Dari balik
jendela kamarku aku memandang ke langit dimana kegelapan terusik oleh
cahaya bulan sabit yang memancar dengan indah dikelilingi ribuan
bintang yang berkedip-kedip. Dan mendadak, sebuah meteor melintas
sekejap – hanya sekejap – membelah langit serupa kilatan yang
berkejapan nyaris tak terlihat. Sekejap kemunculannya membuatku
terpana tetapi ketika sadar, meteor itu pun telah sirna. Tertinggal
hanya bulan sabit, bintang dan langit malam yang kelam. Ah, adakah
aku sungguh telah melihat sebuah lintasan meteor atau hanya gangguan
pandangan yang secara tiba-tiba berpijar di mata dan tertera dalam
pikiranku?
Dan di jalan yang sepi, beberapa
kendaraan melintas, entah dari mana dan akan kemana, lewat lalu
menghilang ke dalam gelap. Beberapa manusia yang lewat sekejap seakan
hanya sekedar menyampaikan kepadaku bahwa mereka ada dan suatu saat
kelak mereka akan tidak ada pula. Betapa dalam kehidupan ini kita
semua terasa hanya hadir sekejap untuk menghilang selamanya. Tetapi
tentu saja, dalam kesadaran diri ini, kita dapat memastikan bahwa
keberadaan kita selalu nyata walau kita hanya melintas sekejap di
sepanjang sejarah yang seakan tak berujung.
Bulan sabit, meteor dan manusia
sesungguhnya adalah kenyataan yang hadir dalam satu waktu tertentu,
tetapi sering bersama ketak-terdugaan dan ketak-tersangkaan sama
sekali. Dan sepandai bagaimana pun kita, selalu ada hal-hal yang tak
dapat kita pastikan dan selalu menjadi keraguan dalam pikiran kita.
Adakah memang kita memang ada atau keberadaan kita hanya sebuah
mimpi? Apakah kita memang terencanakan atau hanya sebuah kebetulan
yang hadir selintas? Dimanakah kelak pikiran-pikiran kita ini akan
berada saat waktunya tiba dan kita tidak ada lagi? Akan kemanakah
kita menuju dalam keheningan malam yang menyimpan misteri semesta?
Siapakah diri ini sesungguhnya? Untuk apakah kita ada dan demi apakah
kita berpikir?
Malam yang kadang terasa panjang
sesungguhnya selalu mempunyai waktunya yang pasti. Hari yang sering
terasa tak berakhir pada akhirnya pasti akan berujung. Dan tiba-tiba
aku merasa betapa kita serupa meteor, melintas dan bersinar hanya
sekejap dan sering tak terasa, di tengah ruang dan waktu yang sepi.
Sendirian mengarungi semesta dan berupaya untuk ada sekejap – hanya
sekejap – lalu menghilang entah kemana di kesunyian angkasa
kehidupan ini. Dan bulan terus menerus berubah dari purnama, sabit
dan tersembunyi dalam kegelapan untuk kemudian hadir pula menjadi
sabit lalu purnama pula. Berputar terus menerus. Tetapi seberapa luas
dan besarkah keseluruhan semesta ini? Siapakah yang dapat
mengukurnya? Dan apakah artinya kehidupan kita yang seolah melintas
seperti meteor yang muncul lalu menghilang itu?
Renungan memang sering hadir dalam
banyak pertanyaan yang tak dapat kita jawab. Tetapi yang nyata
adalah, bahwa kita ada saat ini. Kita berpikir sekarang ini. Kita
menikmati keberadaan kita kini. Dengan kesadaran bahwa kita tidaklah
abadi. Paling tidak, tubuh dengan darah dan daging ini tidaklah akan
kekal selamanya. Kita akan menua dan suatu saat nanti kita akan pergi
menuju lorong ketidak-tahuan kita sendiri untuk menemukan
ketidak-terdugaan yang tak mungkin kita pastikan sekarang. Siapa pun,
dengan keyakinan dan kepercayaan apapun, semestinya menyadari
keterbatasan hidup kita kita dalam dunia renungan yang luas dan tak
terbatas ini. Atau, adakah kita hanya hidup karena pemikiran ini?
Apakah jika kelak, saat ketidak-sadaran tiba, kita akan larut dalam
hening untuk menghilang selamanya? Ataukah kita akan terbangun lalu
menemukan dunia lain yang sungguh tak pernah kita duga? Adakah satu
kepastian tentang apa yang akan kita alami kelak? Ah, sungguh
berlimpah pertanyaan dan tanpa jawaban pasti selain kita sendiri yang
akan menemukannya saat waktunya tiba.
Bulan sabit. Meteor. Manusia. Kita
semua menyatu bersama di semesta luas ini. Semesta yang tak terduga –
kadang berjalan sesuai dengan perkiraan tetapi lebih sering berjalan
secara acak dan tak terduga – untuk membuat kita selalu
bertanya-tanya, selalu mencari-cari jawaban agar dapat menemukan satu
kepastian tentang hidup tetapi kemudian menemukan betapa mustahilnya
itu. Betapa mustahilnya. Kita hanya akan dapat memastikannya saat
kita telah mengalaminya sendiri. Semua perkiraan dapat salah dapat
benar tetapi tak ada kepastian selain dari kepercayaan dan keyakinan
saja. Maka percayalah, itu sebabnya kita harus hidup, harus ada dan
harus mengalaminya sendiri. Sendirian.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar