01 Mei 2009

KANKER

Aku terpana memandangnya. Tubuhnya terbaring lemah. Kurus seakan hanya kulit yang membungkus tulang. Matanya terpejam. Dahinya dipenuhi kerutan kasar. Rambutnya telah habis rontok. Sesekali dia menggumankan keluhan. Ah, aku memandangnya sambil bertanya dalam hatiku. Diakah teman yang pernah bersamaku mengalami keceriaan hidup? Diakah teman yang dulu selalu bersemangat dalam mengatasi masalah-masalah yang melanda kami? Diakah itu? Kemanakah perginya semangat, ambisi, harapan dan kecerdasannya? Kemanakah perginya hati yang teramat lembut dalam menghadapi kekerasan dan tantangan yang kami hadapi? Kemanakah?

Apakah kehidupan itu, selain dari banyaknya pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang amat sedikit? Apakah kehidupan itu, jika hanya dalam sekejap, saat tubuh kita didera kelainan, kita pada akhirnya hanya mampu menerima tanpa mampu berbuat apa-apa lagi? Apakah kehidupan itu, selain dari hanya dapat menerima apa saja yang terjadi karena ketak-mampuan akal untuk mengubah kelemahan daging kita sendiri? Apakah kehidupan itu sesungguhnya? Sementara di luar sana, orang-orang bergerak dalam langkah yang bergegas-gegas untuk mengejar segala cita-cita dan hasrat mereka, terperangkap dalam tubuh yang didera penyakit, kita terpaksa harus menerima segala sesuatu yang dilakukan terhadap tubuh ini sekedar hanya untuk memperpanjang nafas kita saja?

Hanya beberapa bulan lalu, dia masih tegar saat menerima berita tentang kanker yang mendera ususnya. Dan dengan tertawa berkata bahwa dia takkan takluk dengan penyakitnya. Kini, di sini, di atas pembaringan sebuah rumah sakit swasta, aku memandang tubuhnya yang kian melemah akibat proses kemoterapi dan perjalanan penyakit yang tak lagi mampu dibendung. Kritis setelah dua kali operasi yang dilakukan untuk membuang sel-sel kanker yang menggerogoti ususnya, dan pada akhirnya sadar bahwa semuanya tak mungkin lagi dihentikan. Semuanya berjalan sesuai proses alami yang telah terjadi. Dan waktu hampir tiba baginya. Waktunya hampir tiba. Pada akhirnya, toh, kita semua akan menjalani proses akhir ini. Pada akhirnya kita semua akan menuju ke sana. Akhir. Usai.

Matanya tetap terpejam. Namun dari sela-sela kelopaknya yang tertutup itu, mengalir tetesan air, bening dan lembut. Ahhh, gumamnya perlahan. Aku mengira dia ingin menggumamkan sesuatu, namun tak mampu lagi dia mengutarakannya sendiri. Apa yang sedang dirasakannya? Apa yang sedang berada dalam pikirannya? Apa yang ingin dikatakannya? Dunia perlahan-lahan telah meninggalkan dirinya. Tubuhnya telah kalah. Tetapi aku merasakan bahwa dia masih sadar dan tetap sadar dalam ketak-mampuannya untuk menyuarakan keadaannya sendiri. Dimanakah dia sekarang? Sementara aku berdiri di sampingnya, memegang tangannya, berbisik di samping telinganya, memanggili namanya, dia tak lagi berada bersamaku. Aku merasakan betapa kian jauh dia. Kian jauh pergi. Jauh......

Tuhan, ya Tuhan. Siapakah manusia yang lemah ini? Siapakah kami, yang saat demikian kuat dan bugar, mampu melawan apa saja tanpa pernah mau untuk merasa kalah? Siapakah kami, yang bisa demikian angkuh untuk mencari aneka jawaban atas kehidupan yang telah kau ciptakan untuk pada akhirnya hanya bisa pasrah terbaring lemah tanpa mampu berbuat apa-apa lagi? Siapakah kami ini, ya Tuhan, siapakah kami? Aku sungguh tergetar saat menyaksikan dan mendampingi tubuh sahabatku ini. Tubuh yang pernah demikian gesit dan lincah menghadapi segala macam cobaan. Tubuh yang pernah demikian tegas dan tegar menerima segala akibat dari apa yang kami lakukan dulu. Dimanakah dia saat ini? Mengapa hanya tersisa sesosok tubuh yang demikian lemah dan tak mampu lagi menggerakkan tangannya sekalipun? Dimanakah dia saat ini? Dimana?

Dari luar ruangan ICU ini, sayup-sayup aku mendengarkan suara riuh percakapan orang-orang yang mungkin sedang membincangkan peristiwa atau orang-orang yang mereka kenal atau mereka tahu. Namun di dalam ruangan ini, hanya ada kesunyian berdiam diri, mengambang di udara yang berbau obat dan bunyi kelikan mesin penyambung jiwa. Pada akhirnya, kita semua akan sendirian bergulat dengan diri kita. Pada akhirnya, kita semua akan sendirian menghadapi diri kita. Aku yang berada di sisi sahabatku ini, tiba-tiba merasa demikian terpencil. Jauh dan sendirian. Dalam hatiku bergulat banyak pertanyaan yang dengan kesadaran penuh, kutahu, takkan pernah dapat kujawab. Semua peristiwa yang telah silam, kembali dalam kenanganku. Namun aku tahu bahwa segala sesuatu takkan bisa kembali. Ya, waktu yang telah lewat akan menjadi masa lampau dan suatu saat terbenam dengan senyap dalam ingatan. Dengan sedih aku menggenggam tangan temanku ini, mendoakannya sejenak, berbisik di telinganya untuk tetap tabah menerima akhir yang tiba. Lalu aku bangkit, meninggalkan ruangan ICU ini, menanggalkan piyama khusus yang berwarna hijau dan menggantungkannya di tempatnya, kemudian ke luar. Dunia nampak tidak berubah. Tetapi aku merasa amat sendiri. Mutlak sendiri. Hanya sendiri.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...