Di
suatu waktu. Di suatu tempat. Ada sebuah kebun yang amat indah.
Setiap sore, saat pulang dari sekolah, anak-anak selalu ke sana untuk
bermain. Kebun itu amat luas dan teduh. Rumput menghampar hijau dan
lembut. Bebungaan cantik menawan serta menebarkan aroma yang harum ke
udara. Pepohonan teduh dan rindang senantiasa dipenuhi nyanyian
burung yang mengalun indah. Buah-buahan bergelantungan ranum
mengundang selera. Anak-anak senang sekali bermain, bergulingan di
atas rumput maupun bergelantungan pada dahan-dahan. Telah lama
pemilik kebun itu, seorang raksasa, pergi. Maka anak-anak menganggap
bahwa kebun itu adalah milik mereka semua. Menyenangkan.
Tetapi
suatu hari raksasa pemilik kebun itu pulang. Ketika dia melihat
anak-anak memenuhi kebunnya, marahlah dia. “Sedang apa kalian di
sini?" Bentaknya kasar. Anak-anak ketakutan lalu lari. “Kebunku
hanya untukku” seru raksasa itu lagi, “Setiap orang harus tahu
itu. Takkan kuperbolehkan siapa pun masuk kecuali aku.” Lalu dia
membangun tembok tebal di sekeliling kebun itu serta menancapkan
papan: “Dilarang Masuk!” Dia raksasa egois, memang.
Kini
anak-anak malang itu kehilangan tempat bermain. Mereka mulai
berlarian di jalan yang kasar berbatu serta dipenuhi debu. Banyak
kendaraan lalu-lalang. Sesekali seorang dari mereka luka tertabrak
kendaraan yang meluncur cepat. Mereka amat merindukan kebun itu.
Tetapi kini mereka hanya dapat memandangnya dari balik pagar.
Musim
bunga tiba. Di seluruh negeri bertaburan bunga yang indah, warna
warni serta harum mewangi. Tetapi di kebun raksasa hal itu tidak
nampak. Tak sekuntum bunga pun mekar. Burung yang dulu rajin
berkicauan di ranting pepohonan kini telah menghilang. Segala
sesuatunya membisu.Gersang. Mati.
“Aku
heran mengapa musim bunga belum tiba” kata raksasa itu. “Padahal
di tempat lain bunga-bunga telah bermekaran” Dia hanya duduk sedih
memandang ke kebunnya yang tandus. Dia merasa amat kesepian. Tak ada
cicit burung. Tak ada desir angin.
Suatu
pagi raksasa itu terbangun karena mendengar suara yang amat merdu.
Dia pikir itu adalah paduan suara kerajaan yang lewat untuk
menghadiri penobatan raja baru. Tetapi ternyata suara itu hanyalah
kicauan burung parkit di dekat jendela kamarnya. Tetapi karena telah
sekian lama dia tidak mendengar suara burung maka baginya suara itu
amat merdu menawan. Dia melompat dan berlari ke kebunnya. Tahukah
kalian apa yang dilihatnya?
Suatu
panorama yang menakjubkan. Kebunnya hidup kembali. Bunga-bunga
bermekaran. Rumput tumbuh menghijau. Burung-burung berkicauan. Tetapi
yang lebih menyentuh jiwanya adalah puluhan anak-anak yang sedang
bermain-main. Mereka masuk lewat sebuah lubang yang menganga pada
temboknya. Hanya di suatu sudut dia melihat segalanya masih gersang.
Seorang anak kecil nampak berupaya untuk meraih dahan pohon yang
kurus tetapi dia tidak mampu. Anak itu memang terlalu kecil.
Raksasa
itu pun terharu. “Aku sungguh egois” bisiknya. “Sekarang aku
tahu mengapa musim bunga tidak memasuki kebunku” Dia lalu
menghampiri anak kecil itu. Tetapi ketika anak-anak yang lain
melihatnya, mereka pun kabur ketakutan. Dan kebun itu menjadi gersang
kembali. Tetapi anak kecil itu, yang penglihatannya tertutup air mata
karena kecewa tidak mampu menggapai dahan yang diinginkannya, tidak
melihat kedatangan raksasa itu. Dia dengan lembut mengangkat anak
kecil itu lalu meletakkannya pada dahan yang diinginkannya. Pohon itu
langsung berbunga. Dan berbuah. Harum, harum sekali.
Ketika
anak-anak lain melihat bahwa raksasa itu tidak jahat lagi, mulai
memasuki kebun itu kembali. Di sana mereka bermain seharian karena
musim liburan telah tiba. “Kebun ini sekarang milik kalian” kata
raksasa itu. Diapun merobohkan tembok tebal yang mengelilingi
kebunnya. Kini setiap hari orang-orang melihatnya bermain-main dengan
anak-anak di kebun yang indah itu.
Tetapi
dimana anak kecil yang telah menarik hatinya itu? Tak seorang pun
dari anak-anak itu yang mengenalnya. “Mungkin dia pendatang” kata
mereka. Raksasa itu merasa sedih. Dia amat merindukannya. “Bagaimana
aku bisa menemukan anak kecil itu?” gumamnya. Tetapi anak kecil itu
telah menghilang.
Tahun
demi tahun lewat. Raksasa itu kian menua dan lemah. Dia tidak mampu
lagi bermain. Dia hanya dapat duduk di kursinya yang besar sambil
memandangi anak-anak bermain di kebunnya. “Bunga-bungaku indah
sekali” katanya, “Tetapi anak-anak adalah bunga yang terindah di
dunia…”
Suatu
pagi dia terbangun karena mendengar suara yang amat indah. Dia keluar
dan memandang ke sudut dimana dulu seorang anak kecil, yang kini amat
dirindukannya, menggapai-gapai berusaha menyentuh dahan pohon. Dan
lihatlah, anak kecil kesayangannya sedang berdiri di bawah pohon yang
sama itu. Dengan gembira, dia berlari mendekati anak kecil itu.
Tetapi setelah dekat, terkejutlah dia, lalu berseru gusar: “Siapa
yang berani melukaimu?” Raksasa itu melihat kedua telapak tangan
dan kaki anak itu ada luka menganga bekas tusukan paku. Dan pada
lambungnya bertetesan darah segar dari bekas tusukan tombak.
“Siapa
yang berani melukaimu” teriak raksasa itu lagi, “Katakan padaku,
akan kubunuh dia dengan pedangku”
“Jangan”
jawab anak kecil itu, “Inilah luka-luka cinta”
“Siapakah
kau sebenarnya?” tanya raksasa itu perlahan. Mendadak dia terpesona
lalu berlutut di depan anak kecil itu yang kini tersenyum lembut
padanya. Anak kecil itupun berkata: “Kau pernah membiarkan Aku
bermain-main di kebunmu. Kini kau harus ikut Aku ke kebun-Ku
yang abadi di Surga”
Sore
harinya, ketika anak-anak sahabat raksasa itu kembali berlarian
memasuki kebunnya yang indah, mereka melihat
raksasa itu
terbaring di bawah pohon. Seluruh tubuhnya ditutupi kuntum bunga
berwarna putih. Dan seulas senyum bahagia tersungging di bibirnya.
Dia telah mati.
Dalam kebahagiaan.
Disadur
dengan bebas dari dongeng karangan Oscar Wilde
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar