Setiap
manusia pasti pernah mengalami perasaan serba salah. Atau bahkan
mungkin sedang mengalami hal itu. Memang, sebagai manusia, kita tidak
akan pernah luput dari pengharapan dan keinginan kita sendiri tetapi
kepentingan itu pasti selalu berkaitan dengan kepentingan dan
pengharapan orang lain. Dan di suatu titik ketika kepentingan kita
dan kepentingan selain kita bertentangan, terjadilah konflik. Dan hal
itu tak terhindarkan. Hanya bagaimana agar konflik itu tidak menjadi
sumber kekerasan, semua tergantung pada bagaimana kita menerimanya.
Kadang dibutuhkan pengurbanan untuk menghindari percekcokan yang
keras atau mungkin malah mematikan.
Sesungguhnya
ada banyak pertanyaan yang perlu kita renungkan manakala kita
menghadapi perbedaan kepentingan dan tujuan hidup ini. Apalagi
tentang kebenaran yang kita pikirkan. Apakah kebenaran itu?
Sungguhkah kebenaran itu sesuatu yang bertautan dengan kepentingan
seluruh manusia atau hanya bertautan dengan diri atau kelompok kita
saja? Seberapa yakinkah kita bahwa kebenaran kita tidak disisipi
dengan kepentingan diri kita sendiri? Bagaimanakah kepercayaan kita
kepada Sang Pencipta dalam memandang, menerima dan menjalani hidup
ini? Sebab bukankah kita sering, walau mengakui Sang Pencipta yang
tunggal, tetap beranggapan bahwa manusia yang berbeda dengan kita,
baik keyakinan, ras, pola pikir maupun adat kebiasaan, adalah seakan
bukan ciptaan yang sama? Siapakah kita ini sesungguhnya?
Maka
memang sulit untuk memaknai keberadaan kita dalam hidup jika kita tak
mampu atau tak mau untuk memahami dan menerima perbedaan-perbedaan
itu. Hidup ini memang sering terasa serba salah tetapi bagaimana pun
juga, keberadaan yang lain dari kita adalah sesuatu yang nyata. Yang
pasti. Dan tak dapat kita abaikan atau bahkan menihilkannya sama
sekali. Kita harus menerimanya. Jika tidak, kita hanya akan
menciptakan satu keyakinan bahwa kita percaya pada kebenaran yang
tidak kita percayai. Kita tidak mungkin percaya pada satu Pencipta
jika kita bersikap bahwa ciptaan lain yang berbeda mempunyai
Penciptanya sendiri. Sebab jika demikian, itu berarti bahwa Pencipta
yang kita junjung ternyata bukanlah Pencipta yang tunggal.
Asal
mula dari semua konflik, kekerasan bahkan pembantaian sesungguhnya
berawal dari perbedaan. Dan karena perbedaan itu adalah bagian dari
kehidupan ini, dapatkah kita mengharapkan satu kesatuan tanpa
bersikap seakan-akan kita sendirilah Sang Pencipta? Seakan-akan kita
sendirilah yang menentukan benar atau salah, baik atau buruk sesuai
dengan pemikiran dan kepentingan kita walau selalu atas nama Sang
Pencipta kita? Tidak. Kita bukanlah Sang Pencipta dan jika kita
sungguh percaya kepada-Nya, kita seharusnya percaya pula bahwa jika
Dia mau, Dia dapat menyatukan seluruh ciptaan-Nya tanpa membuat
perbedaan-perbedaan yang nyata ini. Tetapi Sang Pencipta kita seakan
mencintai perbedaan yang telah diciptakan-Nya sendiri. Karena sungguh
indah jika sebuah simfoni terdiri dari beraneka-ragam alat musik,
apalagi dengan manusia yang hidup ini. Perbedaan itu indah. Walau
kita selalu harus merasa serba salah dalam menjalani kepentingan
hidup kita, kita pun selalu harus menerima atau bahkan harus
mengurbankan kepentingan diri kita sendiri demi untuk keindahan itu.
Sama seperti sebuah lagu beralun berdasarkan batasan pada notasi yang
pasti, hidup kita pun harus beralun sesuai dengan batasan kepentingan
diri orang lain. Mereka. Sesama kita.
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar