01 Mei 2013

BULAN SABIT, METEOR DAN MANUSIA


Dari balik jendela kamarku aku memandang ke langit dimana kegelapan terusik oleh cahaya bulan sabit yang memancar dengan indah dikelilingi ribuan bintang yang berkedip-kedip. Dan mendadak, sebuah meteor melintas sekejap – hanya sekejap – membelah langit serupa kilatan yang berkejapan nyaris tak terlihat. Sekejap kemunculannya membuatku terpana tetapi ketika sadar, meteor itu pun telah sirna. Tertinggal hanya bulan sabit, bintang dan langit malam yang kelam. Ah, adakah aku sungguh telah melihat sebuah lintasan meteor atau hanya gangguan pandangan yang secara tiba-tiba berpijar di mata dan tertera dalam pikiranku?

Dan di jalan yang sepi, beberapa kendaraan melintas, entah dari mana dan akan kemana, lewat lalu menghilang ke dalam gelap. Beberapa manusia yang lewat sekejap seakan hanya sekedar menyampaikan kepadaku bahwa mereka ada dan suatu saat kelak mereka akan tidak ada pula. Betapa dalam kehidupan ini kita semua terasa hanya hadir sekejap untuk menghilang selamanya. Tetapi tentu saja, dalam kesadaran diri ini, kita dapat memastikan bahwa keberadaan kita selalu nyata walau kita hanya melintas sekejap di sepanjang sejarah yang seakan tak berujung.

Bulan sabit, meteor dan manusia sesungguhnya adalah kenyataan yang hadir dalam satu waktu tertentu, tetapi sering bersama ketak-terdugaan dan ketak-tersangkaan sama sekali. Dan sepandai bagaimana pun kita, selalu ada hal-hal yang tak dapat kita pastikan dan selalu menjadi keraguan dalam pikiran kita. Adakah memang kita memang ada atau keberadaan kita hanya sebuah mimpi? Apakah kita memang terencanakan atau hanya sebuah kebetulan yang hadir selintas? Dimanakah kelak pikiran-pikiran kita ini akan berada saat waktunya tiba dan kita tidak ada lagi? Akan kemanakah kita menuju dalam keheningan malam yang menyimpan misteri semesta? Siapakah diri ini sesungguhnya? Untuk apakah kita ada dan demi apakah kita berpikir?

Malam yang kadang terasa panjang sesungguhnya selalu mempunyai waktunya yang pasti. Hari yang sering terasa tak berakhir pada akhirnya pasti akan berujung. Dan tiba-tiba aku merasa betapa kita serupa meteor, melintas dan bersinar hanya sekejap dan sering tak terasa, di tengah ruang dan waktu yang sepi. Sendirian mengarungi semesta dan berupaya untuk ada sekejap – hanya sekejap – lalu menghilang entah kemana di kesunyian angkasa kehidupan ini. Dan bulan terus menerus berubah dari purnama, sabit dan tersembunyi dalam kegelapan untuk kemudian hadir pula menjadi sabit lalu purnama pula. Berputar terus menerus. Tetapi seberapa luas dan besarkah keseluruhan semesta ini? Siapakah yang dapat mengukurnya? Dan apakah artinya kehidupan kita yang seolah melintas seperti meteor yang muncul lalu menghilang itu?

Renungan memang sering hadir dalam banyak pertanyaan yang tak dapat kita jawab. Tetapi yang nyata adalah, bahwa kita ada saat ini. Kita berpikir sekarang ini. Kita menikmati keberadaan kita kini. Dengan kesadaran bahwa kita tidaklah abadi. Paling tidak, tubuh dengan darah dan daging ini tidaklah akan kekal selamanya. Kita akan menua dan suatu saat nanti kita akan pergi menuju lorong ketidak-tahuan kita sendiri untuk menemukan ketidak-terdugaan yang tak mungkin kita pastikan sekarang. Siapa pun, dengan keyakinan dan kepercayaan apapun, semestinya menyadari keterbatasan hidup kita kita dalam dunia renungan yang luas dan tak terbatas ini. Atau, adakah kita hanya hidup karena pemikiran ini? Apakah jika kelak, saat ketidak-sadaran tiba, kita akan larut dalam hening untuk menghilang selamanya? Ataukah kita akan terbangun lalu menemukan dunia lain yang sungguh tak pernah kita duga? Adakah satu kepastian tentang apa yang akan kita alami kelak? Ah, sungguh berlimpah pertanyaan dan tanpa jawaban pasti selain kita sendiri yang akan menemukannya saat waktunya tiba.

Bulan sabit. Meteor. Manusia. Kita semua menyatu bersama di semesta luas ini. Semesta yang tak terduga – kadang berjalan sesuai dengan perkiraan tetapi lebih sering berjalan secara acak dan tak terduga – untuk membuat kita selalu bertanya-tanya, selalu mencari-cari jawaban agar dapat menemukan satu kepastian tentang hidup tetapi kemudian menemukan betapa mustahilnya itu. Betapa mustahilnya. Kita hanya akan dapat memastikannya saat kita telah mengalaminya sendiri. Semua perkiraan dapat salah dapat benar tetapi tak ada kepastian selain dari kepercayaan dan keyakinan saja. Maka percayalah, itu sebabnya kita harus hidup, harus ada dan harus mengalaminya sendiri. Sendirian.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...