentang mengapa gedung gereja katolik tetap aman dan
mengapa lingkungan mereka sama sekali tak tersentuh oleh kerusuhan
yang merebak dimana-mana. Katanya, “Karena masyarakat melihat bahwa
tidak semua orang katolik jahat. Lihatlah encik itu yang demikian
murah hati dan setiap saat siap membantu orang yang kesusahan”.
“Mengapa orang tahu bahwa keluarga itu adalah keluarga katolik?”
tanyaku. “Sebab salib yang tergantung di toko mereka...”
Apa artinya sebuah salib selain sebagai
lambang kekatolikan kita? Bukankah tanpa salib yang tergantung di
dinding rumah kita, kita tetap dapat menjadi seorang katolik yang
baik? Dengan perbuatan kita, dengan iman yang teguh, dan menjadi umat
yang setia? Benar, tanpa memasang salib di dinding rumah kita, kita
semua takkan kehilangan kekatolikan kita. Tetapi dengan demikian kita
seakan menyembunyikan iman kita dari orang-orang lain. Sehingga jika
saja, encik itu tidak memasang salib yang cukup menyolok menghadap ke
jalan, dia hanya akan dikenal sebagai orang yang baik tetapi mungkin
tidak akan diketahui bahwa dia juga seorang katolik.
Kita baik, kita katolik dan orang-orang
tahu itu. Orang-orang tahu bahwa kebaikan kita menjadi sebuah tanda
kebaikan kita sebagai umat katolik. Jika kita enggan untuk memasang
salib di dinding rumah kita, kita seakan-akan takut pula untuk
menunjukkan iman kita kepada orang lain. Dengan demikian, segala
kebaikan kita hanya berguna bagi diri kita sendiri, tidak kepada
orang lain yang seiman dengan kita. Tidak juga kepada gereja umumnya.
Tindakan encik itu dengan menggantung sebuah salib di dinding tokonya
ternyata menyatu dengan kebaikannya sehingga akhirnya mempunyai
dampak yang positip tidak hanya bagi dirinya tetapi juga meluas
hingga ke orang-orang yang seiman di sekitarnya, bahkan juga kepada
gereja. Maka, masih enggankah kita untuk menampakkan kekatolikan kita
dengan menggantung salib Kristus di rumah kita?
“Kamu adalah
terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin
tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu
meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga
menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya
terangmu bersinar di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu
yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Mat 5: 14 – 16)
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar