26 Juli 2013

RAKSASA DAN ANAK-ANAK

Di suatu waktu. Di suatu tempat. Ada sebuah kebun yang amat indah. Setiap sore, saat pulang dari sekolah, anak-anak selalu ke sana untuk bermain. Kebun itu amat luas dan teduh. Rumput menghampar hijau dan lembut. Bebungaan cantik menawan serta menebarkan aroma yang harum ke udara. Pepohonan teduh dan rindang senantiasa dipenuhi nyanyian burung yang mengalun indah. Buah-buahan bergelantungan ranum mengundang selera. Anak-anak senang sekali bermain, bergulingan di atas rumput maupun bergelantungan pada dahan-dahan. Telah lama pemilik kebun itu, seorang raksasa, pergi. Maka anak-anak menganggap bahwa kebun itu adalah milik mereka semua. Menyenangkan.
Tetapi suatu hari raksasa pemilik kebun itu pulang. Ketika dia melihat anak-anak memenuhi kebunnya, marahlah dia. “Sedang apa kalian di sini?" Bentaknya kasar. Anak-anak ketakutan lalu lari. “Kebunku hanya untukku” seru raksasa itu lagi, “Setiap orang harus tahu itu. Takkan kuperbolehkan siapa pun masuk kecuali aku.” Lalu dia membangun tembok tebal di sekeliling kebun itu serta menancapkan papan: “Dilarang Masuk!” Dia raksasa egois, memang.
Kini anak-anak malang itu kehilangan tempat bermain. Mereka mulai berlarian di jalan yang kasar berbatu serta dipenuhi debu. Banyak kendaraan lalu-lalang. Sesekali seorang dari mereka luka tertabrak kendaraan yang meluncur cepat. Mereka amat merindukan kebun itu. Tetapi kini mereka hanya dapat memandangnya dari balik pagar.
Musim bunga tiba. Di seluruh negeri bertaburan bunga yang indah, warna warni serta harum mewangi. Tetapi di kebun raksasa hal itu tidak nampak. Tak sekuntum bunga pun mekar. Burung yang dulu rajin berkicauan di ranting pepohonan kini telah menghilang. Segala sesuatunya membisu.Gersang. Mati.
Aku heran mengapa musim bunga belum tiba” kata raksasa itu. “Padahal di tempat lain bunga-bunga telah bermekaran” Dia hanya duduk sedih memandang ke kebunnya yang tandus. Dia merasa amat kesepian. Tak ada cicit burung. Tak ada desir angin.
Suatu pagi raksasa itu terbangun karena mendengar suara yang amat merdu. Dia pikir itu adalah paduan suara kerajaan yang lewat untuk menghadiri penobatan raja baru. Tetapi ternyata suara itu hanyalah kicauan burung parkit di dekat jendela kamarnya. Tetapi karena telah sekian lama dia tidak mendengar suara burung maka baginya suara itu amat merdu menawan. Dia melompat dan berlari ke kebunnya. Tahukah kalian apa yang dilihatnya?
Suatu panorama yang menakjubkan. Kebunnya hidup kembali. Bunga-bunga bermekaran. Rumput tumbuh menghijau. Burung-burung berkicauan. Tetapi yang lebih menyentuh jiwanya adalah puluhan anak-anak yang sedang bermain-main. Mereka masuk lewat sebuah lubang yang menganga pada temboknya. Hanya di suatu sudut dia melihat segalanya masih gersang. Seorang anak kecil nampak berupaya untuk meraih dahan pohon yang kurus tetapi dia tidak mampu. Anak itu memang terlalu kecil.
Raksasa itu pun terharu. “Aku sungguh egois” bisiknya. “Sekarang aku tahu mengapa musim bunga tidak memasuki kebunku” Dia lalu menghampiri anak kecil itu. Tetapi ketika anak-anak yang lain melihatnya, mereka pun kabur ketakutan. Dan kebun itu menjadi gersang kembali. Tetapi anak kecil itu, yang penglihatannya tertutup air mata karena kecewa tidak mampu menggapai dahan yang diinginkannya, tidak melihat kedatangan raksasa itu. Dia dengan lembut mengangkat anak kecil itu lalu meletakkannya pada dahan yang diinginkannya. Pohon itu langsung berbunga. Dan berbuah. Harum, harum sekali.
Ketika anak-anak lain melihat bahwa raksasa itu tidak jahat lagi, mulai memasuki kebun itu kembali. Di sana mereka bermain seharian karena musim liburan telah tiba. “Kebun ini sekarang milik kalian” kata raksasa itu. Diapun merobohkan tembok tebal yang mengelilingi kebunnya. Kini setiap hari orang-orang melihatnya bermain-main dengan anak-anak di kebun yang indah itu.
Tetapi dimana anak kecil yang telah menarik hatinya itu? Tak seorang pun dari anak-anak itu yang mengenalnya. “Mungkin dia pendatang” kata mereka. Raksasa itu merasa sedih. Dia amat merindukannya. “Bagaimana aku bisa menemukan anak kecil itu?” gumamnya. Tetapi anak kecil itu telah menghilang.
Tahun demi tahun lewat. Raksasa itu kian menua dan lemah. Dia tidak mampu lagi bermain. Dia hanya dapat duduk di kursinya yang besar sambil memandangi anak-anak bermain di kebunnya. “Bunga-bungaku indah sekali” katanya, “Tetapi anak-anak adalah bunga yang terindah di dunia…”
Suatu pagi dia terbangun karena mendengar suara yang amat indah. Dia keluar dan memandang ke sudut dimana dulu seorang anak kecil, yang kini amat dirindukannya, menggapai-gapai berusaha menyentuh dahan pohon. Dan lihatlah, anak kecil kesayangannya sedang berdiri di bawah pohon yang sama itu. Dengan gembira, dia berlari mendekati anak kecil itu. Tetapi setelah dekat, terkejutlah dia, lalu berseru gusar: “Siapa yang berani melukaimu?” Raksasa itu melihat kedua telapak tangan dan kaki anak itu ada luka menganga bekas tusukan paku. Dan pada lambungnya bertetesan darah segar dari bekas tusukan tombak.
Siapa yang berani melukaimu” teriak raksasa itu lagi, “Katakan padaku, akan kubunuh dia dengan pedangku
Jangan” jawab anak kecil itu, “Inilah luka-luka cinta
Siapakah kau sebenarnya?” tanya raksasa itu perlahan. Mendadak dia terpesona lalu berlutut di depan anak kecil itu yang kini tersenyum lembut padanya. Anak kecil itupun berkata: “Kau pernah membiarkan Aku bermain-main di kebunmu. Kini kau harus ikut Aku ke kebun-Ku yang abadi di Surga
Sore harinya, ketika anak-anak sahabat raksasa itu kembali berlarian memasuki kebunnya yang indah, mereka melihat raksasa itu terbaring di bawah pohon. Seluruh tubuhnya ditutupi kuntum bunga berwarna putih. Dan seulas senyum bahagia tersungging di bibirnya. Dia telah mati. Dalam kebahagiaan.
Disadur dengan bebas dari dongeng karangan Oscar Wilde

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...