Di suatu pagi
yang berkabut, aku berjumpa dengan seorang teman lama di sebuah kafe,
dalam suatu pertemuan yang telah kami rencanakan sebelumnya. Dan
sebagaimana sebuah reuni dengan sahabat lama, kami duduk bersama
sambil mengobrol banyak hal. Bercerita tentang masa lalu, juga
tentang sahabat-sahabat lama kami dengan situasi dan kondisi mereka
masing-masing sekarang. Seakan hari kemarin baru saja lewat. Seakan
tak ada yang berubah dalam perjalanan waktu.
Tetapi tentu
saja tak ada yang sama lagi. Hari kemarin telah berlalu. Bagai sebuah
mimpi indah. Dalam kenangan yang bersembunyi di balik kabut hari ini.
Demikianlah, kami berkisah tentang seorang sahabat yang dulu kami
kenal sebagai seorang yang baik, yang lembut dan penuh perhatian,
saat ini ternyata sedang mengalami gejolak dalam rumah tangganya dan
sedang diambang perceraian. Hidup yang dulu nampak lembut, ternyata
menyimpan kekerasan yang tak terpikirkan sebelumnya.
Mengapa
seseorang dapat berubah demikian drastis? Mengapa kita seolah-olah
menjadi permainan nasib? Perasaan atau pemikiran kitakah yang
menguasai hidup ini? Apa yang membuat kita menjadi lain, dan berbeda
dari hari kemarin? Waktu memang berganti dan kita semua pun berubah.
Tetapi barangkali soalnya tidaklah sesederhana itu. Situasi dan
kondisi yang berbeda dengan kita turut mempengaruhi
keputusan-keputusan setiap individu. Dan sering, kita yang tidak
terlibat di dalamnya, terseret oleh perasaan kita untuk menjadi hakim
yang seolah-olah adil dan benar. Sayangnya, kita ternyata mengukur
sesama kita dengan ukuran diri kita. Ukuran yang jelas berbeda karena
bukan kitalah yang menjalani hidup yang harus mereka hadapi setiap
hari. Mereka, bukan kita yang setiap saat menjelajahi kesedihan dan
kepahitan perasaannya.
“Semuanya
baik, tetapi mari kita mengolah kebun kita sendiri”
kata Candide dalam novel satiris tulisan Voltaire, seorang sastrawan
Perancis ternama (21 Nopember 1694 - 30 Mei 1778). Setiap orang menjalani hidupnya masing-masing.
Setiap orang memiliki ukrannya masing-masing. Apa yang telah dan
sedang kita hadapi, apa yang menjadi godaan dan hambatan dalam
kehidupan ini, apa pun yang dialami setiap individu, adalah baik
adanya. Namun, walau baik atau nampak baik, keputusan dan tindakan
yang kita masing-masing jalani, tidaklah akan sama. Sebab itu, memang
tidak layak kita menjadi hakim atas sesama kita. Mereka dan bukan
kita yang terlibat secara langsung dalam pengalaman itu. Bukan kita.
Maka di pagi
yang berkabut ini, kami bertutur dengan kesadaran bahwa pengalaman
kami yang berbeda tidaklah layak membuat kami menjadi hakim atas
orang lain. Bahkan dalam pengalaman yang sama pun, tidak pernah akan
serupa dalam pemikiran dan perasaan kami. Tidak pernah akan sama.
"Jangan kamu menghakimi,
supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai
untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk
mengukur, akan diukurkan kepadamu.”
(Mat 7: 1-2).
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar