02 Mei 2013

TAKUT


Suatu saat, di bangku gereja, saya menemukan lembaran kerja dari nampaknya seorang murid yang sedang belajar agama. Di antara susunan pertanyaan yang tertulis, pada nomor terakhir, tertera pertanyaan ini, “apa tujuanmu datang ke gereja? Bolehkah kita ribut di gereja?” dan jawaban yang tertulis adalah, “datang untuk berdoa. Tidak boleh supaya tidak dimarahi”. Sebuah jawaban yang terasa lucu. Dengan kata lain, dalam pemikiran anak itu, siapa pun dia, kita tidak boleh ribut di gereja karena jika kita ribut maka kita akan dimarahi...

Ada juga sebuah lelucon tentang seorang sopi yang tertangkap basah saat melakukan pelanggaran oleh seorang polisi lalu lintas. Saat ditanya, apa dia tahu kesalahannya, ternyata dia tahu. “Tapi kenapa saudara tetap melanggar?” tanya polantas itu. “Soalnya saya sangka bapak tidak ada...”. Dari dua cerita di atas, dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa, sebenarnya kita tidak tahu terhadap aturan dan jika perlu aturan itu dapat dilanggar selama tidak ada pengawasan. Atau selama pengawasan lemah. Dalam hal ini, kita takut kepada pengawasan, takut pada hukuman bukan sadar bahwa perbuatan yang akan kita lakukan itu tidak baik atau malah salah.

Takut. Demikianlah kita menjadi manusia yang membesarkan rasa takut dan bukannya menumbuhkan kesadaran kita tentang mengapa sesuatu perbuatan tidak boleh dilakukan. Bahkan sejak dini, seperti ternyata dari jawaban anak di atas yang ternyata tidak berbuat ribut di gereja bukan karena itu merupakan tempat yang suci, rumah Tuhan, tetapi karena jika dia ribut maka dia akan dimarahi. Atau pada sopir yang melanggar lalu lintas itu karena menyangka bahwa sedang tidak ada seorang polantas yang mengawasi jalan saat dia melakukan pelanggarannya. Bukannya sadar bahwa pelanggarannya sesungguhnya berbahaya baik untuk dirinya sendiri mau pun untuk pengguna jalan lain.

Sesungguhnya hukum dibuat karena ada orang-orang yang tidak menyadari akibat dari perbuatannya. Hukum dilaksanakan demi menciptakan suasana dimana setiap orang dapat menikmati hidupnya sendiri tanpa mengganggu atau terganggu akibat perbuatan orang lain. Seandainya setiap orang menyadari keberadaannya di tengah masyarakat yang beragam, di antara sesama yang berlainan, maka tidakkah rasa takut itu tidak akan muncul? Hukum dibuat agar kita sadar, bukannya untuk ditakuti sehingga justru ketakutan itu yang menjadi pokok bukannya kesadaran atas benar salahnya kelakukan kita. Bukankah justru kesadaran itulah yang harus lebih utama dibanding dengan rasa takut kita? Dan pendidikan seharusnya mengarah ke tujuan untuk membangkitkan kesadaran itu, bukannya menumbuhkan rasa takut pada hukuman. Tidakkah demikian harusnya?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...