“Dapatkah
orang diubah?
Dapatkah
dunia diperbaharui?”
Demikian
sebuah cuplikan tanya dari drama karya Bertolt
Brecht
(10
januari 1898
– 14
agustus 1956)
seorang penulis Jerman. Drama indah itu bertutur tentang seorang yang
awalnya sangat baik hati, jujur dan pemurah yang dikaruniai berkat
melimpah oleh para dewa dengan kekayaan tetapi kemudian menghilang
dan kembali menjadi sosok yang culas, pelit dan egois. Perubahan
terjadi karena sebagai seorang yang baik, Shen Te, kebaikannya
ternyata dimanfaatkan secara sangat berlebihan sehingga terkadang dia
berubah menjadi kurban yang mesti dibantu, bukannya yang membantu.
Karena tidak tahan lagi terhadap perbuatan dan kelakuan orang-orang
yang dibantunya, suatu hari dia menghilang dan kembali menjadi sosok
lain, Shui Ta yang kali ini bersifat sangat bertentangan dengan Shen
Te. Culas, pelit dan penuh perhitungan.
“Dapatkah
orang diubah? Dapatkah dunia diperbaharui?” demikian tanya sang
tokoh dalam drama yang menakjubkan itu. Mengapakah kebaikan
seringkali harus mengalami hasil yang pahit? Mengapakah kejujuran
seringkali membuat hidup menjadi tersisih, dan kemurahan dimanfaatkan
oleh orang-orang yang tak layak sehingga sering merugikan mereka yang
baik hati? Apakah hidup ini memang harus culas, pelit dan tak
berbelas kasih terhadap sesama untuk dapat tetap eksis? Dan setiap
kebaikan dan ketulusan hanya akan mendatangkan kekecewaan dan sakit
hati? Dalam kenyataan, inilah yang sering kita jumpai saat ini.
Ketika kejahatan menjadi pahlawan. Ketika kekerasan menjadi
kebenaran. Hidup seakan-akan dipenuhi dengan pemaksaan kehendak,
pengingkaran diri dan kehausan ambisi. Dapatkah orang diubah?
Dapatkah dunia ini diperbaharui?
Tetapi
barangkali soalnya bukanlah pada dapatkah merubah orang. Bukan pula
pada apakah dunia ini bisa diperbaharui. Tetapi patutlah kita
bertanya pada diri kita masing-masing: “Maukah kita berubah?”
Niat kita sendirilah yang dapat membuat dunia menjadi baru. Niat
untuk percaya pada kebaikan. Percaya pada kejujuran. Percaya bahwa
ketulusan, bagaimana pun hasil yang akan kita peroleh, selalu punya
makna dalam hidup ini. Sebab nampaknya, kebaikan, kejujuran dan
ketulusan selalu berarti pengurbanan diri. Selalu berarti bahwa hasil
tidaklah menjadi yang paling utama, namun proses yang kita lalui
menuju apa yang kita harapkan itulah yang membuat hidup menjadi
berguna. Menjadi bermakna.
Setiap
kebaikan memang pada akhirnya selalu mengandung pengurbanan.
Pengurbanan yang terkadang bukan hanya kedudukan, materi atau
kekuasaan tetapi juga hidup kita sendiri. Sama seperti yang telah
dijalani oleh Yesus. Walau kadang kita tenggelam dalam perasaan putus
asa dan kekecewaan yang dalam akibat dari apa yang kita alami, kita
harus selalu yakin bahwa hidup sungguh tidak hanya bergantung pada
saat sekarang tetapi akan ada harinya dimana segala penderitaan kita
akan usai dan kelak kita akan menemukan kegembiraan yang sungguh tak
terbayangkan. Setiap niat baik pasti tidak akan kehilangan makna.
Tidak akan.
“Dapatkah
orang diubah? Dapatkah dunia diperbaharui?” Dapat, tentu saja. Jika
kita mau mengubah diri kita, dunia pun akan menjadi baru. Sebab
sesungguhnya dunia adalah keberadaan kita sendiri dalam hidup yang
sedang kita jalani. Sebab sepercik cahaya yang paling kecil pun yang
kita berikan kepada dunia akan selalu bercahaya di malam yang pekat.
Tanpa keberadaan kita, dunia tidak akan ada. Tidak akan ada.
Demikianlah...
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar