Suatu saat, di bangku gereja, saya
menemukan lembaran kerja dari nampaknya seorang murid yang sedang
belajar agama. Di antara susunan pertanyaan yang tertulis, pada nomor
terakhir, tertera pertanyaan ini, “apa tujuanmu datang ke gereja?
Bolehkah kita ribut di gereja?” dan jawaban yang tertulis adalah,
“datang untuk berdoa. Tidak boleh supaya tidak dimarahi”. Sebuah
jawaban yang terasa lucu. Dengan kata lain, dalam pemikiran anak itu,
siapa pun dia, kita tidak boleh ribut di gereja karena jika kita
ribut maka kita akan dimarahi...
Ada juga sebuah lelucon tentang seorang
sopi yang tertangkap basah saat melakukan pelanggaran oleh seorang
polisi lalu lintas. Saat ditanya, apa dia tahu kesalahannya, ternyata
dia tahu. “Tapi kenapa saudara tetap melanggar?” tanya polantas
itu. “Soalnya saya sangka bapak tidak ada...”. Dari dua cerita di
atas, dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa, sebenarnya kita tidak
tahu terhadap aturan dan jika perlu aturan itu dapat dilanggar selama
tidak ada pengawasan. Atau selama pengawasan lemah. Dalam hal ini,
kita takut kepada pengawasan, takut pada hukuman bukan sadar bahwa
perbuatan yang akan kita lakukan itu tidak baik atau malah salah.
Takut. Demikianlah kita menjadi manusia
yang membesarkan rasa takut dan bukannya menumbuhkan kesadaran kita
tentang mengapa sesuatu perbuatan tidak boleh dilakukan. Bahkan sejak
dini, seperti ternyata dari jawaban anak di atas yang ternyata tidak
berbuat ribut di gereja bukan karena itu merupakan tempat yang suci,
rumah Tuhan, tetapi karena jika dia ribut maka dia akan dimarahi.
Atau pada sopir yang melanggar lalu lintas itu karena menyangka bahwa
sedang tidak ada seorang polantas yang mengawasi jalan saat dia
melakukan pelanggarannya. Bukannya sadar bahwa pelanggarannya
sesungguhnya berbahaya baik untuk dirinya sendiri mau pun untuk
pengguna jalan lain.
Sesungguhnya
hukum dibuat karena ada orang-orang yang tidak menyadari akibat dari
perbuatannya. Hukum dilaksanakan demi menciptakan suasana dimana
setiap orang dapat menikmati hidupnya sendiri tanpa mengganggu atau
terganggu akibat perbuatan orang lain. Seandainya setiap orang
menyadari keberadaannya di tengah masyarakat yang beragam, di antara
sesama yang berlainan, maka tidakkah rasa takut itu tidak akan
muncul? Hukum dibuat agar kita sadar, bukannya untuk ditakuti
sehingga justru ketakutan itu yang menjadi pokok bukannya kesadaran
atas benar salahnya kelakukan kita. Bukankah justru kesadaran itulah
yang harus lebih utama dibanding dengan rasa takut kita? Dan
pendidikan seharusnya mengarah ke tujuan untuk membangkitkan
kesadaran itu, bukannya menumbuhkan rasa takut pada hukuman. Tidakkah
demikian harusnya?
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar