04 Mei 2013

V


Leve fit, quod bene fertur onos

Apakah sebenarnya penderitaan itu? Berawal dari keinginan untuk memperoleh keuntungan yang banyak agar dapat hidup lebih dari saat itu, dia menanamkan sebagian besar dana yang dimilikinya ke dalam investasi logam mulia yang menawarkan keuntungan yang sangat menggiurkan. Dana miliknya yang sebenarnya hanya pas-pasan dilepaskannya sambil berharap agar dapat menghasilkan penghasilan yang lebih besar dan lebih cepat. Tetapi penghasilan yang diharapkannya ternyata menguap begitu saja saat perusahaan yang menerima dananya ternyata hanya perusahaan bodong. Dia pun bangkrut sehingga terpaksa harus kehilangan tidak hanya uang yang dimilikinya, tetapi juga rumah yang ditempatinya untuk membayar segala pinjaman usahanya karena dia tak memiliki dana lagi.

Maka dia dan keluarganya terpaksa harus hidup di rumah kontrakan. Lalu, musibah berubah menjadi bencana saat istrinya menderita kanker ovarium yang ganas. Sementara untuk berobat sangat mahal, mereka tidak lagi punya apa-apa. Dua anak mereka yang masih kecil pun memerlukan biaya pendidikan yang makin menambah beban keuangan mereka. Demikianlah, hidup mereka berjalan dalam kesulitan yang luar biasa, tidak punya apa-apa dan mereka terpuruk dalam kemiskinan sehingga setiap hari menjadi satu beban pikiran yang sedemikian pelik dan tak terpecahkan. Istrinya yang sakit hanya dapat menerima penyakitnya tanpa mampu untuk berbuat apa-apa selain dari menjalaninya dengan pasrah.

Karena telah kehilangan semua usahanya, dia hanya hidup sebagai makelar rumah dan, walau sesekali dia berhasil menjual dan menghasilkan komisi yang cukup besar, penghasilannya tak pernah mencukupi untuk membayar semua kebutuhan keluarga mereka. Begitulah waktu berjalan hari demi hari, dan pada akhirnya istrinya meninggal dan dia harus hidup bersama dua anaknya dalam situasi yang kian sulit dan tenggelam dalam kemiskinan sehingga sering dia tak punya uang sama sekali bahkan untuk membeli makanan. Anak-anaknya hanya menyelesaikan SMA dan tidak lagi mampu dibiayainya untuk melanjutkan pendidikan mereka ke perguruan tinggi.

Kini, bersama kedua anaknya, yang sulung seorang gadis telah bekerja sebagai SPG di sebuah counter di Mall sementara yang bungsu laki-laki menjadi pengangguran yang setiap malam begadang bersama teman-temannya di lingkungan kediaman mereka yang kumuh, mereka setiap hari menjalani waktu hanya agar dapat tetap hidup. Lalu bencana lain hadir ketika si bungsu tertangkap karena telah melakukan perampasan dan setelah menjalani sidang pengadilan, dipenjara sebagai narapidana. Entahlah, kadang-kadang dia memikirkan jalan hidupnya dengan penuh perasaan sesal, tetapi waktu tak mungkin diputar kembali dan dia sadar bahwa yang dapat dilakukannya hanya menerima dengan pasrah semua itu.

Maka apakah penderitaan itu? Di hari-hari ini, ketika aku bertemu dengan bapak itu, dengan kulit wajah yang makin berkerut dan rambutnya yang memutih dalam usianya yang masih 50-an tahun, dia selalu mengembangkan senyuman sambil sesekali melontarkan humor-humor yang dapat membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Setiap hari minggu, dia selalu hadir dalam misa pagi di gereja, berjalan kaki dari rumah kontrakannya bersama putrinya yang berjarak cukup jauh, tetap penuh dengan semangat dan bahkan hampir tak pernah menampakkan betapa sesungguhnya dia telah menjalani hidup dalam kesengsaraan dan ketidak-berdayaan untuk menerobos semua kesulitan mereka.

Dan bapak itu sesekali, saat diminta untuk memimpin ibadah saat doa lingkungan, selalu menyampaikan pesan yang penuh semangat dan terkadang lelucon yang tak terduga. Bagi kami kebanyakan, hidupnya seakan berjalan tanpa masalah. Hidup bapak itu seakan normal dan biasa saja sama seperti kehidupan kami pada umumnya. Tetapi siapakah kami ini? Sosok-sosok yang setiap saat berjumpa dan saling menyapa dengan hangat, apakah yang telah kami alami? Apakah yang sedang kami pikirkan? Adakah sungguh bahwa kami memang hidup dengan tanpa beban sama sekali? Tidak. Karena jika orang-orang tidak tahu apa derita yang sedang aku alami, apa pikiran yang saat ini menyusahkanku, pasti juga aku tak bisa dan takkan tahu beban-beban orang lain, sesamaku. Bahkan mereka yang paling akrab sekali pun.

Demikianlah, berawal dari kisah hidup bapak itu, yang sejarahnya aku dengar dari sanaknya sendiri yang kukenal, aku menyadari bahwa setiap orang pasti dapat atau sedang menderita tetapi penderitaan itu tidak harus diterima dengan rasa sesal yang berkepanjangan. Atau bahkan dengan putus asa. Atau dengan menyalahkan orang lain, lingkungan atau bahkan Tuhan. Tidak. Derita ini untuk dijalani dan diterima sebagaimana adanya dan kita tetap dapat bersyukur kepada Tuhan paling tidak karena kita telah diberi kesempatan untuk hidup itu sendiri. Bahkan kita tetap dapat bersyukur atas kesempatan itu. Beban yang dipanggul dengan kerelaan hati akan membuat hidup ini menjadi lebih ringan.Dan karena itu hidup menjadi lebih bermakna.

Kita harus menerima kehidupan kita apa adanya. Segala yang telah terjadi akibat dari keputusan kita sendiri merupakan resiko yang tak dapat kita tolak dan karena itu tak perlu membuat kita putus asa lalu kehilangan harapan dan menghentikan hidup kita begitu saja. Sebab hidup adalah perjuangan yang memang tidak mudah tetapi layak, sangat layak, untuk dihadapi dan dijalani. Untuk itulah kita ada. Untuk itulah kita diberi karunia kehidupan. Hanya mengeluh atas apa yang telah terjadi takkan bisa mengubah situasi. Bahkan dapat membuah hidup kita menjadi lumpuh dan kita pun gagal melihat keindahan yang setiap saat berada di seputar kita. Gagal menikmati kehidupan itu sendiri.

Penderitaan sesungguhnya adalah penolakan kita terhadap situasi hidup yang mengungkung kita. Dan jika derita itu diakibatkan oleh keputusan kita sendiri, bisakah kita menyalahkan orang lain? Untuk apa? Tidakkah setiap resiko atas keputusan kita harus kita hadapi dengan penuh tanggung-jawab? Jika kita menerima segala yang telah dan sedang terjadi, jika kita menyadari bahwa apa pun yang telah dan sedang kita alami sekarang merupakan akibat dari perbuatan dan keputusan kita sebelumnya, dan hari kemarin tak mungkin kita ulang kembali, kita tetap dapat dan harus bersyukur karena pengalaman kita dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga baik bagi diri kita dan juga terutama bagi sesama kita.

Sekarang, setiap saat aku berjumpa dengan bapak itu, aku merasa menemukan satu harapan. Bahwa hidup yang dijalani ini tidaklah sia-sia. Aku sadar betapa hidup ini penuh dengan kesulitan dan setiap orang, setiap wajah yang kutemui setiap hari, selalu menyembunyikan rahasia penderitaan mereka masing-masing, namun hidup tetap harus dijalani dengan penuh rasa syukur karena, kegagalan atau keberhasilan, tidaklah sepenting dibandingkan dengan hidup ini sendiri. Kita selalu dapat belajar dari masa lalu, baik masa lalu kita maupun masa lalu sesama kita, sambil membuat dan melakukan keputusan kita sendiri untuk dijadikan sebagai pelajaran baru lagi. Sebab memang, dalam hidup selalu harus ada keputusan yang selalu kita buat dan laksanakan. Tanpa itu, kita hanya menyia-nyiakan anugerah kehidupan kita. Hanya menyia-nyiakan.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...